Pendahuluan
Persoalan
agama bukan hanya pada otentisitas teks-teks keagamaan, tetapi pada pemahaman
yang baik dan benar. Keaslian dan kemurnian teks Al-Qur’an dan hadis sebagai
sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi
khazanah intelektual Islam menyodorkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut
pemahaman teks-teks tersebut. Sifat Al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar
sebagai hamâlatu awjuh mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya
dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syari`at
Islam.
Lebih
problematis lagi ketika teks-teks tersebut berupa hadis, sebab dalam
memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab
al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan hadis tersebut. Satu hal yang
harus diyakini, kebanyakan sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan
dan ketetapan, mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyrî`iyyah),
sebab dengan mengikutinya kita akan mendapat petunjuk (QS. Al-A`râf [7] : 158).
Segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah mempunyai
alasan-alasan tertentu dan mengandung hikmah, ‘illah dan maslahah
yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum
yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak
boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum
yang telah ditetapkan Allah tersebut terkait dengan sebab-sebab yang
melatarbelakanginya dan ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya
kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di
dunia maupun di akhirat nanti.
Maqasid
al-Syariah atau tujuan-tujuan Hukum Islam secara historis merupakan kelanjutan
dan perkembangan dari konsep hikmah, ‘illah dan maslahah, walaupun penggunaan ketiga istilah ini terhadap penetapan hukum terdapat
pertentangan dalam kalangan mutakalimin dan usuliyyin yang pada
akhirnya menimbulkan aliran-aliran dalam maqasid al-Syariah itu sendiri.
istilah maslahah telah menjadi suatu konsep yang sistematis setelah
Syatibi melakukan kajian yang mendalam terhadap maslahah sehingga
melahirkan konsep maqasid al-Syariah dalam sebuah karya monumental
al-muwafaqat-nya.
Berdasarkan hal tersebut, perlu kirannya diadakan suatu pembahasan secara
khusus terhadap masalah Maqasid al-Syariah. Namun, agar pembahsan tersusun
secara sistematis, maka dalam makalah ini penulis mencoba membatasi kajiannya pada rumusan masalah sebagai beikut; (1). Definisi atau hakikat Maqasid
al-Syariah, (2) Sejarah Maqasid al-Syari’ah (3). Aliran-aliran Maqasid
al-Syariah
Berpijak dari
rumusan dan batasan masalah tersebut, maka tujuan yang
hendak dicapai dari pembahasan makalah ini adalah untuk
memperoleh kejelasan dan pengetahuan tentang; definisi atau hakikat Maqasid al-Syariah, bagaiman sejarah
tebentuknya maqasid al-Syari’ah dan aliran-aliran atau mazhab-mazhab apa saja
yang terdapat dalam Maqasid al-Syariah.
Selanjutnya, mengingat kajian
makalah ini memusatkan perhatian pada tela’ah konsep atau teori maqasid
al-Syariah, maka dalam metode kajiannya penulis memakai Metode Interpretasi dengan
cakupan analisis Gramatikal (pemahaman tata bahasa atau kebahasaan), Historikal
(latarbelakang pembentukan, dan termasuk aliran-aliran yang muncul dalam
perkembangannya), Sistematikal (pembahasan terhadap esensi atau isi
materi), Teleologikal (fungsi atau tujuan).
A. Definisi
Maqashid al-Syariah
Apabila
dilakukan istiqra tentang tata cara penggunaa bahasa ke
dalam bahasa Arab, dan mengetahui asal-usul kalimat Maqasid al-Syariah, dapat
dikatakan bahwa; Maqashid
berasal dari fii'l tsulasi (قصد ، يقصد، قصدا, مقصدا - مقاصدا), yaitu bentuk jama (jama taksir) dari
masdar mim, yang berarti “maksud-maksud atau tujuan-tujuan”.[1]
Sedangkan Syari’ah menurut bahasa berasal dari (شرع, يشرع شرعا – شريعة) yang
berarti aturan atau undang-undang.[2] Adapun
Maqasid al-Syariah apabila ditijau dari segi istilah sebagai mana dikatakan
oleh al-Zuhaili adalah segala
makna,
sasaran atau tujuan hukum yang diperhatikan
syara’ dalam seluruh atau sebagian besar ketetapan hukum, atau sebagai tujuan
akhir syari’at serta rahasia yang ditetapkan Syari’ pada setiap hukum.
Menurut hemat penulis, apa bila ingin
mengetahui lebih dalam akan definisi Maqasid al-Syariah, hal ini tidak dapat
terlepas akan awal kemunculan istilah kalimat tersebut. Kemunculan istilah
Maqasid al-Syariah secara teknis dicetuskan oleh Syatibi dalam al-Muwafaqatnya.
Namun syatibi sendiri dalam mengomentari maqasid, dia mengidentikan dengan
istilah mashalih. Mashalih menurut Syatibi ialah perolehan apa-apa
yang menyangkut rizki manusia, pemenuhan
penghimpunan manusia dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas
emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.[3]
Adapun Maslahah menurut al-Ghazali ialah ungkapan
untuk mencari sesuatu yang bermanfaat (manfa’ah) atau menghilangkan sesuatu
yang merugikan (madharat). Lebih lanjut al Ghazali mengatakan; Maslahah adalah
memelihara tujuan Syariat atau yang mencakup lima hal : memelihara agama,
kehidupan, akal, keturunan dan harta.[4]
B. Sejarah Maqasid al-Syariah
Dalam kajian sejarah maqashid al-syariah kita
dihadapkan dengan sebuah pertanyaan besar, Siapa peletak pertama maqashid
al-syariah ? konon katanya, al-Syatibi, ‘ulama dari mazhab Maliki merupakan
peletak pertama, atau memang jauh sebelum al-Syatibi istilah maqashid
al-Syariah telah dibicarakan. Oleh karena itu, dalam sub bahasan ini
penulis mencoba menguraikan akar sejarah istilah maqashid al-Syariah.
Secara pormal, istilah Maqasid belum dikenal pada awal
Islam. Namun, pada waktu itu para pakar hukum Islam mengenal istilah Maslahah.
Maslahah, sebagai salah satu prinsip penalaran hukum – secara luas, menyatakan
bahwa “kebaikan” adalah “halal” dan bahwa “halal” mestilah baik – akhirnya digunakan di masa paling awal dari
perkembangan fiqih. Penggunaan prinsip ini dinisbatkan, misalnya kepada
yuris-yuris awal dari “Mazhab Hukum kuno” atau bahkan kepada sahabat-sahabat
Nabi. Diantara pendiri mazhab fiqih, ia diasosiasikan kepada Malik b. Anas.[5]
Kata
al-Maqashid sendiri pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim,
ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah yang pertama kali menyuarakan Maqashid
al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa
Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya
al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku
karangannya.
Setelah
al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy (w. 333) dengan karyanya Ma’khad
al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365) dengan bukunya
Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu
Bakar al-Abhari (w.375) dan al-Baqilany (w. 403) masing-masing dengan karyanya,
diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan
al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Sepeninggal
al-Baqillany muncullah al-Haramayn al-Juwaeny (438/1047), dengan analisisnya
mengenai maslahah sebagai basis ekstratekstual penalaran dalam konteks qiyas
dengan ‘illah. al-Haramayn, dalam al-Burhan, menyatakan; kesahihan penalaran
atas dasar maslahah menjadi perbincangan sehingga melahirkan tiga Mazhab
Pemikiran menyikapi kajian maslahah.[6] setelah itu
Istilah mashlahah dan mashalih digunakan oleh tokoh Mu’tazilah Abu Husain
al-Basri (w. 478/1065). Baginya maslahah adalah hal-hal yang baik atau
kebaikan. Basri membahas maslahah dengan merujuk kepada ‘illah. Disatu tempat
ia mendefinisikan al-mashalih al-syar’iyyah dengan tindakan-tindakan yang wajib
berdasarkan syari’at.
Pada abad-abad berikutnya konsep masalih memperoleh
kemajuan yang sangat penting. Ada dua tahap utama dalam perkembangan konsep
ini. Perkembangan yang pertama ditunjukan oleh al-Ghazali pada abad ke dua
belas dalam sebuah karyanya al-mustasyfa, sedangkan kedua oleh al-Razi
pada abad ke tigabelas dalam al-Mahsul.
Dalam karyanya al-Ghazali tersebut, masalah di bahas
lebih lengkap. Ia membagi maslah menjadi tiga katagori. Pertama, jenis
maslahah yang memiliki bukti tekstual (dapat digunakan peng-qiyas-an). Kedua,
maslahah yang diingkari oleh bukti tekstual (dilarang peng-qiyas-an). Ketiga,
jenis maslahah yang tidak di dukung atau disangkal oleh bukti tekstual
(maslahah yang memerlukan pertimbanagan). Dari segi ini ada tiga tingkatan
maslahah : yaitu daruriyah, hajat dan tahsinat.
Al-Mustashfa al-Ghazali tetap merupakan sumber utama
yang mempengaruhi pekembanagan selanjutnya, sampai muncul karya monumental
al-Razi dengan al-Mahshul-nya. Razi tidak mendefinisikan mashlahah,
tetapi nampak bahwa dalam pemikirannya manasib dan maslahah
saling berkaitan erat. Dia mendefinisikan manasib dengan dua definisi. Pertama,
manasib didefinisikan sebagai “apa yang membawa manusia kepada apa yang
baik-baiknya, dalam “memperoleh” maupun “pelestarian”. Sedangakan definisi manasib
kedua ialah “ apa-apa yang biasanya cocok (fi’l ‘adah) dengan perbuatan
orang-orang bijaksana. Al-Razi kemudian menjelaskan bahwa definisi yang pertama
diterima oleh mereka yang menisbatkan hikmah dan maslahah sebagai sebab-sebab atau
motif-motif dari perintah Tuhan. Sedangkan definisi yang kedua digunakan oleh
mereka yang tidak menerima kausalitas. Sebagai mana al-Ghazali, al-Razi-pun
membahas maslahah kepada tiga; maslahah dharuri, maslahah haji dan maslahah
tahsini.[7]
Sepeninggalan al-Razi ada beberapa karya yang membahas
para ahli hukum Islam. karya-karya tersebut dapat terlihat dalam empat
kecendrungan. Kecendrungan Pertama, merujuk kepada mereka yang konsepsinya
tentang maslahah adalah entah secara dominan serupa dengan konsep al-razi
tentang Munasib dan maslahah. dikalangan Maliki, Syihabudin al-Qarafi
(684/1285). Kalangan hanafi, Shadr al-Syari’ah al-Mahbubi (747/1346). Jamaludin
al-Isnawi (771/1370) dan Tajuddin al-Subki (771/1369) menggabungkan al-Ghazali
dan al-Razi. Kecendrungan ke-dua, merujuk kepada para yuris yang menolak
al-maslahah al-mursalah sebagai dasar penalaran yang sahih, dalam katagori ini
termasuk mazhab al-Syafi’I, safiudin al-Amidi (631/1234) dan yuris al-Maliki,
Ibn Hajib (646/1249).
Kecendrungan ke-tiga, Izzuddin Ibn ‘Abdus Salam
(660/1263) tertuang dalam karya monumentalnya, qawa’id al-ahkam fii masalih
al-‘anam. Dia cendrung sufistik tentang hukum dalam konsep pembahsan mashlahah.
Bagi dia mashlahah adalah kenyamanan kegembiraan serta sarana-sarana yang membawa
kepada keduanya. Karena itu, masalih terbagi menjadi dua jenis; mashalih dunia
dan masahalih akhirat. Mashalih dunia dapat diketahui oleh akal sedangkan
mashalih akirat hanya dapat diketahui oleh naql(hadis dan wahyu).[8]
Ditempat lain Ibn Abd Salam membagi maslahah menjadi dua bagian utama. Yang
pertama adalah hak-hak Allah dan kedua adalah hak-hak manusia. Hak-hak tuhan
mencakup tiga katagori; hak-hak yang murni milik tuhan, semisal ma’arif dan
ahwal. Kedua yang menggabungkan antara hak-hak tuhan dengan hak-hak manusia,
semisal zakat. Ketiga, hak-hak yang menggabungkan hak-hak tuhan dengan hak
Rasul-nya serta hak-hak manusia pada umumnya. Hak-hak manusia juga mencakup
tiga katagori; hak-hak sendiri, hak-hak sesama manusia dan hak binatang dan
manusia.[9]
Kecendrungan ke-empat ditampilkan oleh Ibn Taymiyah
(728/1328) dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (751/1350). Ibn Taymiah mencoba menemukan
jalan tengah “penolakan total dan penerimaan total terhadap maslahah”.
ia memandang al-maslahah mursalah sama dengan metode ra’y, istihsan,
kasyf (ungkapan mistik) dan dzauwq (cicipan mistik) yang dia curigai
kesahihannya, dan karenanya ditolah. Dilain pihak dia menolak
implikasi-implikasi moral dari penyangkalan terhadap maslahah dalam
perintah-perintah Tuhan. Lebih jauh Ibn Taymiyah menyimpulkan bahwa berargumen
dengan al-maslahah mursalah berarti membuat hukum dalam agama dan tuhan
tidak membolehkan hal itu, melakukan hal itu sama saja melakukan istihsan dan
tahsin ‘aql. Dia mengakui bahwa syariat tidak bertentangan dengan maslahah,
tetapi manakala manusia menemukan dengan akal akan adanya maslahah dalam sebuah
kasus tertetu dimana tidak ada nas yang bisa di temukan untuk mendukungnya,
maka hanya ada dua arti. Entah secara pasti ada sebuah tertentu dimana tidak
ada nas yang tidak diketahui oleh sipengamat, atau dia tidak sedang berurusan
dengan maslahah sama sekali.[10]
Dengan melihat sejarah maqasid al-syari’ah
diatas, dapat diambil suatu pernyataan bahwa sebelum Imam Syathibi,
Maqashid al-Syari’ah sudah ada dan sudah dikenal hanya saja susunannya belum
sistematis sehingga datangnya Imam Syathibi dengan al-Muwafaqat sebagai karya
munumental-nya, maqasid al-Syariah telah tersistematis-kan. Sebagai mana dalam kajian Ilmu Usul Fiqh, Imam al-Syaf’I merupakan peletak
sistematisasi Usul Fiqh. Namun, bukan brarti Usul Fiqh belum dibicarakan, hanya
saja Usul Fiqh sebelum al-Syafi’I belum tersusun dengan sistematis. Oleh karena
itu pada kajian selanjutnya penulis merasa perlu mengkaji konsep maqasid
syariah menurut Syatibi.
B. Aliran-Aliran
Maqasid al-Syariah
persoalan
agama bukan hanya pada otentisitas teks-teks keagamaan, tetapi pada pemahaman
yang baik dan benar. Keaslian dan kemurnian teks Al-Qur’an dan hadis sebagai
sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi
khazanah intelektual Islam menyodorkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut
pemahaman teks-teks tersebut. Sifat Al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar
sebagai hamâlatu awjuh mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya
dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syari`at
Islam.
Lebih
problematis lagi ketika teks-teks tersebut berupa hadis, sebab dalam
memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab
al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan hadis tersebut. Satu hal yang
harus diyakini, kebanyakan sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan
dan ketetapan, mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyrî`iyyah),
sebab dengan mengikutinya kita akan mendapat petunjuk (QS. Al-A`râf [7] : 158).
Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qaradhawi, juga sepakat, ada
sekian banyak hadis yang tidak berimplikasi hukum, terutama yang berkaitan
dengan beberapa persoalan keduniaan. Di antara ulama yang mengklasifikasikan
hadis dalam bentuk di atas Al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah al-Dahlawi
(w. 1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin
Tertinggi Lembaga Al-Azhar, dan Thahir Ibnu Asyur, Mufti Tunis dan pengarang
tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwar.
Contoh
kasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi datang ke Madinah dan
menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dan betina dari
pohon korma agar produktifitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah menganjurkan
agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun
mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada
Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, "Aku hanyalah manusia biasa,
jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika yang aku
sampaikan hanyalah sekadar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia
biasa" (HR. Muslim). Dalam hadis lain beliau menanggapinya dengan
ungkapan, "Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)"
(HR. Muslim).
Hadis
tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat
dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah
salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma,
sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan
perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran
agama yang harus diikuti, tetapi kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya
tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal
teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih
tahu dari Rasul. Karenanya, pakar hadis terkemuka dan penyusun kitab penjelasan
(syarah) Shahîh Muslim, Imam Nawawi, meletakkan hadis tersebut di bawah judul,
"Ba>b wuju>b imtitsa>li ma> qa>lahu syar`an, dûna mâ
dzakarahu shallallâhu `alayhi wasallam min ma`âyisyi al-dunyâ `alâ sabîl
al-ra`yi" (Bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syari`at agama,
bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
Dari
contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam tek-teks keagamaan adalah
pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal
(teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang
begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak
sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar bahkan liberal.
Ulama
besar, Al-Syathibi, dalam kitab al-Muwâfaqât mencatat empat aliran dalam pemahaman
Al-Qur’an dan hadis, yaitu Zhâhiriyyah (literal), Bâthiniyyah, Al-Muta`ammiqûn
fi al-Qiyâs (rasionalis dan cenderung liberal) dan al-Râsikhûn fi al-`Ilm
(mendalam ilmunya dan moderat) .
1.
Zhâhiriyyah
Zahiriyyah
adalah sebuah mazhab yang berlandaskan pada Al-Qur’an, sunnah dan ijmâ`, tetapi
menolak intervensi akal dalam bentuk qiyâs, ta`lîl, istihsân dan lain
sebagainya. aliran Zahiriyah-pun berpendapat bahwa pada dasarnya ‘illat hukum
tidak ada kecuali ada dalilnya, sebab suatu teks hukum (nash) dapat menentukan
adanya hukum menurut bentuk teks itu sendiri, bukan karena ada ‘illatnya dan
hal ini bukan dari bagian obyek nash. Melalui proses ta’lil (pencarian
‘‘illat), hukum beralih dari bentuknya menuju makna hukum atau ‘‘illat, seperti
peralihan makna hakikat ke makna majaz karena ada alasannya. Zhahiriyyah,
sebutan bagi para penganut mazhab ini, terambil dari nama tokoh panutannya,
Daud bin Ali al-Zhahiriy. Muncul pertama kali pada paruh pertama abad ketiga
hijriah.
Dalam
memahami teks keagamaan zhahiriyyah berpegangan kepada tiga prinsip dasar :
a.
Keharusan berpegang teguh pada lahiriah teks, dan tidak
melampauinya kecuali dengan teks yang zahir lainnya atau dengan konsensus
(ijma`) yang pasti. Penggunaan akal tidak diperkenankan.
b.
Maksud teks yang sebenarnya terletak pada yang zhahir, bukan di
balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat
yang dikehendaki syara`.
c.
Mencari sebab di balik penetapan syariat adalah sebuah kekeliruan.
Ibnu Hazm, salah seorang tokohnya berkata : Seseorang tidak boleh mencari sebab
dalam agama, dan tidak diperkenankan mengatakan 'ini' adalah sebab
ditetapkannya 'itu', kecuali ada nash tentang itu. (Lâ yus`alu `ammâ yaf`alu
wahum yus`alûn).
Dalam kajian pemikiran Islam, aliran Zahiriyah
berkembabang hingga saat ini. Mereka
mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di
antara cirinya aliran Zahiriyah masa kini dalam
pemahaman teks adalah :
a.
Memahami teks secara literal (harfiyyah) dan kaku, tanpa melihat
`illat atau maqâshid di balik teks.
b.
Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit dan berlebihan
(al-ghuluww)
c.
Menganggap dirinya yang paling benar, dan lainnya salah
d.
d. Tidak mentolerir perbedaan pendapat atau pandangan
e.
Berburuk sangka dan bahkan mengkafirkan pandangan yang berbeda
Banyak
hasil ijthad kelompok zhahiriyah dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh
para ulama, antara lain karena Tidak mau menggunakan akal dalam pengambilan
hukum dengan memperluas cakupan zhahir, sehingga Al-Qur’an tidak lagi mampu
mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang timbul kemudian.
a. Jumud dan tidak
mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi Al-Qur’an
sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks Al-Qur’an terbatas,
sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu berkembang.
b.
Tidak sejalan dengan rasionalitas Al-Qur’an, karena hanya membatasi
pemahaman pada logika bahasa.
2.
Bâthiniyyah
Sebuah
nomenklatur bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam.
Muncul pertama kali pada masa al-Ma`mun (w 218), salah seorang penguasa
Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu`tashim (w 227). Sebagian ulama
mensinyalir, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks
keagamaan bersumber dari kalangan Majusi yang mempengaruhi salah satu dari
golongan umat Islam yaitu mazhab Syi’ah. Dinamakan Bâthiniyyah karena mereka
meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariat;
zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedang yang batin hanya
diketahui oleh Imam . tolak ukur penafsiran akan batin al-Qur’an atau Hadist adalah kepada
imamiyah.
Pola
yang digunakan Batiniyah dalam memahami
teks-teks keagamaan ;
a.
Tujuan dan maksud dari sebuah teks (Al-Qur’an dan hadis) bukan pada
makna zhahir yang diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks
penyebutan, tetapi terletak pada makna di balik simbol zhahirnya.
b.
Mereka mengkultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir
teks, sehingga banyak hukum-hukum syar`i yang diabaikan, bahkan tidak ditaati
lagi.
Dalam
perkembangannya, mazhab Batiniyah berpendapat, bahwa untuk menetapkan
hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawâbit,
bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi
dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang. Keinginan
untuk menyelaraskan nash dengan realita dilakukan melalui upaya mencari
maqâshid syar`âh yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada
ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa
saja dapat melakukannya. Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia
modern terjadi upaya meruntuhkan syari`ah seperti pada hukum keluarga, warisan,
hudûd dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan
konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzulnya.
Yusuf
al-Qaradhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu`aththilah al-Judud"
(Neo-Mu`aththilah). Kalau mu`aththilah klasik bermain pada tataran akidah,
neo-mu`aththilah bermain pada tataran syari`ah.
Secara
umum kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber, prinsip dan hukum syari`ah
dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap pendapat meski tidak didukung
argumentasi yang kuat. Pijakan dalam
memahami teks :
a.
Mengedepankan akal dari pada wahyu. Akal dapat menentukan mana yang
lebih maslahat untuk dilakukan sampaipun harus berbenturan dengan nash syar`iy.
b.
Dengan dalih maslahat, Umar bin Khattab telah mengalahkan nash
seperti pada kasus al-mu`allafah qulûbuhum yang tidak diberi zakat, menafikan
hukum potong tangan saat paceklik terjadi dan lainnya.
c.
Ungkapan yang sering disebut berasal dari Ibnul Qayyim, "di
mana ada maslahat di situ ada syariat", padahal ungkapan tersebut berlaku
pada kasus yang tidak ada nashnya, atau jika ada mengandung berbagai
kemungkinan yang dapat ditentukan melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan
yang tepat, "di mana ada syari`at di situ ada maslahat".
d.
Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks
pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzulnya. Al-`Ibratu
bikhushûsh al-Sabab, lâ bi `Umûm al-Lafzhi, demikian ungkapan yang sering
digunakan .
Karena
itu Imam Ghazali, seperti dikutip al-Syathibi, mendudukkan mereka pada aliran
yang keliru dalam menafsirkan dan memaknai teks wahyu, bahkan kerusakan yang
mereka lakukan, kata al-Razi, jauh lebih parah dari tindakan orang kafir, sebab
mereka menggerus syariat Islam dengan sebutan Islam itu sendiri .
Ada beberapa kekeliruan yang dilakukan aliran
Batiniyah, diantaranya :
a.
Tidak memiliki perangkat pemahaman yang benar. Mereka tidak
menggunakan kaidah-kaidah kebahasan dan pokok-pokok ilmu tafsir sebagai
sandaran dalam memahami Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab dan baru dapat dipahami maknanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip
kebahasaan Arab.
b.
Mengira ada yang kurang dalam syariat, dan baru sempurna jika
dipahami secara batin yang hanya bisa dilakukan oleh Imam yang ma`shum.
c.
Mengedepankan akal daripada syariat yang dianggapnya kurang memadai
dan melepaskannya tanpa kendali untuk menyelami lautan makna batin. Patut
disadari, keragaman pandangan yang tidak didasari pada kaidah yang jelas akan
menimbulkan kekacauan.
3.
Rasionalis (al-`Aqlaniyyun), atau al-Muta`ammiqun fi al-Qiyas
Sebagian
ulama menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w 716 H)
yang dikenal dengan teori maslahat yang dipahaminya sebagai “sebab yang dapat
mengantarkan kepada tujuan syariat Allah dalam ibadah (al-`ibâdât) dan
mu`amalah (al-mu`âmalât)”.
Pendapatnya
yang sangat berbeda dengan jumhur ulama dan mendapat kritikan tajam: "Jika
ada maslahat yang bertentangan dengan nash yang terkait dengan mu`amalât
(âdât), maka maslahat harus dikedepankan daripada nash".
Menurut
al-Thufi, hubungan antara maslahat dan nash (dalil syar`i) berkisar pada tigal
hal ;
a.
Dalil syar`i sejalan dengan maslahat, seperti dalam penetapan hudûd
terhadap pelaku pembunuhan, pencurian, qadzaf dan lainnya.
b.
Jika tidak sejalan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan melalui
takhshîsh atau taqyîd maka keduanya dapat digunakan dalam batas-batas tertentu.
c.
Jika terjadi benturan antara maslahat dan nash dan tidak bisa
dikompromikan, maka maslahat harus dikedepankan dan nash ditinggalkan .
Aliran ini-pun menyatakan bahwa maslahat harus dikedepankan, karena akal dapat menalar dan
membedakan maslahat manusia tanpa perlu bantuan syara`. Maslahat dapat
diketahui secara pasti melalui kebiasaan, sedangkan nash-nash syar`i tidak
dapat menjelaskannya karena mengandung banyak interpretasi dan kemungkinan.
Ukurannya adalah, hukum mu`amalat sejalan dengan akal dan kebiasaan serta
mewujudkan manfaat, baik ketika sejalan dengan nash maupun bertentangan.
Menurut al-Syatibi
dalam al-Muwafaqat-nya, ada beberapa kekeliruan yang terdapat dalam aliran ini,
diantaranya ialah :
a.
Akal memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua maslahat manusia
secara sempurna. Apa yang diduga akal mendatangkan maslahat boleh jadi justru
sebaliknya. Pengetahuannya sangat terbatas (QS. Al-Isra : 85, QS. Al-Nahl : 8
dan lain-lain). Melepaskan akal untuk menalar tanpa kendali sama tercelanya
dengan mengekang akal untuk tidak berpikir.
b.
Akal mengikuti syara`, bukan sebaliknya.
Dalam
sejarah pemikiran Islam klasik terjadi perdebatan apakah akal dapat mengetahui
kebaikan dan keburukan (al-Tahsîn wa al-Taqbîh al-`aqliyyayn). Asy`ariyyah
: akal tidak dapat membedakan kebaikan dan keburukan tanpa bantuan syara`.
Tolok ukur keduanya pada syara`. Mu`tazilah : Akal dapat mengetahui
keduanya, sebab setiap perbuatan dan perkataan memiliki manfaat dan mudarat.
Agama memerintah dan melarang sesuatu karena manfaat dan mudarat yang
ditetapkan akal. Maturidiah : Akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan, tetapi hukum agama
tidak selalu sejalan dengan pertimbangan akal. Tolok ukurnya adalah perintah
dan larangan agama, sebab akal boleh jadi keliru atau berbeda dalam menetapkan
keduanya.
Kendati
berbeda, mereka sepakat mengatakan, sumber penetapan hukum adalah syari`at,
baik yang tertuang dalam bentuk teks maupun hasil ijtihad . sebagaimana pernyataan mereka, bahwa:
a.
Kemaslahatan dalam muamalat duniawi ada yang tidak diketahui akal,
dan hanya dapat diketahui melalui wahyu, karena itu perlu berpegang pada
ketentuan syariat untuk mencegah kekacauan dan kebimbangan.
b.
Hak-hak mukallaf (hamba) tidak lepas dari hak Tuhan. Al-Thufi
membedakan antara ibadat yang dianggap hak Tuhan sehingga perlu berpegang pada
ketentuan syara`, dan muamalat yang merupakan hak hamba sehingga yang menjadi
tolok ukur adalah kemaslahatan hamba walaupun bertentangan dengan nash.
Al-Syathibi mengatakan, "Dalam setiap bentuk taklîf terdapat hak
Allah". Bentuk hukuman hudûd jika telah sampai ke tangan hakim, selain
qishash, qadzaf dan mencuri, tidak dapat digugurkan meski telah dimaafkan oleh
pihak terkait.
c.
Di dalam syariat tidak ada yang bertentangan dengan akal. Mengedepankan
maslahat dari pada nash mengesankan ada sekian maslahat yang bertentangan
syariat. Ini berlawanan dengan kenyataan bahwa agama (syari`at) sejalan dengan
akal dan fitrah manusia.
d.
Tidak ada pertentangan antara nash dan maslahat. Kemaslahatan yang
hakiki terletak pada cakupan maqâshid syari`ah, sehingga tidak mungkin ada
pertentangan antara keduanya .
4. Thariq
al-Jam’I (Konfergensi)
Terlalu
berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik
teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman
dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya terlampau jauh menyelami makna
batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariat.
Keduanya
merupakan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode
yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat
manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. Al-Syathibi menyebut metode ini
sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (al-râsikhûn fi al-`ilm) atau Thariq
al-Jam’i, sedangkan al-Qaradhawi menyebutnya dengan manhaj wasathiy (metode
tengahan/ moderat) . Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal
pemaknaan al-Qur’an dan hadis. Rasulullah shallallâhu `alayhi wasallam bersabda
:
يَرِثُ
هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ ؛ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ
الْجَاهِلِينَ ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ ، وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ
"Ilmu (Al-Qur’an) akan selalu dibawa pada setiap generasi oleh
orang-orang yang moderat (`udûl); mereka itu yang memelihara Al-Qur’an dari
pena`wilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil dan penyelewengan
mereka yang berlebihan".
Secara
umum ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak dan
mu`amalah. Ciri ini disebut dalam Al-Qur’an sebagai al-Shirâth al-Mustaqîm
(jalan lurus/ kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai
(al-maghdhûb `alaihim) dan yang sesat (al-dhâllûn) karena melakukan banyak
penyimpangan.
Wasathiyyah
(moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri'
dan 'kanan', berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshîr), literal dan liberal,
seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtîr/
bakhîl) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzîr). Karena itu kata wasath biasa
diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah hadis Nabi, ummatan wasathan
ditafsirkan dengan ummatan `udûlan.
Ciri
sikap moderat dalam memahami teks :
a. Memahami agama
secara menyeluruh (komperhensif), seimbang (tawâzun) dan mendalam.
b.
Memahami realitas kehidupan secara baik
c.
Memahami prinsip-prinsip syari`at (maqâshid al-syarî`ah) dan tidak
jumud pada tataran lahir.
d.
Terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan
kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa
“mengedepankan kerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran
pada hal-hal yang diperselisihkan”.
e.
Menggabungkan antara “yang lama” (al-ashâlah) dan “yang baru”
(al-mu`âsharah)
f.
Menjaga keseimbangan antara tsawâbit dan mutaghayyirât. Tsawâbit
dalam Islam sangat terbatas seperti, prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun
Islam), akhlaq, hal-hal yang diharamkan secara qath`iy (zina, qatl, riba dsb).
Mutaghayyirât ; hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanniyy (tsubut
atau dilalah)
g.
Cenderung memberikan kemudahan dalam beragama
Adapun pijakan
Thariq al-Jam’I dalam memahami teks adalah;
a.
Memadukan antara yang zhahir dan yang bathin secara seimbang dan
tidak memisahkan makna bathin dengan zhahir nash.
b.
Memahami nash sesuai dengan bahasa, tradisi kebahasaan dan pemahaman
bangsa Arab (al-Syari`ah Ummiyyah)
c.
Membedakan antara makna syar`i dan makna bahasa. Makna syar`i
dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama, bukan makna yang berkembang
kemudian. Kata al-Sâ`ihûn pada QS. Al-Taubah : 112 dalam Al-Qur’an bermakna
orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan mereka yang berwisata.
d.
Memperhatikan hubungan (korelasi/munâsabah) antara satu ayat dengan
lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan
e.
Membedakan antara makna haqîqiy dan majâziy melalui proses takwil
yang benar. Pada dasarnya teks harus dipahami secara haqîqiy. Suatu ungkapan
(kalâm) dimungkinkan untuk dipahami secara majâziy bila memenuhi tiga syarat
berikut :
1.
Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna
lain yang dituju
2.
Ada qarînah/ konteks/ dalil (maqâliyyah atau hâliyyah) yang
menunjukkan penggunaan makna majâziy
3.
Ada tujuan/ hikmah di balik penggunaan makna majâziy yang ingin
dicapai oleh pembicara (mutakallim) .
f.
Memperhatikan hak-hak Al-Qur’an yang harus dipahami oleh setiap
yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain : pandangan komprehensif terhadap
Al-Qur’an, memahami makna ragam qirâ`ât yang ada, memahami retorika dan konteks
(siyâq) Al-Qur’an, memperhatikan sebab nuzul dan tradisi bahasa Al-Qur’an,
mengerti ayat-ayat yang musykil atau terkesan kontradiksi.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fi
Usul Syariah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Libanon
Abdul Wahab Khalaf, Usul Fiqh,
al-Haramayn : Surabaya
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid
Syariah, Amzah, Jakarta 2009
Amir Syarifudin, Usul Fiqh, Logos Wancana
Ilmu : Jakarta 2005
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia, Pustaka Progressif : Surabaya
Al-Ghazali, Mustashfa min ‘ilmi al-Usul
al-Fiqh, Maktabah Syamilah Vol II
Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Maktabah Syamilah Vol II, Jilid VI
Al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, Maktabah Syamilah Vol II
Ibn Abi Salam, Qawaid al-ahkam fi
mashalih al-anam, Maktab Syamilah Vol II
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum
Islam, Pustaka : bandung 1996
Yusuf Ibn Abdullah al-Syabily. Maqasid al-Syari’ah
Islami
[3] Abu Ishak al-Syatibi,
al-Muwafaqat fi Usul Syariah, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Libanon, hlm. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar