ALIRAN-ALIRAN
USHUL FIQIH
Ada tiga aliran yang dikenal dalam ushul fiqih, yaitu aliran syafi’iyah
(mutakallimin), hanafiyah dan konvergensi. Aliran-aliran ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul
fiqh, yang masing-masing digunakan dalam menggali hukum Islam.
1.
Aliran Syafi’iyah (mutakallimin)
Aliran
ini disebut aliran Syafi’iyah (mutakallimin) karena Imam Syafi’i adalah tokoh
pertama yang menyusun ushul fiqh dengan menggunakan sistem ini.
Disebut mutakallimin karena para pakar di bidang ini setelah imam syafi’i
adalah dari kalangan Mutakallimin (para ahi ilmu kalam), misalnya Imam
al-Juwaini, al-Qadli Abdul Jabbar dan al-Imam al-Ghazali[1].
Metode ini juga disebut dengan metode deduktif karena menetapkan teori-teori
umum atas dasar logika dengan tanpa memperhatikan apakah ia bertentangan dengan
hukum-hukum furu’ (hukum fiqih pada kasus-kasus tertentu) atau tidak[2].
Aliran ini
membangun ushul fiqh mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh
masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok). Dalam
membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat,
baik dari naqli (al-Qur’an dan atau Sunnah) maupun dari ‘aqli
(akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dari
berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan
ada kalanya tidak. Setiap permasalahan yang
diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan kaidah,
baik kaidah itu sejalan dengan furu’ mazhab maupun tidak, sejalan dengan
kaidah yang telah ditetapkan imam mazhab atau tidak.[3]
Tujuan penulisan kitab-kitab
aliran ini adalah agar menjadi acuan standar dalam istinbath, bukan
untuk membela fiqh imamnya. Di antara
ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ulama Mu’tazilah, Malikiyah, dan
Syafi’iyyah[4].
Diantara ulama dalam aliran ini ada yang menyalahi Imam Syafi’i dalam
pokok-pokok ushul fiqih, meskipun ia mengikuti cabang-cabangnya. Sebagai
contoh: Imam Syafi’i tidak menjadikan ijma’ sukuti (kesepakatan ulama secara
diam-diam) sebagai hujjah. Akan tetapi imam al-Amidi (pengikut madzhab
syafi’i) menjadikan sebagai hujjah, sebagaimana dijelaskan dalam
kitabnya al-Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz I hal. 265[5].
Cara penulisan ushu fiqih aliran ini telah dirintis oleh imam Syafi’i,
kemudian dikembangkan oleh para murid dan para pengikutnya (syafi’iyah)
sehingga disebut sebagai aliran Syafi’iyah. Dalam perkembangannya metode
penyusunan ushul fiqih aliran ini diikuti oleh kalangan Malikiyah dan
Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini juga dikenal dengan metode jumhur ulama
ushul fiqih. dan oleh karena para tokohnya umumnya dari kalangan ahli-ahli ilmu
kalam sehingga dalam penyusunannya sedikit banyaknya dipengaruhi oleh metode
ilmu kalam maka aliran ini juga disebut aliran mutakallimin.[6]
Ada pandangan-pandangan yang bersifat logis dan filosofis dalam aliran ini.
Mereka (para ulama dalam aliran ini) membicarakan tentang asal usul bahasa dan
membahas setiap permasalahan secara rasional. Seperti pembahasan tentang
kebaikan akal fikiran, keburukan suatu perbuatan serta kesepakatan mereka bahwa
semua hukum selain peribadatan bersifat rasional. Mereka sepakat bahwa
mensyukuri nikmat adalah wajib, akan tetapi mereka berselisih apakah kewajiban
mensyukuri nikmat itu berdasarkan pertimbangan akal atau berdasarkan perintah
syara’. Demikian juga mereka berselisih tentang masalah-masalah rasional yang
tidak berkaitan dengan perbuatan, dan tidak menciptakan metode untuk menggali
hukum, seperti perselisihan mereka tentang diperkenankan atau tidaknya
membebani orang yang tidak ada. Mereka tidak melarang seseorang untuk
membicarakan permasalahan-permasalahan yang ada dalam disiplin ilmu kalam yang
merupakan pokok agama dan tidak ada hubungannya dengan ilmu fiqih, diantaranya
adalah masalah terpeliharanya para nabi dan perbuatan dosa sebelum diangkat
menjadi nabi. Mereka telah membuat satu pasal yang khusus membicarakan masalah
ini.[7]
Hal tersebut memberi isyarat bahwa aliran pertama didalam membahas suatu
masalah tidak didasarkan pada fanatisme madzhab tertentu dan tidak terikat
dengan kaidah-kaidah pokok bagi masalah-masalah madzhab yang bersifat furu’.
Bahkan kaidah-kaidah tersebut dipelajari lantaran dijadikan penentu dan
landasan bagi masalah-masalah fiqih serta cara menggalinya. Pandangan yang
netral tersebut membuahkan kaidah-kaidah ushul fiqih yang netral (murni) yang
dipelajari secara mendetail dan terjauh dari fanatisme.
Beberapa ciri dari aliran ini antara lain adalah bahwa pembahasan ushul
fiqih disajikan secara rasional, filosofis, teoretis tanpa disertai contoh, dan
murni tanpa mengacu kepada madzhab fiqih tertentu yang sudah ada. Kaidah-kaidah
ushul fiqih mereka rumuskan tanpa peduli apakah mendukung madzhab fiqih yang
mereka anut atau justru berbeda, bahkan bertujuan untuk dijadikan timbangan
bagi kebenaran madzhab fiqih yang sudah terbentuk.[8]
Ciri utama aliran kalam adalah kajian hukumnya itu lebih banyak
diorientasikan pada ayat-ayat al-quran dan sunnah nabi, sebagai implikasi dari
dasar pemikiran bahwa syar’i itu hanyalah Allah dan rasul-Nya. Tugas mujtahid
menurut mereka bukan bukan menciptakan hukum tetapi menemukan hukum yang telah
dikemukakan oleh syar’i tersebut, kemudian teori kajian hukumnya ini banyak
diserap oleh para ulama yang berlatar belakang keilmuan kalam[9].
Diantara kitab-kitab yang ditulis oleh aliran ini adalah:
1)
Al-Mu’tamad oleh Abu Hasan Muhmmad ibn Ali al-Basri, seorang ulama aliran
mu’tazilah yang wafat pada tahun 413 H.
2)
Al-Burhan oleh Imam ulama madzhab Syafi’i yang wafat pada tahun 487 H.
3)
Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali.
Kemudian ulama periode berikutnya meringkas ketiga
kitab tersebut dan membikin resume. Akhirnya kitab-kitab yang ringkas (global)
itu memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga menyebabkan para ulama banyak
yang mengarang kitab-kitab syarah (penjelasan) tersebut. Diantara ulama
yang meringkas dan memberikan komentar terhadap ketiga kitab tersebut ialah
Imam Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya al-Mahshul dan Imam Abu Husain Ali
yang terkenal dengan sebutan Imam al-Amidi (wafat tahun 631 H) dalam kitabnya al-Ihkam
fi Ushulil Ahkam. Kedua kitab tersebut telah banyak diringkas oleh para
ulama yang terkadang terlalu ringkas, sehingga hampir-hampir hanya merupakan
rumus yang kemudian memerlukan penjelasan (syarah) lagi.
2. Aliran Hanafiyah (Fuqaha)
Aliran ini dianut ulama-ulama mazhab Hanafi.
Dinamakan aliran fuqaha’, karena aliran ini dalam membangun teori ushul fiqhnya
banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak
membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap
masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan
teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan
hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’
tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun
sesuai dengan hukum-hukum furu’ yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga
tidak satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan. Aliran ini juga disebut dengan
aliran kaum juris (fuqaha) dengan menggunakan metode induktif, yaitu menetapkan
teori-teori umum yang didasarkan pada hukum-hukum furu’.[10]Aliran
fuqaha dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqih mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat
fiqih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya
dengan contoh-contoh.[11]
Aliran ini
juga disebut aliran yang menggunakan metode ushul Hanafiyah karena mengarah
pada penyusunan ushul fiqih yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya
bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah
berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut madzhab melakukan
ijtihad untuk memelihara hukum fiqih yang dicapai oleh ulama pendahulu
madzhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan
madzhab mereka. Ulama fuqaha yang lebih banyak menggunakan metode ini adalah
ulama kelompok Hanafiyah.[12]
Oleh karena itu, metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini disebut
aliran Hanafiyah.
Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara yang sudah disepakati.
Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara yang sudah disepakati.
Berbeda
dengan aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh
furu’ yang ada dalam mazhabnya, sehingga sering terjadi pertentangan
kaidah dengan hukum furu’ dan terkadang kaidah yang dibangun sulit untuk
diterapkan. Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka
berusaha untuk mengubah kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai
dengan masalah furu’ yang mereka hadapi[13].
Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i
(pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadis ahad
(bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena
hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum
tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan
dikhususkan oleh yang zhanni.
Penyusunan
seperti ini dilakukan oleh aliran Hanafiyah karena Abu Hanifah tidak
meninggalkan buku ushul fiqih. Ushul fiqih madzhabnya disimpulkan kemudian oleh
pengikutnya dari hasil-hasil fatwa para muridnya. Setiap kaidah diuji
kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah terbentuk, bukan sebaliknya dimana
hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji kebenarannya dengan kaidah-kaidah
ushul fiqih seperti dalam aliran mutakallimin.[14] Diantara ciri khas
aliran Hanafiyah, bahwa kaidah yang disusun dalam Ushul Fiqh mereka semuanya
dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan Ushul Fiqh mereka terlebih dahulu
disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka. Pendekatan
semacam ini, memberi peluang kepada para ulamanya untuk melahirkan
kaidah-kaidah baru, yang sebelumnya belum diangkat oleh ulama madzhabnya
sendiri. Kendati demikian, kaidah-kaidah baru tersebut, pada faktanya tidak
senantiasa terkait dengan kaidah-kaidah ulama madzhabnya itu[15].
Ini tentu berbeda
dengan aliran Syafi’iyah atau mutakkalimin yang tidak berpedoman pada hukum
furu’ dalam menyusun Ushul Fiqh mereka. Konsekuensinya, tidak jarang terjadi
pertentangan antara Ushul Fiqh Syafi’iyah dengan hukum furu’ dan kadangkala
kaidah yang disusun aliran ini sulit diterapkan. Abu zahrah menyatakan bahwa
perbedaan prinsipil antara aliran kalam dengan aliran Hanafiyah, terletak pada
posisi kaidah-kaidah ushul ulama madzhabnya. Kaidah-kaidah imam al-Syafi’i
sebagai tokoh utama aliran kalam, bagi para pengikutnya merupakan kaidah-kaidah
umum yang langsung dapat dikembangkan pada berbagai furu’ yang mereka hadapi.
Sementara kaidah-kaidah Abu Hanifah, bagi para pengikutnya banyak dipergunakan
sebagai rujukan dalam perumusan kaidah-kaidah baru[16].
Meskipun
aliran ushul fiqih ini tampaknya statis serta sedikit manfaatnya lantaran
semata-mata untuk memperthankan madzhab tertentu, akan tetapi secara umum
madzhab metode tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran fiqih,
pengaruh tersebut antara lain sebagai berikut:
1)
Meskipun metode
tersebut semata-mata untuk mempertahankan madzhabnya, Akan tetapi sebagai
metode untuk berijtihad ia merupakan kaidah-kaidah yang berdiri sendiri,
sehingga dapat dijadikan perbandingan antara kaidah-kaidah tersebut, dengan
kaidah-kaidah yang lain. Dengan mengadakan perbandingan, maka secara obyektif
dan diperoleh metode yang lebih benar dan kuat.
2)
Karena metode
tersebut diterapkan terhadap masalah-masalah furu’, maka ia bukan
merupakan pembahasan yang universal dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat
diterapkan pada masalah-masalah furu’. Dengan mengkaji universalitas
kaidah-kaidah tersebut, akan memberikan kekuatan tersendiri.
3)
Mengkaji ushul
fiqih dengan sistem tersebut, sama dengan mengkaji perbandingan masalah-masalah
fiqih. Kajian tersebut bukannya membandingkan antara masalah-masalah pokok.
Sehingga seseorang tidak hanya mengkaji masalah-masalah cabang yang tidak ada
kaidahnya, tetapi memperdalam masalah-masalah yang bersifat universal untuk
menggali hukum masalah-masalah furu’ (juz’i).
4)
Kajian ini
memberikan kaidah pada masalah-masalah furu’, seperti masalah-masalah
pokok. Dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan hukum, merinci
masalah-masalah furu’, serta memberikan ketentuan hukum terhadap
permasalahan yang terjadi pada saat itu dan belum pernah terjadi pada masa
imam-imam terdahulu. Tentu hukum-hukum tersebut tidak akan menyimpang dari
ketentuan madzhab mereka, karena hukum-hukum tersebut merupakan pokok yang
menetapkan hukum-hukum masalah furu’.[17]
Tidak dapat diragukan
lagi, bahwa dengan berkembangnya madzhab tersebut, mak menjadi luaslah
cakrawala hukum. Demikian juga para ulamanya tidak hanya mandeg pada
hukum-hukum yang diriwayatkan dari para imam madzhab saja, tetapi mereka juga
mengembangkan hukum-hukum tersebut dan menetapkan hukum terhadap masalah-masalah
yang terjadi dengan menggunakan metode dari para imam terdahulu.
Adapun kitab-kitab
ushul fiqih yang disusun menurut aliran ini adalah:
1)
al-Ushul karya
Abil Hasan al-Karkhi (wafat 340 H).
2)
Ushulul Fiqh
karya Abu Bakar ar-Razi yang terkenal dengan nama al-Jashshash (wafat 380 H).
3)
Ta’sisun Nazhar
karya ad-Dabusi (wafat 430 H).
Setelah itu munculah seorang ulama besar
yang bernama al-Bazdawi (wafat 483 H). Dia menyusun sebuah kitab yang diberi
nama Ushul al-Bazdawi, sebuah kitab usul fiqih yang ringkas dan mudah
dicerna. Kitab tersebut terbilang kitab yang paling jelas dan mudah yang
disusun menurut metode madzhab Hanafi. Kemudian muncul pula imam as-Sarkhasi
penyusun kitab al-Mabshuth yang menyusun sebuah kitab yang senada dengan
kitab al-Bazdawi, hanya lebih luas dan mendetail. setelah itu terbitlah
beberapa kitab yang disusun menurut metode tersebut yang meresume dan
menjabarkan kitab-kitab terdahulu, seperti kitab al-manar.[18]
Suatu
hal yang wajar bila dikatakan bahwa para ulama yang memperdalam ilmu ushul
fiqih, baik dari madhab Syafi’i, Maliki maupun Hanbali telah banyak yang
menyusun kitab ushul fiqih, menurut metode Hanafi dalam menerapkan
kaidah-kaidah kulliyah (universal) pada masalah-masalah furu’
yang terdapat dalam madzhab mereka masing-masing. Seperti kitab Tanqihul
Fushul fi ‘Ilmil Ushul, karya al-Qarafi. Kitab tersebut disusun
menurut metode madzhab Hanafi dan menjelaskan tentang kaidah-kaidah madzhab
Maliki yang diterapkan dalam masalah-masalah furu’. Kitab At-Tamhid
fi Takhrijil Furu’ alal Ushul karya Imam Asnawi (wafat 777 H), seorang
pengikut madzhab Syafi’i. Dalam kitab tersebut, dia menjelaskan penerapan
kaidah-kaidah ushul madzhab Syafi’i terhadap masalah-masalah furu’.
Demikian juga kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul
Qayyim yang menjelaskan tentang madzhab Hanbali.[19]
3.
Aliran
Konvergensi
Metode yang
menggabungkan dan mengkombinasikan antara kedua pendekatan. Metode ini juga
sering disebut dengan tariqah al-jam’an. Ciri ulama mazhab ini adalah dengan sikapnya
yang rasional dan juga kadang tradisional. Aliran ini secara harmonis memadukan
dua corak kajian ushul, yakni dalam konteks tertentu mereka cenderung
tradisional, sementara untuk kepentingan yang lainnya mengikuti kecenderungan
aliran rasionalisme Hanafiyah. Oleh sebab itu, mereka para ulama yang mengembangkan
aliran ini tergolong orang-orang tradisional namun dinamis[20].
Diantara
ulama-ulama yang mempunyai ide ini adalah sebagai berikut: Mudhafaruddin Ahmad
bin ‘Aliy As Sya’atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan
menulis kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun
oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis
oleh Al Amidiy.
Setelah
adanya aliran mutakallimin dan hanafiyah, maka terbitlah kitab-kitab fiqih yang
disusun berdasarkan kedua metode tersebut. Mula-mula ditulis kaidah-kaidahnya
saja, kemudian menerapkan kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan metode madzhab.
Kitab-kitab tersebut disusun oleh para ulama yang ahli dari madzhab Syafi’i dan
Hanafi. Diantara kitab-kitab tersebut adalah :
1)
Badi’un Nizham karya Ahmad bin Ali As-Sa’ati al-Baghdadi (wafat 694 H), yang menghimpun
kitab Ushul al-Bazdawi dan kitab al-Ihkam karya al-Amidi. Setelah
itu kitab Tanqihul Ushul karya Syekh Sadrus Syari’ah Abdullah bin Mas’ud
al-Bukhari (wafat 747 H) yang diberi syarah berjudul at-Taudhih. Dalam
kitab tersebut dia menghimpun kitab Ushul al-Bazdawi, kitab al-Mahsul
karya ar-Razi dan kitab al-Mukhtashar karya Ibnu Hajib.
2)
Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahhab as-Subki asy-Syafi’i (wafat 771 H) ahli ushul
fiqih dari kalangan Syafi’iyah.
3)
at-Tahrir
karya Kamaluddin ibnul Humam (wafat 861 H).
4)
Muslimus Tsubut karya Muhibbullah ibn Abdus Syakur al-Hindi.
Dalam
kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu
Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syatibiy (wafat pada tahun 760 H) telah menyusun
sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1-Muwafaqat.
Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara’
dalam menetapkan hukum. Kitab Ushul Fiqh oleh Syaikh Muhammad Al-Khudlariy
Bak (wafat pada tahun 1345 H/1927 M). Pada modern ini ilmu Ushul Fiqh mencapai
perkembangan yang gemilang, walaupun demikian masih banyak kritikan oleh para
ulama kontemporer yang ingin mengembangkan ilmu ini dan ataupun sengaja ingin
mengkritisi karya literatur maupun buah pemikiran para ulama salaf.
KESIMPULAN
Dikenal ada tiga aliran dalam ushul fiqh yang berbeda
yaitu aliran Syafi’iyyah (mutakallimin), aliran Hanafiyah (fuqaha), aliran
konvergensi (campuran). Perbedaan yang muncul ini akibat perbedaan dalam
membangun teori ushul fiqh masing-masing yang digunakan dalam menggali hukum
islam.
Aliran Syafi’iyyah (Mutakllimin) dalam membangun ushul
fiqh mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’
(masalah keagamaan yang tidak pokok). Aliran ini menetapkan kaidah-kaidah
dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (al-Qur’an dan atau Sunnah)
maupun dari ‘aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah
furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan
furu’ dan ada
kalanya tidak. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil
naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ mazhab
maupun tidak, sejalan dengan kaidah yang telah ditetapkan imam mazhab atau
tidak.
Aliran Hanafiyah (fuqaha) dalam membangun
teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya,
mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap
masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori
tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum
furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut.
Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan
hukum-hukum furu’ yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak satu kaidah pun
yang tidak bisa diterapkan. Aliran konvergensi dalam membangun teori ushul
fiqihnya dengan menggabungkan dua aliran yaitu aliran mutakallimin dan aliran
hanafiyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah,
Jakarta: Kencana, 2006.
Abdul Mughits, Pengantar Fiqh/Ushul
Fiqh,Yogya: UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Ahmad
Hanafi, Usul Fiqh, Jakarta Pusat: Widjaya, 1987.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
Jilid I, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2005.
Januari,
dkk., Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Dede
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996.
Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2011.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Satria Effendi, Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana, 2008.
[1]
Satria Effendi, Ushul
Fiqh, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 23
[2]
Abuddin Nata, Masail
al-Fiqhiyah, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 37.
[3]
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 2005, hlm. 44.
[4]
Ahmad Hanafi, Usul Fiqh,
Widjaya, Jakarta Pusat, 1987, hlm.10.
[5]
Muhamad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2011, hlm. 18.
[6]
Satria Effendi, Ushul
Fiqh, hlm. 23.
[7]
Muhamad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih, hlm.18.
[8]Satria Effendi, Ushul Fiqh,
hlm. 24.
[9] Dede Rosyada, Hukum Islam dan
Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
1996, hlm. 108.
[10]
Abuddin Nata, Masail
al-Fiqhiyah, hlm. 37
[11]
Satria Effendi, Ushul
Fiqh, hlm. 24
[12]
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid I, hlm. 44.
[13]
Ahmad Hanafi, Usul Fiqh,
hlm.10.
[14]
Satria Effendi, Ushul
Fiqh, hlm. 25.
[15]
Dede Rosyada, Hukum
Islam.. hlm. 109.
[16] Ibid,.
[17]
Muhamad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih, hlm.21.
[18]
Ibid.
[19]
Ibid.
[20]
Dede Rosyada, Hukum
Islam.. hlm. 110.
Maaf pak.. Saya mau nanya bapak punya buku usul fiqh karangan ahmad hanafi pak sesuai referensi yg ada ditulisan bapak ini? Mohon bantuannya pak
BalasHapusassalamu'alaikum, terimakasih atas ilmunya ijin copy dan share
BalasHapusMGM Grand Hotel & Casino - Mapyro
BalasHapusGet directions, 김제 출장안마 reviews and information for 화성 출장샵 MGM Grand Hotel & Casino in 시흥 출장샵 Las Vegas, NV. 양산 출장샵 MGM Grand Hotel 강릉 출장샵 and Casino. Mapyro.