Cogito Ergo Sum

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Rabu, 15 Oktober 2014

ALIRAN-ALIRAN MAQASID AL-SYARIAH



Pendahuluan
Persoalan agama bukan hanya pada otentisitas teks-teks keagamaan, tetapi pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurnian teks Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodorkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat Al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamâlatu awjuh mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syari`at Islam.
Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut berupa hadis, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan hadis tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan, mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyrî`iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapat petunjuk (QS. Al-A`râf [7] : 158).
Segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah mempunyai alasan-alasan tertentu dan  mengandung hikmah, ‘illah dan maslahah yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Maqasid al-Syariah atau tujuan-tujuan Hukum Islam secara historis merupakan kelanjutan dan perkembangan dari konsep hikmah, ‘illah dan maslahah, walaupun penggunaan ketiga istilah ini terhadap penetapan hukum terdapat pertentangan dalam kalangan mutakalimin dan usuliyyin yang pada akhirnya menimbulkan aliran-aliran dalam maqasid al-Syariah itu sendiri. istilah maslahah telah menjadi suatu konsep yang sistematis setelah Syatibi melakukan kajian yang mendalam terhadap maslahah sehingga melahirkan konsep maqasid al-Syariah dalam sebuah karya monumental al-muwafaqat-nya. 
Berdasarkan hal tersebut, perlu kirannya diadakan suatu pembahasan secara khusus terhadap masalah Maqasid al-Syariah. Namun, agar pembahsan tersusun secara sistematis, maka dalam makalah ini penulis mencoba membatasi kajiannya pada rumusan masalah sebagai beikut; (1). Definisi atau hakikat Maqasid al-Syariah, (2) Sejarah Maqasid al-Syari’ah (3). Aliran-aliran Maqasid al-Syariah
Berpijak  dari rumusan dan batasan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dari pembahasan makalah ini adalah untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan tentang; definisi atau hakikat Maqasid al-Syariah, bagaiman sejarah tebentuknya maqasid al-Syari’ah dan aliran-aliran atau mazhab-mazhab apa saja yang terdapat dalam Maqasid al-Syariah.
  Selanjutnya, mengingat kajian makalah ini memusatkan perhatian pada tela’ah konsep atau teori maqasid al-Syariah, maka dalam metode kajiannya penulis memakai Metode Interpretasi dengan cakupan analisis Gramatikal (pemahaman tata bahasa atau kebahasaan), Historikal (latarbelakang pembentukan, dan termasuk aliran-aliran yang muncul dalam perkembangannya), Sistematikal (pembahasan terhadap esensi atau isi materi), Teleologikal (fungsi atau tujuan).

A.  Definisi Maqashid al-Syariah
Apabila dilakukan istiqra tentang tata cara penggunaa bahasa ke dalam bahasa Arab, dan mengetahui asal-usul kalimat Maqasid al-Syariah, dapat dikatakan bahwa; Maqashid berasal dari fii'l tsulasi (قصد ، يقصد، قصدا, مقصدا - مقاصدا), yaitu bentuk jama (jama taksir) dari masdar mim, yang berarti “maksud-maksud atau tujuan-tujuan”.[1] Sedangkan Syari’ah menurut bahasa berasal dari (شرع, يشرع شرعا – شريعة)  yang berarti aturan atau undang-undang.[2] Adapun Maqasid al-Syariah apabila ditijau dari segi istilah sebagai mana dikatakan oleh al-Zuhaili adalah segala makna, sasaran atau tujuan  hukum yang diperhatikan syara’ dalam seluruh atau sebagian besar ketetapan hukum, atau sebagai tujuan akhir syari’at serta rahasia yang ditetapkan Syari’ pada setiap hukum.
            Menurut hemat penulis, apa bila ingin mengetahui lebih dalam akan definisi Maqasid al-Syariah, hal ini tidak dapat terlepas akan awal kemunculan istilah kalimat tersebut. Kemunculan istilah Maqasid al-Syariah secara teknis dicetuskan oleh Syatibi dalam al-Muwafaqatnya. Namun syatibi sendiri dalam mengomentari maqasid, dia mengidentikan dengan istilah mashalih. Mashalih menurut Syatibi ialah perolehan apa-apa yang  menyangkut rizki manusia, pemenuhan penghimpunan manusia dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.[3]
Adapun Maslahah menurut al-Ghazali ialah ungkapan untuk mencari sesuatu yang bermanfaat (manfa’ah) atau menghilangkan sesuatu yang merugikan (madharat). Lebih lanjut al Ghazali mengatakan; Maslahah adalah memelihara tujuan Syariat atau yang mencakup lima hal : memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta.[4]

B. Sejarah Maqasid al-Syariah
Dalam kajian sejarah maqashid al-syariah kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan besar, Siapa peletak pertama maqashid al-syariah ? konon katanya, al-Syatibi, ‘ulama dari mazhab Maliki merupakan peletak pertama, atau memang jauh sebelum al-Syatibi istilah maqashid al-Syariah telah dibicarakan. Oleh karena itu, dalam sub bahasan ini penulis mencoba menguraikan akar sejarah istilah maqashid al-Syariah.
Secara pormal, istilah Maqasid belum dikenal pada awal Islam. Namun, pada waktu itu para pakar hukum Islam mengenal istilah Maslahah. Maslahah, sebagai salah satu prinsip penalaran hukum – secara luas, menyatakan bahwa “kebaikan” adalah “halal” dan bahwa “halal” mestilah baik –  akhirnya digunakan di masa paling awal dari perkembangan fiqih. Penggunaan prinsip ini dinisbatkan, misalnya kepada yuris-yuris awal dari “Mazhab Hukum kuno” atau bahkan kepada sahabat-sahabat Nabi. Diantara pendiri mazhab fiqih, ia diasosiasikan kepada Malik b. Anas.[5]
Kata al-Maqashid sendiri pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah yang pertama kali menyuarakan Maqashid al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya.
Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365) dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375) dan al-Baqilany (w. 403) masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Haramayn al-Juwaeny (438/1047), dengan analisisnya mengenai maslahah sebagai basis ekstratekstual penalaran dalam konteks qiyas dengan ‘illah. al-Haramayn, dalam al-Burhan, menyatakan; kesahihan penalaran atas dasar maslahah menjadi perbincangan sehingga melahirkan tiga Mazhab Pemikiran menyikapi kajian maslahah.[6] setelah itu Istilah mashlahah dan mashalih digunakan oleh tokoh Mu’tazilah Abu Husain al-Basri (w. 478/1065). Baginya maslahah adalah hal-hal yang baik atau kebaikan. Basri membahas maslahah dengan merujuk kepada ‘illah. Disatu tempat ia mendefinisikan al-mashalih al-syar’iyyah dengan tindakan-tindakan yang wajib berdasarkan syari’at.
Pada abad-abad berikutnya konsep masalih memperoleh kemajuan yang sangat penting. Ada dua tahap utama dalam perkembangan konsep ini. Perkembangan yang pertama ditunjukan oleh al-Ghazali pada abad ke dua belas dalam sebuah karyanya al-mustasyfa, sedangkan kedua oleh al-Razi pada abad ke tigabelas dalam al-Mahsul.
Dalam karyanya al-Ghazali tersebut, masalah di bahas lebih lengkap. Ia membagi maslah menjadi tiga katagori. Pertama, jenis maslahah yang memiliki bukti tekstual (dapat digunakan peng-qiyas-an). Kedua, maslahah yang diingkari oleh bukti tekstual (dilarang peng-qiyas-an). Ketiga, jenis maslahah yang tidak di dukung atau disangkal oleh bukti tekstual (maslahah yang memerlukan pertimbanagan). Dari segi ini ada tiga tingkatan maslahah : yaitu daruriyah, hajat dan tahsinat.
Al-Mustashfa al-Ghazali tetap merupakan sumber utama yang mempengaruhi pekembanagan selanjutnya, sampai muncul karya monumental al-Razi dengan al-Mahshul-nya. Razi tidak mendefinisikan mashlahah, tetapi nampak bahwa dalam pemikirannya manasib dan maslahah saling berkaitan erat. Dia mendefinisikan manasib dengan dua definisi. Pertama, manasib didefinisikan sebagai “apa yang membawa manusia kepada apa yang baik-baiknya, dalam “memperoleh” maupun “pelestarian”. Sedangakan definisi manasib kedua ialah “ apa-apa yang biasanya cocok (fi’l ‘adah) dengan perbuatan orang-orang bijaksana. Al-Razi kemudian menjelaskan bahwa definisi yang pertama diterima oleh mereka yang menisbatkan hikmah dan maslahah sebagai sebab-sebab atau motif-motif dari perintah Tuhan. Sedangkan definisi yang kedua digunakan oleh mereka yang tidak menerima kausalitas. Sebagai mana al-Ghazali, al-Razi-pun membahas maslahah kepada tiga; maslahah dharuri, maslahah haji dan maslahah tahsini.[7]
Sepeninggalan al-Razi ada beberapa karya yang membahas para ahli hukum Islam. karya-karya tersebut dapat terlihat dalam empat kecendrungan. Kecendrungan Pertama, merujuk kepada mereka yang konsepsinya tentang maslahah adalah entah secara dominan serupa dengan konsep al-razi tentang Munasib dan maslahah. dikalangan Maliki, Syihabudin al-Qarafi (684/1285). Kalangan hanafi, Shadr al-Syari’ah al-Mahbubi (747/1346). Jamaludin al-Isnawi (771/1370) dan Tajuddin al-Subki (771/1369) menggabungkan al-Ghazali dan al-Razi. Kecendrungan ke-dua, merujuk kepada para yuris yang menolak al-maslahah al-mursalah sebagai dasar penalaran yang sahih, dalam katagori ini termasuk mazhab al-Syafi’I, safiudin al-Amidi (631/1234) dan yuris al-Maliki, Ibn Hajib (646/1249).
Kecendrungan ke-tiga, Izzuddin Ibn ‘Abdus Salam (660/1263) tertuang dalam karya monumentalnya, qawa’id al-ahkam fii masalih al-‘anam. Dia cendrung sufistik tentang hukum dalam konsep pembahsan mashlahah. Bagi dia mashlahah adalah kenyamanan kegembiraan serta sarana-sarana yang membawa kepada keduanya. Karena itu, masalih terbagi menjadi dua jenis; mashalih dunia dan masahalih akhirat. Mashalih dunia dapat diketahui oleh akal sedangkan mashalih akirat hanya dapat diketahui oleh naql(hadis dan wahyu).[8] Ditempat lain Ibn Abd Salam membagi maslahah menjadi dua bagian utama. Yang pertama adalah hak-hak Allah dan kedua adalah hak-hak manusia. Hak-hak tuhan mencakup tiga katagori; hak-hak yang murni milik tuhan, semisal ma’arif dan ahwal. Kedua yang menggabungkan antara hak-hak tuhan dengan hak-hak manusia, semisal zakat. Ketiga, hak-hak yang menggabungkan hak-hak tuhan dengan hak Rasul-nya serta hak-hak manusia pada umumnya. Hak-hak manusia juga mencakup tiga katagori; hak-hak sendiri, hak-hak sesama manusia dan hak binatang dan manusia.[9]
Kecendrungan ke-empat ditampilkan oleh Ibn Taymiyah (728/1328) dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (751/1350). Ibn Taymiah mencoba menemukan jalan tengah “penolakan total dan penerimaan total terhadap maslahah”. ia memandang al-maslahah mursalah sama dengan metode ra’y, istihsan, kasyf (ungkapan mistik) dan dzauwq (cicipan mistik) yang dia curigai kesahihannya, dan karenanya ditolah. Dilain pihak dia menolak implikasi-implikasi moral dari penyangkalan terhadap maslahah dalam perintah-perintah Tuhan. Lebih jauh Ibn Taymiyah menyimpulkan bahwa berargumen dengan al-maslahah mursalah berarti membuat hukum dalam agama dan tuhan tidak membolehkan hal itu, melakukan hal itu sama saja melakukan istihsan dan tahsin ‘aql. Dia mengakui bahwa syariat tidak bertentangan dengan maslahah, tetapi manakala manusia menemukan dengan akal akan adanya maslahah dalam sebuah kasus tertetu dimana tidak ada nas yang bisa di temukan untuk mendukungnya, maka hanya ada dua arti. Entah secara pasti ada sebuah tertentu dimana tidak ada nas yang tidak diketahui oleh sipengamat, atau dia tidak sedang berurusan dengan maslahah sama sekali.[10]       
Dengan melihat sejarah maqasid al-syari’ah diatas,  dapat diambil suatu pernyataan bahwa sebelum Imam Syathibi, Maqashid al-Syari’ah sudah ada dan sudah dikenal hanya saja susunannya belum sistematis sehingga datangnya Imam Syathibi dengan al-Muwafaqat sebagai karya munumental-nya, maqasid al-Syariah telah tersistematis-kan. Sebagai mana dalam kajian Ilmu Usul Fiqh, Imam al-Syaf’I merupakan peletak sistematisasi Usul Fiqh. Namun, bukan brarti Usul Fiqh belum dibicarakan, hanya saja Usul Fiqh sebelum al-Syafi’I belum tersusun dengan sistematis. Oleh karena itu pada kajian selanjutnya penulis merasa perlu mengkaji konsep maqasid syariah menurut Syatibi.

B.  Aliran-Aliran Maqasid al-Syariah
persoalan agama bukan hanya pada otentisitas teks-teks keagamaan, tetapi pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurnian teks Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodorkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat Al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamâlatu awjuh mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syari`at Islam.
Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut berupa hadis, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan hadis tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan, mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyrî`iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapat petunjuk (QS. Al-A`râf [7] : 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qaradhawi, juga sepakat, ada sekian banyak hadis yang tidak berimplikasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Di antara ulama yang mengklasifikasikan hadis dalam bentuk di atas Al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah al-Dahlawi (w. 1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga Al-Azhar, dan Thahir Ibnu Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwar.
Contoh kasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi datang ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dan betina dari pohon korma agar produktifitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah menganjurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, "Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika yang aku sampaikan hanyalah sekadar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa" (HR. Muslim). Dalam hadis lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, "Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)" (HR. Muslim).
Hadis tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, tetapi kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, pakar hadis terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahîh Muslim, Imam Nawawi, meletakkan hadis tersebut di bawah judul, "Ba>b wuju>b imtitsa>li ma> qa>lahu syar`an, dûna mâ dzakarahu shallallâhu `alayhi wasallam min ma`âyisyi al-dunyâ `alâ sabîl al-ra`yi" (Bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syari`at agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
Dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam tek-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar bahkan liberal.
Ulama besar, Al-Syathibi, dalam kitab al-Muwâfaqât mencatat empat aliran dalam pemahaman Al-Qur’an dan hadis, yaitu Zhâhiriyyah (literal), Bâthiniyyah, Al-Muta`ammiqûn fi al-Qiyâs (rasionalis dan cenderung liberal) dan al-Râsikhûn fi al-`Ilm (mendalam ilmunya dan moderat) .
1. Zhâhiriyyah
Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang berlandaskan pada Al-Qur’an, sunnah dan ijmâ`, tetapi menolak intervensi akal dalam bentuk qiyâs, ta`lîl, istihsân dan lain sebagainya. aliran Zahiriyah-pun berpendapat bahwa pada dasarnya ‘illat hukum tidak ada kecuali ada dalilnya, sebab suatu teks hukum (nash) dapat menentukan adanya hukum menurut bentuk teks itu sendiri, bukan karena ada ‘illatnya dan hal ini bukan dari bagian obyek nash. Melalui proses ta’lil (pencarian ‘‘illat), hukum beralih dari bentuknya menuju makna hukum atau ‘‘illat, seperti peralihan makna hakikat ke makna majaz karena ada alasannya. Zhahiriyyah, sebutan bagi para penganut mazhab ini, terambil dari nama tokoh panutannya, Daud bin Ali al-Zhahiriy. Muncul pertama kali pada paruh pertama abad ketiga hijriah.
Dalam memahami teks keagamaan zhahiriyyah berpegangan kepada tiga prinsip dasar :
a.       Keharusan berpegang teguh pada lahiriah teks, dan tidak melampauinya kecuali dengan teks yang zahir lainnya atau dengan konsensus (ijma`) yang pasti. Penggunaan akal tidak diperkenankan.
b.      Maksud teks yang sebenarnya terletak pada yang zhahir, bukan di balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki syara`.
c.       Mencari sebab di balik penetapan syariat adalah sebuah kekeliruan. Ibnu Hazm, salah seorang tokohnya berkata : Seseorang tidak boleh mencari sebab dalam agama, dan tidak diperkenankan mengatakan 'ini' adalah sebab ditetapkannya 'itu', kecuali ada nash tentang itu. (Lâ yus`alu `ammâ yaf`alu wahum yus`alûn).
Dalam kajian pemikiran Islam, aliran Zahiriyah berkembabang hingga saat ini. Mereka mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di antara cirinya aliran Zahiriyah masa kini dalam pemahaman teks adalah :
a.       Memahami teks secara literal (harfiyyah) dan kaku, tanpa melihat `illat atau maqâshid di balik teks.
b.      Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit dan berlebihan (al-ghuluww)
c.       Menganggap dirinya yang paling benar, dan lainnya salah
d.      d. Tidak mentolerir perbedaan pendapat atau pandangan
e.       Berburuk sangka dan bahkan mengkafirkan pandangan yang berbeda
Banyak hasil ijthad kelompok zhahiriyah dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh para ulama, antara lain karena Tidak mau menggunakan akal dalam pengambilan hukum dengan memperluas cakupan zhahir, sehingga Al-Qur’an tidak lagi mampu mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang timbul kemudian.
a.       Jumud dan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi Al-Qur’an sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks Al-Qur’an terbatas, sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu berkembang.
b.      Tidak sejalan dengan rasionalitas Al-Qur’an, karena hanya membatasi pemahaman pada logika bahasa.
2. Bâthiniyyah
Sebuah nomenklatur bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam. Muncul pertama kali pada masa al-Ma`mun (w 218), salah seorang penguasa Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu`tashim (w 227). Sebagian ulama mensinyalir, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan bersumber dari kalangan Majusi yang mempengaruhi salah satu dari golongan umat Islam yaitu mazhab Syi’ah. Dinamakan Bâthiniyyah karena mereka meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariat; zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedang yang batin hanya diketahui oleh Imam . tolak ukur penafsiran akan batin al-Qur’an atau Hadist adalah kepada imamiyah.
Pola yang digunakan Batiniyah dalam memahami teks-teks keagamaan ;
a.       Tujuan dan maksud dari sebuah teks (Al-Qur’an dan hadis) bukan pada makna zhahir yang diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks penyebutan, tetapi terletak pada makna di balik simbol zhahirnya.
b.      Mereka mengkultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks, sehingga banyak hukum-hukum syar`i yang diabaikan, bahkan tidak ditaati lagi.
Dalam perkembangannya, mazhab Batiniyah berpendapat, bahwa untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawâbit, bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang. Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realita dilakukan melalui upaya mencari maqâshid syar`âh yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya. Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia modern terjadi upaya meruntuhkan syari`ah seperti pada hukum keluarga, warisan, hudûd dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzulnya.
Yusuf al-Qaradhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu`aththilah al-Judud" (Neo-Mu`aththilah). Kalau mu`aththilah klasik bermain pada tataran akidah, neo-mu`aththilah bermain pada tataran syari`ah.
Secara umum kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber, prinsip dan hukum syari`ah dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap pendapat meski tidak didukung argumentasi yang kuat. Pijakan dalam memahami teks :
a.       Mengedepankan akal dari pada wahyu. Akal dapat menentukan mana yang lebih maslahat untuk dilakukan sampaipun harus berbenturan dengan nash syar`iy.
b.      Dengan dalih maslahat, Umar bin Khattab telah mengalahkan nash seperti pada kasus al-mu`allafah qulûbuhum yang tidak diberi zakat, menafikan hukum potong tangan saat paceklik terjadi dan lainnya.
c.       Ungkapan yang sering disebut berasal dari Ibnul Qayyim, "di mana ada maslahat di situ ada syariat", padahal ungkapan tersebut berlaku pada kasus yang tidak ada nashnya, atau jika ada mengandung berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan yang tepat, "di mana ada syari`at di situ ada maslahat".
d.      Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzulnya. Al-`Ibratu bikhushûsh al-Sabab, lâ bi `Umûm al-Lafzhi, demikian ungkapan yang sering digunakan .
Karena itu Imam Ghazali, seperti dikutip al-Syathibi, mendudukkan mereka pada aliran yang keliru dalam menafsirkan dan memaknai teks wahyu, bahkan kerusakan yang mereka lakukan, kata al-Razi, jauh lebih parah dari tindakan orang kafir, sebab mereka menggerus syariat Islam dengan sebutan Islam itu sendiri .
Ada beberapa kekeliruan yang dilakukan aliran Batiniyah, diantaranya :
a.       Tidak memiliki perangkat pemahaman yang benar. Mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah kebahasan dan pokok-pokok ilmu tafsir sebagai sandaran dalam memahami Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan baru dapat dipahami maknanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip kebahasaan Arab.
b.      Mengira ada yang kurang dalam syariat, dan baru sempurna jika dipahami secara batin yang hanya bisa dilakukan oleh Imam yang ma`shum.
c.       Mengedepankan akal daripada syariat yang dianggapnya kurang memadai dan melepaskannya tanpa kendali untuk menyelami lautan makna batin. Patut disadari, keragaman pandangan yang tidak didasari pada kaidah yang jelas akan menimbulkan kekacauan.
3. Rasionalis (al-`Aqlaniyyun), atau al-Muta`ammiqun fi al-Qiyas
Sebagian ulama menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w 716 H) yang dikenal dengan teori maslahat yang dipahaminya sebagai “sebab yang dapat mengantarkan kepada tujuan syariat Allah dalam ibadah (al-`ibâdât) dan mu`amalah (al-mu`âmalât)”.
Pendapatnya yang sangat berbeda dengan jumhur ulama dan mendapat kritikan tajam: "Jika ada maslahat yang bertentangan dengan nash yang terkait dengan mu`amalât (âdât), maka maslahat harus dikedepankan daripada nash".
Menurut al-Thufi, hubungan antara maslahat dan nash (dalil syar`i) berkisar pada tigal hal ;
a.       Dalil syar`i sejalan dengan maslahat, seperti dalam penetapan hudûd terhadap pelaku pembunuhan, pencurian, qadzaf dan lainnya.
b.      Jika tidak sejalan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan melalui takhshîsh atau taqyîd maka keduanya dapat digunakan dalam batas-batas tertentu.
c.       Jika terjadi benturan antara maslahat dan nash dan tidak bisa dikompromikan, maka maslahat harus dikedepankan dan nash ditinggalkan .
Aliran ini-pun menyatakan bahwa maslahat harus dikedepankan, karena akal dapat menalar dan membedakan maslahat manusia tanpa perlu bantuan syara`. Maslahat dapat diketahui secara pasti melalui kebiasaan, sedangkan nash-nash syar`i tidak dapat menjelaskannya karena mengandung banyak interpretasi dan kemungkinan. Ukurannya adalah, hukum mu`amalat sejalan dengan akal dan kebiasaan serta mewujudkan manfaat, baik ketika sejalan dengan nash maupun bertentangan.
            Menurut al-Syatibi dalam al-Muwafaqat-nya, ada beberapa kekeliruan yang terdapat dalam aliran ini, diantaranya ialah :
a.       Akal memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua maslahat manusia secara sempurna. Apa yang diduga akal mendatangkan maslahat boleh jadi justru sebaliknya. Pengetahuannya sangat terbatas (QS. Al-Isra : 85, QS. Al-Nahl : 8 dan lain-lain). Melepaskan akal untuk menalar tanpa kendali sama tercelanya dengan mengekang akal untuk tidak berpikir.
b.      Akal mengikuti syara`, bukan sebaliknya.
Dalam sejarah pemikiran Islam klasik terjadi perdebatan apakah akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan (al-Tahsîn wa al-Taqbîh al-`aqliyyayn). Asy`ariyyah : akal tidak dapat membedakan kebaikan dan keburukan tanpa bantuan syara`. Tolok ukur keduanya pada syara`. Mu`tazilah : Akal dapat mengetahui keduanya, sebab setiap perbuatan dan perkataan memiliki manfaat dan mudarat. Agama memerintah dan melarang sesuatu karena manfaat dan mudarat yang ditetapkan akal. Maturidiah : Akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan, tetapi hukum agama tidak selalu sejalan dengan pertimbangan akal. Tolok ukurnya adalah perintah dan larangan agama, sebab akal boleh jadi keliru atau berbeda dalam menetapkan keduanya.
Kendati berbeda, mereka sepakat mengatakan, sumber penetapan hukum adalah syari`at, baik yang tertuang dalam bentuk teks maupun hasil ijtihad . sebagaimana pernyataan mereka, bahwa:
a.       Kemaslahatan dalam muamalat duniawi ada yang tidak diketahui akal, dan hanya dapat diketahui melalui wahyu, karena itu perlu berpegang pada ketentuan syariat untuk mencegah kekacauan dan kebimbangan.
b.      Hak-hak mukallaf (hamba) tidak lepas dari hak Tuhan. Al-Thufi membedakan antara ibadat yang dianggap hak Tuhan sehingga perlu berpegang pada ketentuan syara`, dan muamalat yang merupakan hak hamba sehingga yang menjadi tolok ukur adalah kemaslahatan hamba walaupun bertentangan dengan nash. Al-Syathibi mengatakan, "Dalam setiap bentuk taklîf terdapat hak Allah". Bentuk hukuman hudûd jika telah sampai ke tangan hakim, selain qishash, qadzaf dan mencuri, tidak dapat digugurkan meski telah dimaafkan oleh pihak terkait.
c.       Di dalam syariat tidak ada yang bertentangan dengan akal. Mengedepankan maslahat dari pada nash mengesankan ada sekian maslahat yang bertentangan syariat. Ini berlawanan dengan kenyataan bahwa agama (syari`at) sejalan dengan akal dan fitrah manusia.
d.      Tidak ada pertentangan antara nash dan maslahat. Kemaslahatan yang hakiki terletak pada cakupan maqâshid syari`ah, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya .
4.    Thariq al-Jam’I (Konfergensi)
Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariat.
Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. Al-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (al-râsikhûn fi al-`ilm) atau Thariq al-Jam’i, sedangkan al-Qaradhawi menyebutnya dengan manhaj wasathiy (metode tengahan/ moderat) . Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur’an dan hadis. Rasulullah shallallâhu `alayhi wasallam bersabda :

يَرِثُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ ؛ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ ، وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ
"Ilmu (Al-Qur’an) akan selalu dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang moderat (`udûl); mereka itu yang memelihara Al-Qur’an dari pena`wilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil dan penyelewengan mereka yang berlebihan".
Secara umum ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak dan mu`amalah. Ciri ini disebut dalam Al-Qur’an sebagai al-Shirâth al-Mustaqîm (jalan lurus/ kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhûb `alaihim) dan yang sesat (al-dhâllûn) karena melakukan banyak penyimpangan.
Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan', berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshîr), literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtîr/ bakhîl) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzîr). Karena itu kata wasath biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah hadis Nabi, ummatan wasathan ditafsirkan dengan ummatan `udûlan.
Ciri sikap moderat dalam memahami teks :
a.       Memahami agama secara menyeluruh (komperhensif), seimbang (tawâzun) dan mendalam.
b.      Memahami realitas kehidupan secara baik
c.       Memahami prinsip-prinsip syari`at (maqâshid al-syarî`ah) dan tidak jumud pada tataran lahir.
d.      Terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa “mengedepankan kerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan”.
e.       Menggabungkan antara “yang lama” (al-ashâlah) dan “yang baru” (al-mu`âsharah)
f.       Menjaga keseimbangan antara tsawâbit dan mutaghayyirât. Tsawâbit dalam Islam sangat terbatas seperti, prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlaq, hal-hal yang diharamkan secara qath`iy (zina, qatl, riba dsb). Mutaghayyirât ; hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanniyy (tsubut atau dilalah)
g.      Cenderung memberikan kemudahan dalam beragama
Adapun pijakan Thariq al-Jam’I dalam memahami teks adalah;
a.       Memadukan antara yang zhahir dan yang bathin secara seimbang dan tidak memisahkan makna bathin dengan zhahir nash.
b.      Memahami nash sesuai dengan bahasa, tradisi kebahasaan dan pemahaman bangsa Arab (al-Syari`ah Ummiyyah)
c.       Membedakan antara makna syar`i dan makna bahasa. Makna syar`i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama, bukan makna yang berkembang kemudian. Kata al-Sâ`ihûn pada QS. Al-Taubah : 112 dalam Al-Qur’an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan mereka yang berwisata.
d.      Memperhatikan hubungan (korelasi/munâsabah) antara satu ayat dengan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan
e.       Membedakan antara makna haqîqiy dan majâziy melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya teks harus dipahami secara haqîqiy. Suatu ungkapan (kalâm) dimungkinkan untuk dipahami secara majâziy bila memenuhi tiga syarat berikut :
1.      Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna lain yang dituju
2.      Ada qarînah/ konteks/ dalil (maqâliyyah atau hâliyyah) yang menunjukkan penggunaan makna majâziy
3.      Ada tujuan/ hikmah di balik penggunaan makna majâziy yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim) .
f.       Memperhatikan hak-hak Al-Qur’an yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain : pandangan komprehensif terhadap Al-Qur’an, memahami makna ragam qirâ`ât yang ada, memahami retorika dan konteks (siyâq) Al-Qur’an, memperhatikan sebab nuzul dan tradisi bahasa Al-Qur’an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau terkesan kontradiksi.
















DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul Syariah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Libanon
Abdul Wahab Khalaf, Usul Fiqh, al-Haramayn : Surabaya
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Amzah, Jakarta 2009
Amir Syarifudin, Usul Fiqh, Logos Wancana Ilmu : Jakarta 2005
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Pustaka Progressif : Surabaya
Al-Ghazali, Mustashfa min ‘ilmi al-Usul al-Fiqh, Maktabah Syamilah Vol II
Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Maktabah Syamilah Vol II,  Jilid VI
Al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, Maktabah Syamilah Vol II
Ibn Abi Salam, Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam, Maktab Syamilah Vol II
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, Pustaka : bandung 1996
Yusuf Ibn Abdullah al-Syabily. Maqasid al-Syari’ah Islami


[1] Yusuf Ibn Abdullah al-Syabily. Maqasid al-Syari’ah Islami, ttp, tth, hal.  4
[2] Lihat, A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Pustaka Progressif : Surabaya, hlm. 711
[3] Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul Syariah,  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Libanon, hlm. 25
[4] Al-Ghazali, Mustashfa min ‘ilmi al-Usul al-Fiqh, Maktabah Syamilah Vol I, hal. 285
[5] Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam, Pustaka : bandung 1996, hlm. 160
[6] Ibid, hlm. 161-162
[7] Ibid, hlm. 168-171
[8] Ibn Abi Salam, Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam, Maktab Syamilah Vol II, hal. 6-10
[9] Ibid, hal 24
[10] Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, hal. 177-178

Tidak ada komentar:

Posting Komentar