Pendahuluan
Dalam
menjalani kehidupan, manusia sebagai hamba dari sang pencipta, dan sebagai
mahluk sosial akan dihadapkan kepada hak dan kewajiban serta
keharusan-keharusan sebagai manusia. Baik secara vertikal, maupun horizontal.
Suatu hak dan kewajiban serta keharusan ada kalanya dapat diatur langsung oleh
manusia itu sendiri, dan ada kalanya suatu hak dan kewajiban yang tak dapat
diketahui dalam ariti membutuhkan bing-bingan dari sang pengatur yang maha
mengetahui akan hak dan kewajiban serta keharuasan manusia tersebut.
Allah
Swt menurunkan wahyu melalui maikat jibril yang kemudian menjadi tugas para
Rasul untuk menyampaikannya sebagai aturan hidup yang akan membawa manusia
kepada kehidupan yang maslahah dan mencapai suatu kebahagian dengan menjalankan
aturan-aturan yang terdapat dalam wahyu tersebut, baik berupa hak, kewajiban,
keharusan, larangan dan lain sebagainya. Wahyu yang diturunkan oleh Allah
tersebut pada akhirnya menjadi sumber hukum/ dalil yang dijadikan pegangan
selama manusia hidup dalam dunia ini. Namun, disamping wahyu sebagai dalil
hukum, para pengkaji hukum Islam menggali dari sumber tersebut yang pada
akhirnya akan terbentuk dalam suatu kesepakatan yang nantinya disebut Ijma,
atau dengan jalan menyamakan suatu kasus dengan peristiwa atau ketentuan dalam
al-Qur’an dengan jalan menyamakan ‘Illat yang pada akhirnya terbentuk sebagai
dalil hukum yang dinamakan Qiyas.
Untuk
memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan
Allah Swt. -- yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan
umat manusia -- bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa
semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri
yang mengetahui hakekatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk
mengetahui dan memahami keberadaan dan
alasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut
disamping terkait pula dengan prosedur apa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui
alasan-alasan dimaksud.
Persoalan
yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan suatu hal yang penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang
harus dilakukan agar makna dan nilai
suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan Allah betul-betul dapat
dirasakan manfaatnya oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum
tersebut.
Dalam
kajian Dalil al-Ahkam pada makalah ini penulis akan mencoba membahas definisi,
eksitensi Dalil al-Ahkam, dan bagai mana pergulatan para ulama dalam
mengklasifikasikan/ pengklasifikasian sesuatu yang dapat dijadikan suatu dalil
dalam penetapan Hukum Islam yang disepakati dan tidak disepakati. Sedangkan
pada pembahasan ‘Illat al-Ahkam,
penulis berusaha untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang mendalam tentang
eksistensi ‘illat al-Ahkam, macam-macam dan fungsi ‘Illat dalam pembinaan hukum
syara‘.
A.
Dalil Al-Ahkam
1.
Pengertian dan Pendapat Ulama’ Terhadap Dalil al-Ahkam
Istilah
dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk,
buku petunjuk, tanda atau alamat, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah
penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non
material (ma’nawi).
Sedangkan
secara istilah, para ulama mengemukakan
beberapa definisi, di antaranya adalah; Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil
adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan menggunakan
pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya. Menurut
Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu
yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti
menyangkut objek informatif”. sedangkan Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab
Khallaf, menyatakan bahwa, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan
berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Selanjutnya,
Dalil Hukum Syari’at dalam pengklasifikasiannya didasarkan pandangan
kesepakatan ‘Ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini sebagai Dalil Hukum
Syaria’at. Pembagian ini meliputi tiga bagian :
1.
Sesuatu
yang telah disepakati semua ulama’ Islam sebagai dalil hukum syari’at yaitu;
al-Quran dan al-Sunnah.
2.
Sesuatu
yang disepakati oleh mayoritas ulama’ sebagai sumber hukum syariat yaitu; Ijma
dan Qiyas.
3.
Sesuatu
yang menjadi perdebatan ulama’, bahkan oleh mayoritasnya, yaitu, ‘uruf,
istishab, istihsan, maslahah mursalah, syar’u man qablana dan mazhab sahabat.
Sebagian ulam’ menambahkan sadd al-dzari’ah.
Wahbah
al-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islam, mengemukakan, batasan ringkas mengenai
dalil-dalil ini adalah bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan wahyu atau
bukan, dalil yang merupakan wahyu ada kalanya dibacakan dan adakalanya tidak
dibacakan. Wahyu yang dibacakan dinamakan al-Qur’an dan wahyu yang tidak
dibacakan yaitu al-Sunnah. Sedangkan dalil yang merupakan wahyu, apabila
merupakan kesepakatan pendapat atau analisis para mujtahid disebut Ijma’ bila
merupakan analogi suatu hal terhadap yang lain mengenai status hukumnya karena
ada persamaan dalam ‘Illatnya, maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak
memiliki kriteria diatas maka dinamakan Istidlal dan klasifikasinya ini
memiliki bermacam-macam jenis.
Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili mengulas sisi
independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil-dalil ini
adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyariatan, yaitu al-Qur’an
dan al-Sunnah dan Ijma. Ada kalanya pula dalil-dalil ini merupakan sumber hukum
yang memiliki ketergantungan atau bukan mandiri, yaitu Qiyas. Yang dimaksud
dengan dalil mandiri ialah bahwa dalil dalil hukum ini dalam penetapan hukum
tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas di klasifikasikan dalam dalil
yang bukan mandiri karena dalam penetapan hukuam ia masih membutuhkan pada ashl
atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yang terdapat dalam al-qur’an, al-sunnah dan
ijma’. Selain itu, dalam penggunaannya qias membutuhkan pengetahuan atau
analisi mendalam tentang ‘illah dari hukum ashl. Sedangkan ijma walaupun dalam
penggunaannya masih membutuhkan sandaran, namun hal ini tidak mencegah
keberadaannya sebagai dalil mandiri, karena hal tersebut dibutuhkan sebagai
legalitas dan keabsahan ijma’ selama sumberhukum bukan dari sisi istidlal
(penggalian hukum)-nya, berbeda dengan qiyas.[1]
Adapun
menurut Abdul Wahhab Khalaf, ketika membicarakan pandangan al-Thufi, menghitung
adanya sembilan belas dalil, yaitu: al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ Ummat, Ijma’
penduduk Madinah, Qiyas, Qaul Shahabi, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhab,
al-Bara’ah al-Ashliyah, ‘Awa’id, al-Istiqra, Sadd al-Dzara’i, al-Istidlal,
al-Istihsan, mengambil yang paling ringan, al-‘Ishmah, Ijma’ penduduk Kufah,
Ijma’ Ahl al-Bait, dan Ijma’ Khalifah yang empat. Akan tetapi, umumnya para
ulama biasa menempatkan sebelas dalil, yaitu: al-Quran, al-Sunnah, Ijma’,
Qiyas, Qaul Shahabi, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhab, Sadd al-Dzara’i,
al-Istihsan, dan Syar’u Man Qablana.[2]
Sedangkan
Abd al-Karim Zaidan dalam al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, bila ditelusuri
lebih jauh dalil-dalil hukum dalam Islam, baik yang telah disepakati oleh
ulama’ dalam penetapannya, maupun yang masih menjadi bahan perdebatan, pada
dasarnya terkonsentrasi pada sumber hukum (mashadir al-Ahkam) naqliyyah yakni;
al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena sumber-sumber hukum tidaklah ditetapkan
keabsahannya melalui potensi akal, namun bergantung pada adanya legitimasi dari
al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena itulah al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dalil
primer dalam perujukan hukum-hukum syari’at. Hal ini didasarkan pada dua sisi
atau alasan.
1.
Muatan
al-Qur’an dan al-Sunnah mencakup keterangan hukum-hukum parsial dan cabang
secara mendetai.
2.
Muatan
al-Qur’an dan al-Sunnah yang mencakup kaidah universal yang menjadi sandaran
hukum parsial dan cabang sebagai mana ijma’ adalah hujjah dan merupakan sumber
hukum, begitu pula Qiyas dan lain sebagainga.[3]
2.
Metode Pemahaman Dalil-Dalil Hukum
Menurut
Juhaya S. Praja, bahwa sumber-sumber hukum Islam (Mashadir al-Ahkam) itu
ada yang naqliyyah (al-Qur’an, al-Sunnah) dan aqliyyah (ijma, qiyas). Ada tiga
metode dalam upaya untuk menjamin bahwa al-Qur’an itu diperoleh secara
naqliyyah yakni al-Tajribah Al-Hissiyah (pengalaman emfirik),
al-Mutawatir atau transmited data (data yang di transmis melalui periwayatan
yang ketat) dan al-Istiqra (pengujian kebenaran sumber naqli secara induktif).
Metode
al-Qur’an dalam penggalian hukum merujuk kepada dua aliran dalam penafsiran
al-Qur’an yaitu al-Ma’thur dan al-Ra’yu. Dari sudut lain, metode al-Qur’an yang
dianut oleh para pakar hukum Islam ada dua aliran. Pertama, aliran literalisme,
yakni aliran yang mengambil makna dan hukum dari al-Quran secara harfiyyah.
Kedua, aliran spiritualisme, yakni aliran yang menafsirkan ayat-ayat hukum
secar metaforis atau ta’wil. Aliran ini melakukan penafsiran secara metaforik
selama tidak bertentangan secara tekstual denga ayat-ayat ukum lainnya. Aliran
inilah yang kemudian menjadi pendukung kuat metode qias, dan al-istislah
dibidang ushl al-Fiqh.
Aliran
selain kedua aliran tersebut, ialah aliran yang menggabungkan formalisme dan
literalisme dengan spiritualisme serta mempertimbangkan teori instusionisme
(kasfiyyah). Katakanlah aliran spiritualisme-sufistik, seperti yang dicoba
dilakukan ibn qayyim al-jauziyyah.
Pembagian
aliran filsafat hukum Islam pun, ditinjau dari segi metodologinya, dapat dibagi
atas dua aliran besar dan satu aliran sintesa dari kedua aliran tersebut.
Aliran pertama adalah aliran ahli al-Hadits yang dipelopori oleh imam Malik ibn
Anas. Aliran ini lebih mendahulukan pendapat ulama’ ahli al-madinah dan athar
sahabat ketimbang al-ra’y. aliran yang menganut kebalikan mazhab ini ialah
aliran ahli al-Ra’y yang sering pula disebut aliran iraq dengan tokohnya abu
hanifah.
Aliran
yang melakukan sintesa dari kedua aliran terdahulu ialah imam Muhammad ibn
Idris al-Syafi’i. salah satu cirinya ialah kesediaan al-Syafi’I menerima
kehujahan hadits mursal apabila dalam proses periwayatannya ada oknum ibn
Musayyab.
Apabila kita
coba gambarkan berbagai metode al-Qur’an dibidang filsafat hukum Islam dapat
dilihat gambar berikut ini
A.
Literalisme
>< Spiritualisme.
B.
Spiritualisme-Sufistik
C.
Ahl
al-Ray >< Ahlu al-Hadits
D.
Ahl
al-Ihtiyat
Catatan
:
Dua aliran (A) melahirkan aliran (B)
Dua aliran (C) melahirkan D
Dari gambar diatas, perkembangan kefilsafatan dibidang hukum Islam
melalui dialektika yang kemudian membentuk sintesa. Perkembangan ini seirama
dengan perkembangan ilmu-ilmu agama Islam itu sepanjang perjalan sejarahnya.
Dengan demikian metode al-qur’an melahirkan metode-metode lainnya, baik Sunnah,
Ijma, Qiyas, dan metode-metode lainnya. Hal ini dimungkinkan keberadaannya oleh
al-qur’an itus sendiri disamping tentusaja-perkembangan manusia itu sendiri.
Disamping
metode al-Qur’an, al-Sunnah-pun dalam perkembangannya, seperti halnya al-Qur’an,
melewati perkembangan yang berjalan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan zaman.
Dalam penggunaan Sunnah sebagai sumber hukum dan upaya-upaya interprestasinya,
terdapat dua aliran. Pertama adalah aliran yang boleh diatakan aliran
literalisme. Aliran yang menafsirkan Sunnah secara harfiyyah. Kedua, aliran
yang mengartikan Sunnah secara metapfora, yang dapat disebut spiritualisme.
Aliran ini menganggap bahwa hadits-hadits Nabi dalam arti ungkapan yang sesuai
dengan tingkatan kemampuan intelektual dan kebudayaan masyarakat pada zamannya.
Dengan demikian, untuk interprestasi masa kini diperlukan peahaman dan
penafsiran kontekstual. Dalam aliran ini bisa dikatakan bawa al-Syatibi,
penulis al-Muwa’faqat termasuk didalamnya. Penafsiran atas sunnah rasul secara kontekstual
adalah penafsiran dan perluasan makna atas makna-makna etimologi, atau
perluasan makna secara lebih luas sesuai dengan ruang dan waktu. Adapun aliran
yang menggabungkan dua aliran tersebut diatas menyatakan bahwa urusan-urusan
yang menyangkut ibadah murni (‘Ibadah Mahdhah) tidak bisa lain kecuali
mengikuti apa yang dijelaskan rasul secara tekstual, atau sunnah-sunnahnya.
Disamping itu, tentu saja, berdasarkan al-Qur’an. Adapun luar ibadah murni,
interpretasi secata kontekstual adalah suatu kemungkinan dan pilihan.[4]
Setelah
al-Sunnah yang menjadi pokok dalil Ahkam dalam Islam adalah Ijma, Keberadaan
ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid
pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya?
Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas
ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam
masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para
sahabat Nabi.
Permasalahan
lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan
bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal
mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak
melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan
Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan.
Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya,
menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun
hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya
terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi
segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana
diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu
hal yang amat sulit untuk diwujudkan.
Qiyas
(analogi), sebagai mana yang telah disisnggung diatas, termasuk dalil hukum
yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan
zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan
ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan
berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan
ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang
amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.
Bentuk
qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas
dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas
maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang
lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar
kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena
persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat
al-kulliyyat).
Khusus
untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan
akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan
atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus
dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya
masing-masing.[5]
Qiayas
dalam ilmu mantiq adalah proporsisi atau konklusi yang disusun berdasarkan
proposisi-proposisi atau premis-premis. Bila premis-premis itu benar maka dari
premis-premis itu dapat ditarik konklusi yang nar pula. Ada dua macam qiyas
dalam ilmu mantiq. Pertama silogisme katagorik (al-Qiyas a-Iqtiran). Kedua
silogisme ekseptik atau (Qias al-Istisna’)
Silogisme
katagorik atau qias istisna’i ialah qiyas atau penalaran yang terdiri dari tiga
term atau premis yang dalam bahasa Arab disebut al-Muqaddimah seperi dalam;
Premis major : setiap badan adalah tersusun. Premis minor : setiap yang
tersusun adalah badan. Konklusi : maka setiap badan adalah baru.
Qiyas kedua
adalah qiyas ekseptik atau istisnaiyyah yang terdiri dari dua buah premis.
Salah satu premis silogisme ekseptik berbentuk syarat, premis lainnya berbentuk
ketetapan sebagai jawaban syarat. Atau menghilangkan salah satu bagian dari
kedua premis tersebut, sebagai mana contoh; Fulan berjalan kaki, maka ia akan
menggerakan kedua telapak tangnnya. Si Fulan berjalan kaki, maka ia menggerakan
kedua telapak kakinya. Teteapi sipulan tidak menggerakan kedua telapak kakinya,
maka ia tidak berjalan kaki. Qiyas ekseptik ini ada dua macam. Pertama, bentuk
qiyas yang mengandung persyaratan melekat (Syartiyyah Muttasilah) atau hipotetik,
seperti; apabila matahari terbit maka ada siang hari. Mata hari terbit, maka
ada siang. Qiyas ekseptik bentuk kedua ialah qiyas yang bentuk persyaratannya
terpisah (Syartiyyah Munfashilah) atau disjongtif. Seperti; Bilangan ini
berganda atau tunggal. Bilangan ini berganda, maka bilangan ini tidak tunggal.
Qiyas
ditinjau dari segi perangkat penerimaan kebenaran premis-premisnya ada empat
macam. Pertama, Qiyas al-Burhani’ atau silogisme demonstratif, yaitu qiyas yang
premis-premisnya dapat diterima sebagai kebenaran. Premis-premis qiyas ini
disebut al-Musallama’t. Kedua, Qiyas al-Iqtina’I, yaitu Qiyas yang
premis-premisnya mungkin salah, atau benar, atau zanniy. Kebenaan premisnya
dapat diterima. Akan tetapi, kebenaranya tidak masyhur. Premis ini disebut al-madzu’na’t.
Ketiga, Qiyas al-Sya’ri’, atau silogisme poetik yang premis-premisnya berupa
khayalan, yang disebut al-mutashabihat bighairiha. Keempat, Qiyas yang disebut
silogisme shopistik, suatu qiyas yang nampaknya seprti demonstratif atau
dialektif (jadaly) padahal tidak demikian premis-premisnya disebut
al-Mukhayalat, berdasarkan nas yang disebut al-ashl. Kesimpulan diambil untuk
menetapkan hukum peristiwa hukum yang disebut al-Far’. Al-ashl dan al-Far’
adalah dua peristiwa hukum yang sama-sama mempunya makna homonim dan dipastikan
keberadaannya konklusi atau nati’jah yang diperoleh berdasarkan qiyas tamsil
itu kemudian dapat diartikan term penengah dalam pembentukan Qiyas shumul.
Karena al-ashl dan al-Far’ sama dengan hukum al-ashl. Ada dan tidak adanya
hukum pada al-Far’ bergantung kepada ada dan tidak adanya ‘illat hukum pada
al-Far’ dan al-Ashl. Oleh karena itu, dapatlah dipahami kelahiran kaidah yang
berbunyi :
الحكم
يدر مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu beredar/ berubah sesuai dengan
peredaran ada dan tidak adanya ‘Illat hukum.”
Dalam
penggunaan Qiyas sebagai metode hukum Islam baik yang amat penting dan bagian
yang rumit dalam penggalian dan teknik-teknik pengujiannya adalah unsur ‘Illat.
Bahkan dinyatakan bahwa Ijtihad dengan metode Qiyas pada hakikatnya adalah
Ijtihad untuk menentukan suatu ‘Illat hukum bergantung kepada metode dan teknik
pengujian dan kebenarannya yang disebut masalik al-‘illat. Oleh karena itu,
pembahasan seputar ‘Illat Hukum damal kajian ini akan dibahas dalam kajian
husus berikut ini.[6]
B.
‘Illat Al-Ahkam
1.
Pengertian Illat
Secara etimologis kata ‘illat
berasal dari akar kata عل - يعل-علة atau اعــتـل yang berarti sakit atau penyakit.2. Al-Jurjânî 3 dalam kitab al-Ta‘rifât
menyebutkan bahwa ‘illat secara bahasa berarti sesuatu yang berada di suatu
tempat, lalu diubahnya kondisi di tempat tersebut. Dalam ilmu hadist, ‘illat dipandang sebagai
sesuatu yang menyebabkan cacatnya suatu hadist. Dalam terminologi ahli hadist
bahwa ‘illat itu merupakan sebab yang tersembunyi yang mengakibatkan cacatnya
hadist, meskipun secara lahiriyah tampak terhindar dari cacat.4
secara terminology, maka dalam
makalah ini akan dikemukakan beberapa pengertian menurut para ulama ushul fiqih, yang dalam
hal ini akan diklasifikasikan pada dua kelompok yang didasarkan pada periode
generasi ulama tersebut, pertama, pendapat ulama pada periode klasik dan kedua
adalah pendapat para ulama periode Modern. Hal ini penting untuk dikemukakan
karena illat sebagai sebagai suatu teori dalam menggali hukum mengalami
perkembangan dalam pengertiannya.
a.
Pendapat Ulama Ushul Fiqih Klasik
Menurut Imam al-Ghazâlî dalam kitab al-Mustashfâ menyebut ‘illat
hukum itu dengan istilah manâth al-hukm (مناط
الحكم) yaitu pautan hukum. 5 yang selanjutnya al-Ghazâlî
menjelaskan dalam pengertian syar’I sebagai
:
منــاط الـحــكم
أي مـا
أ ضـاف
الشـرع الحكم
ا لــيه
ونـاط بـه.
Pautan hukum
atau tambatan hukum dimana Syâri‘ menggantungkan hukum dengannya6"
Pandangan Al-Ghazâlî ini senada
dengan apa yang dikemukakan oleh kalangan pengikut Imam
Malik 7 yang
juga mendefinisikan ‘illat hukum
sebagai:
مــناط الحــكم الـذي اضـاف الشـارع الــيه بـه ..
"Pautan
hukum dimana Syâri‘ menghubungkan ketetapan hukum dengannya"
Selanjutnya,
al-Amidî dan ibn al-Hajîb, sebagaimana disebutkan oleh Mushthafâ Syalabî8 dalam bukunya,
Ta‘lîl al-Ahkâm,
mengartikan ‘illat hukum sebagai:
الــباعث والـداعي
لــشرع الــحكم
.
Motif atau
pendorong (al-bâ‘its) dan sesuatu yang menuntut (al-dâ‘î) adanya
persyariatan hukum syara‘, yaitu menciptakan maslahat dan menolak mudharat
dalam kehidupan manusia.
al-Anshârî9 menjelaskan bahwa yang
disebut dengan ‘illat hukum ialah:
الــمعرف وقـيل
المــؤثر أوالـباعـث
للمــكلف ورافــعه
أو دا
فــعه للحــكم.
Maksudnya,
‘illat merupakan sesuatu yang memberitahukan atau yang mempengaruhi, mendorong
serta memunculkan penetapan hukum bagi orang mukallaf. Definisi yang
dikemukakan oleh Anshârî ini secara substansi tidak berbeda dengan pengertian
yang diungkapkan al-Amidî dan ibn al-Hajîb, hanya secara redaksi
terdapat tambahan ungkapan bahwa penetapan hukum itu ada kaitannya dengan
taklif kepada orang mukallaf.
Berdasarkan
pengertian diatas maka Shâdiq Hasan Khan10 dalam bukunya Mukhtashar Hushûl
al-Ma‘mûl min ‘Ilm al-Ushûl menjelaskan bahwa terdapat sejumlah sebutan tentang ‘illat ini.
Sebutan-sebutan atas ‘illat itu adalah yaitu: الـســبـب (sebab), الأمــارة (tanda, petunjuk), الــداعي (yang mendorong, yang menuntut), المـســتدعي (yang menghendaki), البــاعـث (yang menjadi motif), الحــامل (sesuatu menghendaki), المنــاط (yang menjadi pautan), الــدليل (yang menjadi petunjuk), الـمـقـتضي (yang menentukan), الــموجـب (yang mengharuskan) dan الــمؤثــر (yang mempengaruhi).
Kesemua sebutan atau nama untuk ‘illat ini -meskipun satu sama
lainnya berbeda-beda penyebutannya-
tetapi secara substansial mengacu kepada satu pandangan bahwa tidak ada suatu
ketetapan hukum yang tidak didasari oleh ‘illat. Artinya, suatu ketentuan hukum
yang disyariatkan tentu ada yang mendorong, mempengaruhi, menghendaki dan
memunculkannya, yakni apa yang disebut dengan ‘illat.
Istilah atau penyebutan ‘illat hukum
seperti yang telah dikemukakan di atas umumnya banyak ditemukan dalam buku-buku
teks Ushul Fiqh yang lahir pada masa klasik dan pertengahan. Namun demikian,
apa yang dirumuskan para ulama ushul pada periode ini merupakan kerangka dasar
yang amat penting dalam usaha melahirkan rumusan teori ‘illat hukum. Kerangka dasar pemikiran ini mempunyai nilai
dan pengaruh yang amat penting dalam pengembangan dan aplikasi teori dari
‘illat hukum pada masa berikutnya. Masalah ‘illat
hukum pada periode klasik belum menggambarkan sebuah teori yang komprehensif
dan menyeluruh. Sifatnya baru memberikan konsep-konsep dasar yang selanjutnya
pengembangan illat terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer pada masa
berikutnya.
b.
Pendapat Ulama Ushul Fiqih Modern
Dalam pemikiran Ushul Fiqh
kontemporer (priode modern) ‘illat hukum dirumuskan sebagai suatu teori yang
jelas dan tegas. Muhammad Abû Zahrah11,
misalnya, dalam bukunya Ushûl Fiqh, menyebutkan definisi ‘illat sebagai
berikut:
"الــعـلة بأنهاالوصف
الظـاهر المـنضـبـط
المـنــاسـب للــحكم
"
‘Illat ialah suatu sifat atau keadaan yang jelas yang serasi sebagai
(dasar) penetapan hukum.
pengertian ‘illat di atas, Abû
Zahrah mengemukakan sebuah contoh, yaitu tentang pengharaman khamar yang
‘illat-nya memabukkan yang disebut
dengan Iskâr.12 ‘Illat
“memabukkan” adalah suatu sifat
atau keadaan yang jelas dan tegas yang dapat dibuktikan secara kongkrit dan
ternyata memang pantas juga serasi dan sangat tepat untuk dijadikan sebagai
dasar pensyariatan hukum untuk pengharaman khamar.
Dari pengertian serta contoh yang
diungkapkan oleh Abu Zahra diatas nampak terlihat unsur-unsur pokok dari sebuah
illat, seperti apa yang dingkapkan oleh Zakî al-Dîn Sya‘bân13 bahwa ‘illat berpijak pada
tiga unsur pokok sebagai berikut:
Pertama,:
المـعـنى المـنـاســب لـتـشـريع الـحــكم ,
Maksudnya
suatu hal yang serasi (pantas) untuk
dijadikan alasan bagi persyariatan hukum. Sebagai contoh kesulitan (المــشـقـه)
ketika dalam perjalanan (safar) adalah merupakan alasan yang sangat tepat
dibolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan bagi seorang musafir.
Kedua,:
الـثمـرة اوالمـصلحـة التي تـترتب علي تـشـريع الـحكم,
Maksudnya
bahwa ‘illat itu senantiasa dikaitkan dengan tujuan pensyariatan hukum yaitu
untuk merealisir atau mewujudkan kemaslahatan, seperti menghilangkan kesulitan
dan kesusahan, sehingga dibolehkan tidak berpuasa bagi musafir yang mengadakan
perjalanan pada bulan Ramadhan.
Ketiga,:
الـوصـف الـظاهـر الـمـنـضبط الـذى يــشــتـمل عـلى المـعـنى المـناسـب للحكم,
yaitu suatu sifat yang jelas dan pasti yang
memang pantas untuk dijadikan sebagai alasan dalam penetapan hukum.
Menurut
Abd al-Wahhâb Khallâf ‘illat adalah:
الأمـرالظاهـرالذى رَبـَطَ به الـشَارع الـحكمُ وبـناه عـليه لأن مِن شـأن ربـطهِ بـِهِ وَبِـنَائِـه عليه تحـقـيـق حِكمة الـحكمِ
‘Illat itu
merupakan sesuatu yang jelas yang dijadikan oleh Syâri‘ sebagai tambatan hukum
yang tujuannya adalah untuk merealisir hikmah yang terkandung dalam ketetapan
hukum tersebut.14
Dalam
ungkapan lain Khallâf15
menyebut ‘illat sebagai berikut:
وأمـا عـلة الـحكم فهى الأمرالظـاهـرالمنضبـط الذى بُنِى الـحكمُ عـلـيه وَرَبَـطَ بـِهِ وجـودا وعـدمـا
Adapun yang disebut
dengan ‘illat itu ialah sesuatu yang jelas dan akurat (teratur) yang dapat
dijadikan dasar pembinaan dan tambatan hukum karena ada atau tidaknya ‘illat
tersebut.
Khallâf
memberikan contoh dengan kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir. Adanya ketetapan
hukum tentang bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir ‘illat-nya adalah safar
(bepergian) itu sendiri. Karena inilah yang tampak dengan jelas (zhahir) dan
akurat sebagai dasar tambatan hukum (مـناط للحكم). Sebab, jika tidak bepergian, maka tidak
boleh meng-qashar shalat. Di sini, memang menimbulkan pertanyaan, yaitu kenapa
safar (berpergian) yang dijadikan ‘illat bukan masyaqqat? Menurut Khallâf,
bahwa adanya qashar shalat hukumnya adalah memberikan keringan dan
menghilangkan kesulitan bagi musafir, sementara kesulitan itu sendiri sesuatu
yang tidak pasti dan tidak mungkin dijadikan sebagai alasan penetapan hukum.
Oleh karena itu, safar lebih tepat dijadikan sebagai ‘illat bolehnya
meng-qashar shalat dan diakui bahwa memang dalam safar itu ada kesulitan.
Di
samping itu, menurut hemat penulis masyaqqat (kesulitan) itu sendiri
berbeda-beda pada setiap orang dan sulit diukur dan dipastikan sehingga tidak
mungkin untuk dijadikan ‘illat bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir. Untuk
itu, safar (berpergian)-lah yang lebih pasti dan tepat dijadikan alasan
(‘illat) penetapan hukum bolehnya musafir meng-qashar shalat.
Dari
pengertian serta contoh yang diungkapkan oleh khalaf ini secara substansi tidak
berbeda dengan Abu Zahra illat itu adalah sesuatu yang jelas, serta layak dan
pantas untuk dijadikan sandaran atas ketetapan suatu hukum dalam upaya
merealisasikan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan.
Kemudian,
Abd al-Karîm Zaidân16
dalam bukunya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh
menyebutkan definisi ‘illat sebagai:
وأن الـعـلـة هى الـوصف الظاهـرالمـنـضـبط الـذى بُـنِىَ عـَلَـيْهِ الحكم وَرَبـَطَ بهِ وُجُوْدًا وعـدمًـا
Sesungguhnya ‘illat ialah suatu sifat yang jelas dan pasti yang
dapat dijadikan sebagai dasar pembinaan dan pautan hukum, karena ada atau tidak
adanya hukum terkait dengan ada dan
tidak adanya ‘illat.
Artinya, adanya hukum karena adanya ‘illat,
sebaliknya ketiadaan hukum karena ketiadaan ‘illat. Inilah yang disebut oleh
Abd al-Karîm Zaidân dengan ungkapannya:
أن الحكمَ يـوجـدُ مَتَى وُجِـَدِتْ عِـلَّـتُهُ وأن الحكمَ يـَنْـتَـفِى مَتىَ ماَ اِنْـتـَفَـتْ عِـلَّـتُهُ
Dari sejumlah definisi atau pengertian yang
telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa baik definisi-definisi yang
ditemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik maupun kontemporer, sama-sama
menyebutkan bahwa ‘illat itu merupakan sesuatu dan mendorong yang memberitahu
atau sesuatu yang menjadi tambatan hukum.
Akan tetapi, terdapat perbedaan antara rumusan
‘illat yang dikemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik dan kontemporer. Dalam
buku-buku klasik ‘illat dirumuskan lebih melihat pada fungsinya dan tidak
menyebutkan kriterianya, sehingga ‘illat dirumuskan dengan ungkapan bahwa
‘illat itu sesuatu yang memberitahukan, yang mendorong, yang menjadi motif dan
atau yang menjadi pautan dan tambatan hukum.
Sementara dalam pemikiran Ushul Fiqh
kontemporer ‘illat dirumuskan bukan saja melihat pada fungsinya tetapi juga
melihat pada kriterianya. Bahwa kriteria Illat itu selain berupa sifat yang
mendorong atau motif dan yang menjadi pautan hukum dalam pensyariatan suatu
hukum, hal-hal tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti
sifat-sifat tersebut harus tegas, jelas dan memiliki keterikatan dengan
maqashidu as-syariah yakni kemaslahatan dan meninggalkan kesulitan Hal ini
dapat terlihat dalam buku-buku Ushul Fiqh karya Muhammad Abû Zahrah dan Zakî
al-Dîn Sya‘bân, Abd al-Wahhâb Khallâf dan Abd al-Karîm Zaidân bahwa ‘illat
dirumuskan secara lebih tegas, rinci dan jelas kriterianya serta dijelaskan
pula sifat-sifat atau keadaan yang dapat dijadikan ‘illat dalam menetapkan
hukum.
2.
Syarat-syarat illat
Dari
beberapa definisi yang diungkapkan diatas, Illat itu memiliki syarat-syarat
tertentu, adapun yang mejadi syarat-syarat illat diatas adalah sebagai berikut
:
1.
Harus
merupakan sesuatu yang nyata dalam arti dapat diamati misalnya ;
a.
Kerelaan
adalah dasar daripada perikatan, akan tetapi karena kerelaan adalah sesuatu
yang sifatnya tidak dhahir maka kerelaan tidak bisa menjadi illat adanya
perpindahan milik, yang merupakan sesuatu hal yang nyata dalam perpindahan
milik adalah ijab qabul
b.
Kesempurnaan
Akal menjadi tanda baligh atau dewasa, akan tetapi karena kesempurnaan akal
adalah sesuatu hal yang tersembunyi maka tidak bisa dijadikan illat, oleh
karena itu yang menjadi illat kesempurnaan akal sebagai tanda kedewasaan adalah
sampainya umur pada suatu taraf tertentu,
2.
Harus
merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti tidak berbeda karena
perbedaan orang, atau keadaan lingkungan. Misalnya :
a.
Pembunuhan
sengaja yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, mengakibatkan
terhapusnya hak waris, begitu juga pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh
penerima washiyat terhadap penerima wasiat mengakibatkan terhapusnya wasiat
b.
Memabukan
menjadi illat keharaman khamr karena keadaan pada dzatnya yang memabukan
menurut adat, meskipun untuk orang-orang tertentu tidak memabukan hal ini tidak
menyebabkan kehalalan khamar bagi orang yang tidak memabukan tadi.
3.
Harus
ada kaitanya (munasabah) dengan hikmah hukum dalam arti ada hubungannya antara
hukum dengan illat dalam rangka
menerapkan maqashid al-syari’ah. Misalnya : memabukan munasabah dengan
keharaman khamr, karena keharaman khamar hikmahnya dalam rangka memelihara dan
mengembangkan akal, oleh karena itu tidak tepat memberi illat dengan
sifat-sifat yang tidak munasabah dengan hukum dan hikmahnya seperti keharaman
khamar ini dengan illat warna khamar.
4.
Bukan
sifat yang terdapat pada ashal saja, jadi illat itu harus berupa sifat yang
dapat diterapkan pada beberapa masalah selain pada ashal itu. Sebab maksud
mencari illat pada ashal itu ialah untuk menerapkannya pada cabang. Oleh karena
itu kalau illat itu hanya diperoleh pada ashal saja, maka tidak dapat dijadikan
asas qiyas. Misalnya
a.
Hukum-hukum
yang khusus bagi rasulullah saja tidak dapat dijadikan asas qiyas, seperti
dibolehkannya menikahi perempuan lebih dari 4 orang dan mengawinin
wanita-wanita tanpa mahar. Sebab dibolehkannya ialah kekhusuan kawin yang
demikian itu hanya buat beliau sendiri.
b.
Tidak
boleh menetapkan illat haramnya meminum khamr ialah karena ia minuman yang
berasal dari perasan anggur yang sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang
memabukan). Sebab kalau yang dijadikan illat, maka hal itu tidak terdapat pada
minuman yang tidak berasal dari perasan anggur. Dengan demikian jadilah
minuman-minuman yang lain yang memabukan itu tidak haram meminumnya karena
tidak dapat diqiyaskan kepada khamar yang jadi ashal qiyas.
5.
Tidak
berlawanan dengan Nas, apabila berlawanan, nashlah yang didahulukan, karena
kemashlahatan harus tidak bertentangan dengan dalil-dalil qath’iy oleh karena
itu tidaklah benar memberikan sanksi kepada raja atau orang kaya yang
membatalkan puasa karena hubungan biologis dengan puasa dua bulan
berturut-turut karena dianggap mashlahat, tetapi sanksi tentang hal ini
bertahap, pertama membebaskan budak, kalau tidak mampu diganti dengan puasa
berturut-turut dan kalau tidak mampu juga baru memberi makan 60 orang fakir
miskin 17
3.
Perbedaan Antara Illat Dan Sebab
Sesuatu yang menjadi dasar atau alasan
penetapan hukum itu ada yang dapat dipahami hubungannya dengan ketentuan hukum
yang ditetapkan ada pula yang tidak. Terhadap yang dapat dipahami hubungannya
antara apa yang menjadi alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang
ditetapkan, maka itulah yang disebut dengan ‘illat hukum.
Akan tetapi, terhadap yang tidak dapat dipahami
hubungan antara apa yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum dengan
ketentuan hukum yang ditetapkan disebut dengan sebab (الــسـبـب). Pada
dasarnya, baik ‘illat maupun sebab, keduanya sama-sama menjadi
dasar atau alasan yang melatarbelakangi adanya ketetapan hukum.
Abd al-Wahhâb Khallâfmenyebutkan bahwa sebagian
ulama ushul tidak membedakan antara ‘illat dan sebab, karena pada
dasarnya keduanya adalah satu. Pandangan seperti ini umumnya terlihat dalam
pemikiran Ushul Fiqh klasik. Dalam pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf ‘illat
dan sebab itu berbeda. Hal ini sebagaimana pernyataannya:
.. اذا كانـتْ المـناسـبـة فى هـذا الـربـط ممـا نُـدركـه عـقـولَـنَا سُـمِى الوصف العلة واذا كانت ممـا لانـدركه عُـقُـْولَـنَا سـُمِى الـسَّـــبَـبُ فَــقَـطْ وَلاَ يُـسَـمَّى العــلة.
Jika sesuatu yang menjadi tambatan hukum itu dapat dinalar oleh
akal hubungannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka hal ini dinamakan
dengan ‘illat. Akan tetapi, manakala tidak dapat dipahami oleh akal kita, maka hal
demikian disebut dengan sebab dan tidak dinamakan dengan ‘illat. 18
Khallâf19 memberikan contoh,
“menyaksikan bulan sebagai sebab timbulnya kewajiban untuk melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan”. Hal ini tidaklah dinamakan ‘illat, melainkan sebab,
karena tidak dapat dipahami bagaimana hubungannya antara menyaksikan bulan
dengan adanya kewajiban puasa. Dengan
kata lain contoh yang dikemukakan oleh Abd al-Wahhâb Khallâf ini hanya bisa
dipahami dari segi hubungan sebab-akibat. Artinya, dengan menyaksikan
bulan, maka timbul kewajiban puasa. Contoh lainnya, misalnya terbenamnya mata
hari (ghurûb al-syams) di barat,
maka timbulnya kewajiban shalat Maghrib adalah sebab, bukan ‘illat
. jika sesuatu ketentuan hukum dapat dipahami secara logis
hubungannya dengan hal yang melatarbelakangi penetapannya, maka hal demikian
disebut dengan ‘illat. Akan tetapi, manakala suatu ketetapan hukum tidak
dapat dipahami hubungannya dengan
sesuatu yang melatarbelakangi penetapannya -melainkan hanya sebab akibat- maka
hal demikian disebut sebab.
Atas dasar ini, Abd al-Wahhâb Khallâf20 menjelaskan perbedaan ‘illat
dengan sebab sebagai berikut:
فــكل عــلة ســبـب و لـيـس كل ســـبـب عــلة
Setiap ‘illat itu adalah sebab, (tetapi) tidaklah semua
sebab itu dapat disebut ‘illat
4.
Perbedaan Antara Illat Dan Hikmah
Dalam point ini akan dibahas tentang perbedaan antara Illat hukum dengan hikmah dari suatu hukum serta hubungan
antara illat dan hikmah.
Illat sangat
penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum. Sehingga illat
dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara
obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith)
dan sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu
adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah sesuatu hal yang menjadi tujuan
atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia.
dengan demikian Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat dijadikan dasar
penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat
dijadikan dasar penetapan hukum.
Sedangkan menurut
al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan „illat adalah hikmat itu
sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan
dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir
atau tidak, mundhabith atau tidak.21 Jadi baginya „illat itu
tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri.
Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat,
tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai hubungan
yang erat dalam rangka penemuan hukum. Misalnya, dalam bidang ibadah (shalat
qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya itu „illatnya karena
safr, sedangkan musyaqatnya merupakan hikmat
5.
Pembagian Illat
Didalam pemikiran ushul
fiqih klasik dan kontemprer tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai
pembagian illat ini, hanya perbedaan penggunaan istilah saja, misalnya Imam al-Ghazâlî (w. 1111 M/505 H)22 di dalam kitabnya al-Mushtasfâ,
menyebutkan bahwa ‘illat dilihat dari segi eksistensinya dapat dibedakan
kepada dua macam yaitu,
1.‘illat yang didasarkan kepada
dalil naqlî disebut dengan ‘illat
naqlîyah (عـلة الـنـقــلـية) dan ‘illat yang
didasarkan pada tasyrî‘ atau disebut dengan
2‘illat mustanbathah (عـلـة
المـســتـنـبـطة).
Namun secara prinsip pemikiran ushul fiqih kontemporer pun berpendapat
demikian, jika ushul fiqih klasik menyebutnya dengan illat naqli, maka ushul
fiqih kontemporer menyebutnya illat manshushah, jika Ushul fiqih klasik
menyebutnya illat tasyri maka ushul fiqih kontemporer menyebutnya illat
mustanbathah, untuk istilah ushul fiqih
kontemporer ini seperti apa yang dikemukakan oleh Muhammad Mushthafâ Syalabî23 di dalam kitab Ta‘lîl
al-Ahkâm, menyebutkan bahwa ‘illat bila dilihat dari segi
eksistensinya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertama, disebut
dengan ‘illat mansshûshah (عــلـةالـمـنــصوصـة) dan
kedua disebut dengan ‘illat mustanbathah (عــلـة
الــمـسـتـنـبـطـة) .
namun substansinya adalah sama yakni ditunjukannya illat oleh nash atau tidak
ditunjukannya illat oleh nash tersebut.
Menurut Mushthafâ Syalabî,
bahwa ‘illat mansshûshah
adalah ‘illat yang disebutkan langsung oleh nash sebagai dasar
pensyariatan hukum. Sedangkan ‘illat mustanbathah, ialah ‘illat
yang tidak disebutkan oleh nash, ia diperoleh atau ditetapkan lewat proses tasyrî‘ dengan memperhatikan berbagai indikator atau
kemungkinan yang berkaitan dengan pensyariatan suatu ketentuan hukum. Dengan
kata lain ‘illat mustanbathah ini, keberadaannya ditetapkan berdasarkan
ijtihad, yakni kira-kira apa yang paling pantas -dari berbagai kemungkinan-
menjadi ‘illat dari suatu ketentuan hukum yang telah disyariatkan oleh Syâri‘
atau dari sesuatu yang akan ditetapkan hukumnya.
Berdasarkan
hal diatas, Illat pada dasarnya dapat diklasifikasikan pada beberapa bagian
bergantung pada bentuk pendekatannya. Ada dua pendekatan yang akan diuraikan
pada bagian ini :
a.
Pembagian Illat ditinjau dari di I’tibarkan
atau tidaknya oleh syari’at atau Allah Swt.
Muhammad Abû Zahrah, membagi ‘illat
kepada tiga macam bila dilihat dari segi ada dan tidaknya pengakuan Syâri‘, yaitu:1 munâsib mu`asstir (مـناسـب مــؤثـــر),
kedua, munâsib mulâ`im (مـلائــم مــناسـب)
dan munâsib mursal (مــناســب مــرسـل). Sementara Abd al-Wahhâb Khallâf dan abd
al-Karîm Zaidân menambahkan satu macam lagi, yang mereka sebut dengan munâsib
mulghât (مــناسـب مــلغـاة) 24.
1.
Munâsib mu`asstir ialah ‘illat
yang ditunjukkan oleh Syâri‘ bahwa ia yang menjadi dasar pensyari‘atan
hukum, baik secara jelas maupun bentuk isyarat saja. Misalnya dapat kita
lihat dalam surat al-jumu’ah ayat 9
يأيها الذين أمنوا إذا نودي للصلوة من يوم الجمعة
فاسعوا إلى ذكر الله و ذروا البيع ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Perintah
meninggalkan jual beli dikaitakan dengan adzan hari jum’at, yang berarti adzan
itu yang dijadikan illat haram berjual beli karena dengan jual beli itu akan
menggangu shalat jum’at, maka semua hal muamalah lainnya dapat diqiyaskan
dengan jualbeli karena dapat mengganggu shalat jum’at, dan adzan sebagai illat
hukum disebutkan dalam nash oleh syarat.
2.
Munâsib mulâ`im ialah ‘illat
yang tidak dijelaskan dalam nash sebagai illat hukumnya, tetapi disebutkan pada
nash lain sebagai illat bagi hukum yang serupa. Misalnya sabda nabi:
لايزوج البكر الصغيرة الاوليها
“tidak boleh menikahkan seorang gadis yang masih kecil kecuali
walinya.
Disini
tidak dijelaskan illat yang sebenarnya apakah karena gadisnya atau karena belum
baligh karena keduanya dapat dijadikan illat. Menurut mazhab Hanafi yang menjadi
Illat disini karena belum sempurnanya akal, sama halnya dengan anak belum
baligh yang mempunyai harta harus diletakan dibawah pengawasan. Karena itu,
setiap orang yang belum sempurna akalnya atau hilang akalnya diqiyaskan dengan
gadis yang belum baligh.
3.
Munâsib mursal ialah
‘illat yang sama sekali tidak dijelaskan oleh Syâri‘ (nash), tetapi
ia merupakan suatu sifat yang patut dijadikan sebagai ‘illat dalam
rangka untuk merealisir kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. dan inilah
yang dikalangan ahli ushul disebut dengan al-Mashlahah Al-Mursalah. Contoh
dalam hal ini seperti tidak sah akad nikah atau pernikahan kecuali bila umur si
pengantin wanita 16 tahun dan si pengantin pria 18 tahun.
4.
Munâsib mulghât. Yang
dimaksud dengan istilah ini ialah sesuatu sifat yang terlihat dengan jelas dan
bisa dijadikan sebagai ‘illat untuk merealisir kemaslahatan, tetapi
berlawanan dengan
ketentuan lain yang menolaknya. Misalnya mempersamakan hak laki-laki dan anak
perempuan adalah hal yang mashlahat tetapi ini ditolak oleh syariat dengan
firmannya :
يوصيكم
الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
6.
Pembagian
Illat ditinjau dari segi kemashlahatan
Yang
dimaksud dalam bagian ini adalah illat harus senantiasa mewujudkan
kemashlahatan bagi manusia didunia maupun diakhirat karena kemashalahatan
merupakan tujuan dari syariat. Berdasarkan penelitian terhadap berbagai aturan
dalam islam, membuktikan bahwa kemashlahatan tersebut kembali kepada tiga hal
yaitu mewujudkan hal-hal yang dharuri , hajiy dan tahsini bagi manusia.
a.
Dharuri
Yang
dimaksud dengan dharuri adalah sesuatu yang harus ada demi kemashlahatan agama
dan dunia, dalam arti apabila hal-hal dharuri ini tidak bisa diwujudkan maka
tata kehidupan manusia tidak akan mantaf bahkan kacau dan menimbulkan
kemafsadatan. Dengan demikian hal yang dharury ini harus diwujudkan Hal yang
dharuri ini ada lima yakni : Agama, jiwa, kehormatan, harta dan akal. untuk
memelihara agama diwajibkan dakwah, beribadat dan aturan-aturan yang mengandung
sanksi bagi perbuatan-perbuatan yang menunju kepada merusak agama. Untuk
memelihara jiwa diwajiblan qishas bagi pelanggar, untuk memelihara kehormatan
diri diperintahkan menikah dan diharamkan berbuat zina, untuk memelihara harta
diwajibkan hukuman potong tangan terhadap pencuri dan diperintahkan bekerja dan
untuk memelihara akal diharamkan meminum minuman keras.
b.
Hajiy
Yang
dimaksud dengan hajiy adalah mewujudkan segala hal yang memudahkan dan
meringankan manusia didalam memikul tugas hidupnya, apabila tidak ada yang
hajiyat, menyebabkan kesukaran, kesulitan dan kesempitan. Contoh hajiy misalnya
diberi kemudahan(taisir) dalam kehidupan, diberi keringanan (tarkhis) dalam
pembebanan taklif, dan kebolehan(mubah) demi mempermudah dalam kehidupan.
Dengan kata lain yang termasuk hajiy disini adalah aturan-aturan yang
berhubungan dengan masalah-masalah rukhsah, lupa, kesalahan, terpaksa dan
dipaksa.
c.
Tahsini
Yang
dimaksud dengan tahsini adalah mewujudkan kesempurnaan dan kebaikan hidup yang
hakikatnya kembali kepada akhlak yang luhur dan mulia serta kebiasaan-kebiasaan
pergaulan yang terrpuji. Aturan-aturan yang berkaiatan dengan tahsini disini
antara lain, shalat sunat, puasa sunat, cara makan dan minum , menutup aurat,
adab dan sopan santun, dilarang melihat dan mendengar yang tidak baik.
Pembagian
ini untuk mengingatkan bagi yang mau menggunakan qiyas khususnya dan mujtahid
umumnya dalam dua hal : pertama harus memperhatikan tartib atau skala
prioritas didalam menghadapi kasus-kasus hukum. Jadi hal-hal yang dharuriy
tidak bisa dikorbankan demi untuk menyelamatkan yang hajiy, dan yang hajiyyat
tidak bisa dikorbankan demi memelihara yang tahsiniyat atau dengan kata lain
yang tahsiniyat hanya bisa dikorbankan demi untuk memelihara yang hajiyat, dan
yang hajiyat hanya bisa dikorbankan demi untuk memelihara yang dharuriyat,
sebab tahsiniyat adalah penyempurna hajiyat, dan hajiyyat penyempurna
dharuriyat.
Kedua,
setiap ketentuan hasil ijtihad yang memelihara dan tidak keluar dari
dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat adlah mashlahat dalam arti sesuai dengan
maqashid al-syari’ah, selama mashlahat itu bersifat umum, hakiki dan sejalan
dengan al-aql-al-mustaqim[7]25
7.
Cara-Cara Mengetahui Illat
Ada tiga
cara yang masyhur untuk mengetahui Illat hukum yaitu dengan melalui nash, ijma
dan as-Sabr wa Taqsim.26
a.
Dengan
Nash. ‘Illat yang ditunjukkan oleh nash adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya
tidak tegas atau dengan isyarat. ‘Illat yang ditunjukkan oleh Nash itu sendiri
dengan memperhatikan kata-kata yang digunakannya seperti kata-kata, li alla,
kay , li ajli seperti contoh ayat yang artinya ;
رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس على الله حجة بعد الرسل وكان
الله عزيزا حكيما (النساء : 165)
“(Mereka kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya Rasul-rasul itu”.(an-Nisa’ ayat 165)
كى لايكون دولة بين الأغنياء منكم
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu.
Adapun
‘illatnya dengan isyarat seperti dalam hadits Nabi SAW berikut ini;
لا يقضى القا ضى و هو غضا ن
“Tidak boleh seseorang hakim menjatuhkan hukuman ketika sedang
marah”
b.
Dengan
Ijma’. Apabila Ijma’ itu qath’iy. Dan sampainya kepada kita juga qath’i dan
adanya ‘illat itu dalam cabang juga demikian, serta tidak ada dalil yang
menantangnya, maka hukumnya qath’i. Apabila tidak demikian halnya hukumnya bernilai
dhanni.
Contoh ‘illat yang diketahui melalui
ijma’ seperti mendahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari pada sudara
laki-laki sebapak dalam warisan karena talian kekerabatan ibu. Dengan qiyas
pula didahulukan anak paman seibu sebapak dari anak paman sebapak, anak saudara
laki-laki seibu sebapak dari anak saudara laki-laki sebapak. Dengan qiyas pula
didahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari saudara laki-laki sebapak
dalam perwalian nikah.
c.
Dengan
al-Sabr wa al-Taqsim.Yaitu dengan cara mencari dan meneliti ‘illat yang paling
tepat diantara beberapa kemungkinan ‘illat . Ini adalah pekerjaan seorang
mujtahid dalam memilih mana yang paling tepat menjadi ‘illat. Untuk mengetahui
‘illat seperti itu sudah tentu diperlukan suatu pemahaman yang mendalam baik
tentang sistem hukum Islam secara keseluruhan, maksud syara’ maupun
perinciannya disamping diperlukan ketajaman berpikir. Selain
itu pada sebagai ahli ushul dikenal pula istilah :
d.
Takhrijul
al-Manath. Takhrij al-manath adalah mencari dan mengeluarkan illat sampai
diketahui, apabila illat tidak diketahui baik dengan nash ataupun ijma. Contoh
seperti pembunuhan yang yang diancam dengan sanksi qishas adalah pembunuhan
sengaja dengan menggunakan alat-alat yang biasanya mematikan manusia, maka
diqiyaskan kepada alat ini segala alat yang mematikan manusia , maka diqiyaskan
kepada alat ini segala alat yang bisa mematikan, baik yang digunakan pada masa
rasulullah ataupun tidak.
e.
Tanqihul
al- Manath. Tanqihul manath adalam membersihkan dan menetapkan satu illat dari
illat lain yang sama, misalnya seperti orang yang membatalkan puasa ramadhan
dengan jima diancam dengan sanksi: membebaskan budak, apabila tidak sanggup/ada
2 )harus puasa dua bulan berturut-turut dan apabila tidak sanggup puasa, harus
3) memberikan makan sebanyak 60 orang miskin.
Dalam
hal ini timbul suatu pertanyaan apakah illatnya karena mengadakan hubungan
kelamin pada bulan ramdhan atau karena membatalkan puasanya sendiri. Pada
zatnya, melakukan hubungan kelamin dengan istrinya adalah karena merusak
kemulyaan bulan ramdhan dan didalam hal ini dengans setiap cara yang
membatalkan puasa karena itu jelas bahwa membatalkan puasa dengan sengaja
adalah sebab adanya sanksi tadi.
f.
Tahqiq
al al-manath. Tahqiq al-manath penerpapan dari satu illat yang telah diketahui
terhadap beberapa kasus. Misalnya telah disepakati bahwa memabukan itu adalah
illat dari minuman-minuman yang haram. Akan tetapi penerapan didalam minuman
yang memabukan yang bermacam-macam membutuhkan ijtihad ahli. Demikian pula
persaksian yang adil akan tetapi untuk menentukan keadilan membutuhkan ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Fattâh Muhammad Abû al-‘Inain, al-Qadhâ wa
al-Istbât fî al-Fiqh al-Islâmî, Kairo: t.pn, 1983,
Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj
fî Syarh al-Minhâj,
Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz
fî Ushûl al-Fiqh, Beirut: Muassasah Ar Risalah
Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir
al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî mâ lâ Nashsh fîh, .
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm
Ushûl al-Fiqh,
Abû Yahyâ Zakarîya al-Anshârî, Ghâyat
al-Wushûl: Syarh Lubb al-Uhul, Surabaya: t.pn, t.t,
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam,
UII Pres Yogyakarta, 1984,
Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîst terj. H.M. Qodirun Nur dan
Ahmad Lansyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998,
Alyasa Abubakar, Hukum
Islam di Indonesia,
Al-Sya‘rânî, al-Mizân al-Qubrâ
jil. II, Kairo: Dâr al-Fikr li al-Tibâ‘ah wa al-Nasyr, t.t,.
Ghazâlî, Al-Mustasfâ, Madinah,
t.pn, t.t
Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam,
Purna Siswa Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Jawa Timur, 2008
Ghazâlî, Syifâ` al-Ghalîl
fî Bayân wa Masâlik al-Ta‘lîl, Baghdad: Matba‘ah al-Irsyad, 1971,.
Ibn al-Subkî, Syarh
Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘,
Jalaluddin Rahmat,
"Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar" dalam: Iqbal Abdurrauf Saimina
(ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Latifah Prees, Tasikmalaya,
2004
Luis Ma`lûf, al-Munjid fî al-Lughat wa al-Adâb wa al-Ulû,Beirut:
al-Matba‘at al-Katsûlikîyah, 1956,
Muhammad Abd al-Ghanî
al-Bajiqânî, Al-Madkhal Ilâ Ushûl al-Fiqh al-Mâlikî,.
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl
al-Fiqh, Mesir: Al Khabariyah Al Kubra, 1969
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Pustaka
Rizki Putra, Smarang 2001
Muhammad Wafâ, Dilâlat
al-Khithâb al-Syar‘î ‘ala Hukm al-Manthûq wa al-Mafhûm, Kairo: Dâr
al-Tibâ‘ah al-Muhammadîyah, 1981,
Prof.Drs .H. A.Djazuli dan Prof.Dr. I Nurol Aen M.A. Ushul Fiqh
Metodologi Hukum Islam. 2000. Jakarta : Rajawali Press. Hal. 139-140.
Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Drs. Fathuraahman. Dasar-dasar
pembinaan hukum islam. 1986 Bandung : Al-ma’arif Cet. 10.
Sayyid Sâbiq, Fiqh
al-Sunnah jil. III, Beirut: Dâar al-Kitâb al-Arabî, 1973,.
Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh
al-Islâmî,
[1]
Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam, Purna Siswa
Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Jawa Timur, 2008, hlm. 6-7
[2]
http://www.cantiknya-ilmu.co.cc/2011/01/islamic-studies.html
[3]
Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam, hlm. 7-8
[4]
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Latifah Prees, Tasikmalaya, 2004, hlm.
59-61
[5]
Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam, hlm.
207-210
[6]
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, hlm. 63-64
2
Luis Ma`lûf, al-Munjid fî al-Lughat wa al-Adâb wa al-Ulûm (Beirut:
al-Matba‘at al-Katsûlikîyah, 1956), h. 523
3 Muhammad al-Jurjânî, Kitâb al-Ta‘rîfât, ( Singapore-Jeddah:
tt), h. 154
4 Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîst terj.
H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Lansyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.
363-364
5 Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ, h. 395.
6 ibid
8 Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 117.
9 Abû Yahyâ Zakarîya al-Anshârî, Ghâyat
al-Wushûl: Syarh Lubb al-Uhul (Surabaya: t.pn, t.t), h. 144.
10 Shâdiq Hasan Khan, Mukhtashar
Hushûl al-Ma‘mûl Min ‘Ilm al-Ushûl (Kairo: Dâr al- Shahwah, 1403), h.
106-108.
11 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h.
237.
12 ibid , h. 237.
13 Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh
al-Islâmî, h. 131-132.
14 Abd al-Wahab Khalaf, Mashâdir alTasyrî’
al-Islâmi, h. 49-50.
15 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,
h. 65.
16 Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl
al-Fiqh, h. 201-202.
17 Prof.Drs .H.
A.Djazuli dan Prof.Dr. I Nurol Aen M.A. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam.
2000. Jakarta : Rajawali Press. Hal. 139-140. Lihat juga Prof.Dr. Mukhtar Yahya
dan Prof.Drs. Fathuraahman. Dasar-dasar pembinaan hukum islam. 1986 Bandung :
Al-ma’arif Cet. 10. Hal 86-88
18 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,
h. 67-68.
19 Contoh ini termuat dalam QS.
al-Baqarah/2:185.
20 Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h.
68.
21 Al-Syatibi, Al-Muwafakat
fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt, hlm. 185.
22 Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 425-435.
Lihat juga Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj,
h. 60
23 Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 64-65
24 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h.
241-243, Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 52-56,
Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 207-210.
26
Prof.Drs .H. A.Djazuli dan Prof.Dr. I Nurol Aen M.A. op cit . Hal. 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar