Cogito Ergo Sum

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Rabu, 15 Oktober 2014

FILSAFAT DALIL AL-AHKAM DAN ‘ILLAT AL-AHKAM


Pendahuluan
Dalam menjalani kehidupan, manusia sebagai hamba dari sang pencipta, dan sebagai mahluk sosial akan dihadapkan kepada hak dan kewajiban serta keharusan-keharusan sebagai manusia. Baik secara vertikal, maupun horizontal. Suatu hak dan kewajiban serta keharusan ada kalanya dapat diatur langsung oleh manusia itu sendiri, dan ada kalanya suatu hak dan kewajiban yang tak dapat diketahui dalam ariti membutuhkan bing-bingan dari sang pengatur yang maha mengetahui akan hak dan kewajiban serta keharuasan manusia tersebut.
Allah Swt menurunkan wahyu melalui maikat jibril yang kemudian menjadi tugas para Rasul untuk menyampaikannya sebagai aturan hidup yang akan membawa manusia kepada kehidupan yang maslahah dan mencapai suatu kebahagian dengan menjalankan aturan-aturan yang terdapat dalam wahyu tersebut, baik berupa hak, kewajiban, keharusan, larangan dan lain sebagainya. Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut pada akhirnya menjadi sumber hukum/ dalil yang dijadikan pegangan selama manusia hidup dalam dunia ini. Namun, disamping wahyu sebagai dalil hukum, para pengkaji hukum Islam menggali dari sumber tersebut yang pada akhirnya akan terbentuk dalam suatu kesepakatan yang nantinya disebut Ijma, atau dengan jalan menyamakan suatu kasus dengan peristiwa atau ketentuan dalam al-Qur’an dengan jalan menyamakan ‘Illat yang pada akhirnya terbentuk sebagai dalil hukum yang dinamakan Qiyas.
Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah Swt. -- yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia -- bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakekatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan memahami  keberadaan dan alasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut disamping terkait pula dengan prosedur apa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui alasan-alasan dimaksud.
Persoalan yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan suatu hal yang  penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar makna dan nilai  suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan Allah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum tersebut.
Dalam kajian Dalil al-Ahkam pada makalah ini penulis akan mencoba membahas definisi, eksitensi Dalil al-Ahkam, dan bagai mana pergulatan para ulama dalam mengklasifikasikan/ pengklasifikasian sesuatu yang dapat dijadikan suatu dalil dalam penetapan Hukum Islam yang disepakati dan tidak disepakati. Sedangkan pada pembahasan   ‘Illat al-Ahkam, penulis berusaha untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang mendalam tentang eksistensi ‘illat al-Ahkam, macam-macam dan fungsi ‘Illat dalam pembinaan hukum syara‘.

A.  Dalil Al-Ahkam
1.      Pengertian dan Pendapat Ulama’ Terhadap Dalil al-Ahkam
Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah,  para ulama mengemukakan beberapa definisi, di antaranya adalah; Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”. sedangkan Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, menyatakan bahwa, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Selanjutnya, Dalil Hukum Syari’at dalam pengklasifikasiannya didasarkan pandangan kesepakatan ‘Ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini sebagai Dalil Hukum Syaria’at. Pembagian ini meliputi tiga bagian :
1.      Sesuatu yang telah disepakati semua ulama’ Islam sebagai dalil hukum syari’at yaitu; al-Quran dan al-Sunnah.
2.      Sesuatu yang disepakati oleh mayoritas ulama’ sebagai sumber hukum syariat yaitu; Ijma dan Qiyas.
3.      Sesuatu yang menjadi perdebatan ulama’, bahkan oleh mayoritasnya, yaitu, ‘uruf, istishab, istihsan, maslahah mursalah, syar’u man qablana dan mazhab sahabat. Sebagian ulam’ menambahkan sadd al-dzari’ah.
Wahbah al-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islam, mengemukakan, batasan ringkas mengenai dalil-dalil ini adalah bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan wahyu atau bukan, dalil yang merupakan wahyu ada kalanya dibacakan dan adakalanya tidak dibacakan. Wahyu yang dibacakan dinamakan al-Qur’an dan wahyu yang tidak dibacakan yaitu al-Sunnah. Sedangkan dalil yang merupakan wahyu, apabila merupakan kesepakatan pendapat atau analisis para mujtahid disebut Ijma’ bila merupakan analogi suatu hal terhadap yang lain mengenai status hukumnya karena ada persamaan dalam ‘Illatnya, maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak memiliki kriteria diatas maka dinamakan Istidlal dan klasifikasinya ini memiliki bermacam-macam jenis.
 Selanjutnya Wahbah al-Zuhaili mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil-dalil ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyariatan, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah dan Ijma. Ada kalanya pula dalil-dalil ini merupakan sumber hukum yang memiliki ketergantungan atau bukan mandiri, yaitu Qiyas. Yang dimaksud dengan dalil mandiri ialah bahwa dalil dalil hukum ini dalam penetapan hukum tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas di klasifikasikan dalam dalil yang bukan mandiri karena dalam penetapan hukuam ia masih membutuhkan pada ashl atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yang terdapat dalam al-qur’an, al-sunnah dan ijma’. Selain itu, dalam penggunaannya qias membutuhkan pengetahuan atau analisi mendalam tentang ‘illah dari hukum ashl. Sedangkan ijma walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran, namun hal ini tidak mencegah keberadaannya sebagai dalil mandiri, karena hal tersebut dibutuhkan sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ selama sumberhukum bukan dari sisi istidlal (penggalian hukum)-nya, berbeda dengan qiyas.[1] 
Adapun menurut Abdul Wahhab Khalaf, ketika membicarakan pandangan al-Thufi, menghitung adanya sembilan belas dalil, yaitu: al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ Ummat, Ijma’ penduduk Madinah, Qiyas, Qaul Shahabi, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhab, al-Bara’ah al-Ashliyah, ‘Awa’id, al-Istiqra, Sadd al-Dzara’i, al-Istidlal, al-Istihsan, mengambil yang paling ringan, al-‘Ishmah, Ijma’ penduduk Kufah, Ijma’ Ahl al-Bait, dan Ijma’ Khalifah yang empat. Akan tetapi, umumnya para ulama biasa menempatkan sebelas dalil, yaitu: al-Quran, al-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Qaul Shahabi, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhab, Sadd al-Dzara’i, al-Istihsan, dan Syar’u Man Qablana.[2]  
Sedangkan Abd al-Karim Zaidan dalam al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, bila ditelusuri lebih jauh dalil-dalil hukum dalam Islam, baik yang telah disepakati oleh ulama’ dalam penetapannya, maupun yang masih menjadi bahan perdebatan, pada dasarnya terkonsentrasi pada sumber hukum (mashadir al-Ahkam) naqliyyah yakni; al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena sumber-sumber hukum tidaklah ditetapkan keabsahannya melalui potensi akal, namun bergantung pada adanya legitimasi dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena itulah al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dalil primer dalam perujukan hukum-hukum syari’at. Hal ini didasarkan pada dua sisi atau alasan.
1.      Muatan al-Qur’an dan al-Sunnah mencakup keterangan hukum-hukum parsial dan cabang secara mendetai.
2.      Muatan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mencakup kaidah universal yang menjadi sandaran hukum parsial dan cabang sebagai mana ijma’ adalah hujjah dan merupakan sumber hukum, begitu pula Qiyas dan lain sebagainga.[3]

2.    Metode Pemahaman Dalil-Dalil Hukum
Menurut Juhaya S. Praja, bahwa sumber-sumber hukum Islam (Mashadir al-Ahkam) itu ada yang naqliyyah (al-Qur’an, al-Sunnah) dan aqliyyah (ijma, qiyas). Ada tiga metode dalam upaya untuk menjamin bahwa al-Qur’an itu diperoleh secara naqliyyah yakni al-Tajribah Al-Hissiyah (pengalaman emfirik), al-Mutawatir atau transmited data (data yang di transmis melalui periwayatan yang ketat) dan al-Istiqra (pengujian kebenaran sumber naqli secara induktif).
Metode al-Qur’an dalam penggalian hukum merujuk kepada dua aliran dalam penafsiran al-Qur’an yaitu al-Ma’thur dan al-Ra’yu. Dari sudut lain, metode al-Qur’an yang dianut oleh para pakar hukum Islam ada dua aliran. Pertama, aliran literalisme, yakni aliran yang mengambil makna dan hukum dari al-Quran secara harfiyyah. Kedua, aliran spiritualisme, yakni aliran yang menafsirkan ayat-ayat hukum secar metaforis atau ta’wil. Aliran ini melakukan penafsiran secara metaforik selama tidak bertentangan secara tekstual denga ayat-ayat ukum lainnya. Aliran inilah yang kemudian menjadi pendukung kuat metode qias, dan al-istislah dibidang ushl al-Fiqh.
Aliran selain kedua aliran tersebut, ialah aliran yang menggabungkan formalisme dan literalisme dengan spiritualisme serta mempertimbangkan teori instusionisme (kasfiyyah). Katakanlah aliran spiritualisme-sufistik, seperti yang dicoba dilakukan ibn qayyim al-jauziyyah.
Pembagian aliran filsafat hukum Islam pun, ditinjau dari segi metodologinya, dapat dibagi atas dua aliran besar dan satu aliran sintesa dari kedua aliran tersebut. Aliran pertama adalah aliran ahli al-Hadits yang dipelopori oleh imam Malik ibn Anas. Aliran ini lebih mendahulukan pendapat ulama’ ahli al-madinah dan athar sahabat ketimbang al-ra’y. aliran yang menganut kebalikan mazhab ini ialah aliran ahli al-Ra’y yang sering pula disebut aliran iraq dengan tokohnya abu hanifah.
Aliran yang melakukan sintesa dari kedua aliran terdahulu ialah imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. salah satu cirinya ialah kesediaan al-Syafi’I menerima kehujahan hadits mursal apabila dalam proses periwayatannya ada oknum ibn Musayyab.
Apabila kita coba gambarkan berbagai metode al-Qur’an dibidang filsafat hukum Islam dapat dilihat gambar berikut ini
A.    Literalisme >< Spiritualisme.
B.     Spiritualisme-Sufistik
C.     Ahl al-Ray >< Ahlu al-Hadits
D.    Ahl al-Ihtiyat
Catatan :
Dua aliran (A) melahirkan aliran (B)
Dua aliran (C) melahirkan D

Dari gambar diatas, perkembangan kefilsafatan dibidang hukum Islam melalui dialektika yang kemudian membentuk sintesa. Perkembangan ini seirama dengan perkembangan ilmu-ilmu agama Islam itu sepanjang perjalan sejarahnya. Dengan demikian metode al-qur’an melahirkan metode-metode lainnya, baik Sunnah, Ijma, Qiyas, dan metode-metode lainnya. Hal ini dimungkinkan keberadaannya oleh al-qur’an itus sendiri disamping tentusaja-perkembangan manusia itu sendiri.
Disamping metode al-Qur’an, al-Sunnah-pun dalam perkembangannya, seperti halnya al-Qur’an, melewati perkembangan yang berjalan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan zaman. Dalam penggunaan Sunnah sebagai sumber hukum dan upaya-upaya interprestasinya, terdapat dua aliran. Pertama adalah aliran yang boleh diatakan aliran literalisme. Aliran yang menafsirkan Sunnah secara harfiyyah. Kedua, aliran yang mengartikan Sunnah secara metapfora, yang dapat disebut spiritualisme. Aliran ini menganggap bahwa hadits-hadits Nabi dalam arti ungkapan yang sesuai dengan tingkatan kemampuan intelektual dan kebudayaan masyarakat pada zamannya. Dengan demikian, untuk interprestasi masa kini diperlukan peahaman dan penafsiran kontekstual. Dalam aliran ini bisa dikatakan bawa al-Syatibi, penulis al-Muwa’faqat termasuk didalamnya. Penafsiran atas sunnah rasul secara kontekstual adalah penafsiran dan perluasan makna atas makna-makna etimologi, atau perluasan makna secara lebih luas sesuai dengan ruang dan waktu. Adapun aliran yang menggabungkan dua aliran tersebut diatas menyatakan bahwa urusan-urusan yang menyangkut ibadah murni (‘Ibadah Mahdhah) tidak bisa lain kecuali mengikuti apa yang dijelaskan rasul secara tekstual, atau sunnah-sunnahnya. Disamping itu, tentu saja, berdasarkan al-Qur’an. Adapun luar ibadah murni, interpretasi secata kontekstual adalah suatu kemungkinan dan pilihan.[4] 
Setelah al-Sunnah yang menjadi pokok dalil Ahkam dalam Islam adalah Ijma, Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.
Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.
Qiyas (analogi), sebagai mana yang telah disisnggung diatas, termasuk dalil hukum yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.
Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat al-kulliyyat).
Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.[5]
Qiayas dalam ilmu mantiq adalah proporsisi atau konklusi yang disusun berdasarkan proposisi-proposisi atau premis-premis. Bila premis-premis itu benar maka dari premis-premis itu dapat ditarik konklusi yang nar pula. Ada dua macam qiyas dalam ilmu mantiq. Pertama silogisme katagorik (al-Qiyas a-Iqtiran). Kedua silogisme ekseptik atau (Qias al-Istisna’)
Silogisme katagorik atau qias istisna’i ialah qiyas atau penalaran yang terdiri dari tiga term atau premis yang dalam bahasa Arab disebut al-Muqaddimah seperi dalam; Premis major : setiap badan adalah tersusun. Premis minor : setiap yang tersusun adalah badan. Konklusi : maka setiap badan adalah baru.
Qiyas kedua adalah qiyas ekseptik atau istisnaiyyah yang terdiri dari dua buah premis. Salah satu premis silogisme ekseptik berbentuk syarat, premis lainnya berbentuk ketetapan sebagai jawaban syarat. Atau menghilangkan salah satu bagian dari kedua premis tersebut, sebagai mana contoh; Fulan berjalan kaki, maka ia akan menggerakan kedua telapak tangnnya. Si Fulan berjalan kaki, maka ia menggerakan kedua telapak kakinya. Teteapi sipulan tidak menggerakan kedua telapak kakinya, maka ia tidak berjalan kaki. Qiyas ekseptik ini ada dua macam. Pertama, bentuk qiyas yang mengandung persyaratan melekat (Syartiyyah Muttasilah) atau hipotetik, seperti; apabila matahari terbit maka ada siang hari. Mata hari terbit, maka ada siang. Qiyas ekseptik bentuk kedua ialah qiyas yang bentuk persyaratannya terpisah (Syartiyyah Munfashilah) atau disjongtif. Seperti; Bilangan ini berganda atau tunggal. Bilangan ini berganda, maka bilangan ini tidak tunggal.
Qiyas ditinjau dari segi perangkat penerimaan kebenaran premis-premisnya ada empat macam. Pertama, Qiyas al-Burhani’ atau silogisme demonstratif, yaitu qiyas yang premis-premisnya dapat diterima sebagai kebenaran. Premis-premis qiyas ini disebut al-Musallama’t. Kedua, Qiyas al-Iqtina’I, yaitu Qiyas yang premis-premisnya mungkin salah, atau benar, atau zanniy. Kebenaan premisnya dapat diterima. Akan tetapi, kebenaranya tidak masyhur. Premis ini disebut al-madzu’na’t. Ketiga, Qiyas al-Sya’ri’, atau silogisme poetik yang premis-premisnya berupa khayalan, yang disebut al-mutashabihat bighairiha. Keempat, Qiyas yang disebut silogisme shopistik, suatu qiyas yang nampaknya seprti demonstratif atau dialektif (jadaly) padahal tidak demikian premis-premisnya disebut al-Mukhayalat, berdasarkan nas yang disebut al-ashl. Kesimpulan diambil untuk menetapkan hukum peristiwa hukum yang disebut al-Far’. Al-ashl dan al-Far’ adalah dua peristiwa hukum yang sama-sama mempunya makna homonim dan dipastikan keberadaannya konklusi atau nati’jah yang diperoleh berdasarkan qiyas tamsil itu kemudian dapat diartikan term penengah dalam pembentukan Qiyas shumul. Karena al-ashl dan al-Far’ sama dengan hukum al-ashl. Ada dan tidak adanya hukum pada al-Far’ bergantung kepada ada dan tidak adanya ‘illat hukum pada al-Far’ dan al-Ashl. Oleh karena itu, dapatlah dipahami kelahiran kaidah yang berbunyi :
الحكم يدر مع علته وجودا وعدما
 “Hukum itu beredar/ berubah sesuai dengan peredaran ada dan tidak adanya ‘Illat hukum.”
Dalam penggunaan Qiyas sebagai metode hukum Islam baik yang amat penting dan bagian yang rumit dalam penggalian dan teknik-teknik pengujiannya adalah unsur ‘Illat. Bahkan dinyatakan bahwa Ijtihad dengan metode Qiyas pada hakikatnya adalah Ijtihad untuk menentukan suatu ‘Illat hukum bergantung kepada metode dan teknik pengujian dan kebenarannya yang disebut masalik al-‘illat. Oleh karena itu, pembahasan seputar ‘Illat Hukum damal kajian ini akan dibahas dalam kajian husus berikut ini.[6]

B.  ‘Illat Al-Ahkam
1.    Pengertian Illat
            Secara etimologis kata ‘illat berasal dari akar kata   عل - يعل-علة  atau اعــتـل yang berarti sakit atau penyakit.2. Al-Jurjânî 3 dalam kitab al-Ta‘rifât menyebutkan bahwa ‘illat secara bahasa berarti sesuatu yang berada di suatu tempat, lalu diubahnya kondisi di tempat tersebut. Dalam ilmu hadist, ‘illat dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan cacatnya suatu hadist. Dalam terminologi ahli hadist bahwa ‘illat itu merupakan sebab yang tersembunyi yang mengakibatkan cacatnya hadist, meskipun secara lahiriyah tampak terhindar dari cacat.4
            secara terminology, maka dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa pengertian  menurut para ulama ushul fiqih, yang dalam hal ini akan diklasifikasikan pada dua kelompok yang didasarkan pada periode generasi ulama tersebut, pertama, pendapat ulama pada periode klasik dan kedua adalah pendapat para ulama periode Modern. Hal ini penting untuk dikemukakan karena illat sebagai sebagai suatu teori dalam menggali hukum mengalami perkembangan dalam pengertiannya.
a.       Pendapat  Ulama Ushul Fiqih  Klasik
            Menurut Imam al-Ghazâlî  dalam kitab al-Mustashfâ menyebut ‘illat hukum itu dengan istilah manâth al-hukm (مناط الحكم) yaitu pautan hukum. 5 yang selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan dalam pengertian syar’I sebagai  :
منــاط الـحــكم أي مـا أ ضـاف الشـرع الحكم ا لــيه ونـاط بـه.
Pautan hukum atau tambatan hukum dimana Syâri‘ menggantungkan hukum dengannya6"
            Pandangan Al-Ghazâlî ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh kalangan pengikut  Imam   Malik 7   yang  juga  mendefinisikan ‘illat hukum sebagai:
 مــناط الحــكم الـذي اضـاف الشـارع الــيه بـه ..
"Pautan hukum dimana Syâri‘ menghubungkan ketetapan hukum dengannya"
Selanjutnya, al-Amidî dan ibn al-Hajîb, sebagaimana disebutkan oleh Mushthafâ Syalabî8 dalam  bukunya,  Ta‘lîl al-Ahkâm,  mengartikan ‘illat  hukum  sebagai:
 الــباعث والـداعي لــشرع الــحكم .
Motif atau pendorong (al-bâ‘its) dan sesuatu yang menuntut (al-dâ‘î) adanya persyariatan  hukum syara‘, yaitu  menciptakan maslahat dan menolak mudharat dalam kehidupan manusia.
al-Anshârî9 menjelaskan bahwa yang disebut dengan ‘illat hukum ialah:
الــمعرف وقـيل المــؤثر أوالـباعـث للمــكلف ورافــعه أو دا فــعه للحــكم.
Maksudnya, ‘illat merupakan sesuatu yang memberitahukan atau yang mempengaruhi, mendorong serta memunculkan penetapan hukum bagi orang mukallaf. Definisi yang dikemukakan oleh Anshârî ini secara substansi tidak berbeda dengan pengertian yang diungkapkan al-Amidî dan ibn al-Hajîb, hanya secara redaksi terdapat tambahan ungkapan bahwa penetapan hukum itu ada kaitannya dengan taklif kepada orang mukallaf.
Berdasarkan pengertian diatas maka Shâdiq Hasan Khan10  dalam bukunya Mukhtashar Hushûl al-Ma‘mûl  min ‘Ilm  al-Ushûl menjelaskan bahwa  terdapat sejumlah sebutan tentang ‘illat ini. Sebutan-sebutan atas ‘illat itu adalah yaitu: الـســبـب  (sebab), الأمــارة (tanda, petunjuk), الــداعي (yang mendorong, yang menuntut), المـســتدعي  (yang menghendaki), البــاعـث (yang menjadi motif), الحــامل (sesuatu menghendaki), المنــاط (yang menjadi pautan), الــدليل (yang menjadi petunjuk), الـمـقـتضي (yang menentukan), الــموجـب (yang mengharuskan) dan الــمؤثــر (yang mempengaruhi).
            Kesemua sebutan atau nama untuk ‘illat ini -meskipun satu sama lainnya  berbeda-beda penyebutannya- tetapi secara substansial mengacu kepada satu pandangan bahwa tidak ada suatu ketetapan hukum yang tidak didasari oleh ‘illat. Artinya, suatu ketentuan hukum yang disyariatkan tentu ada yang mendorong, mempengaruhi, menghendaki dan memunculkannya, yakni apa yang disebut dengan ‘illat. 
            Istilah atau penyebutan ‘illat hukum seperti yang telah dikemukakan di atas umumnya banyak ditemukan dalam buku-buku teks Ushul Fiqh yang lahir pada masa klasik dan pertengahan. Namun demikian, apa yang dirumuskan para ulama ushul pada periode ini merupakan kerangka dasar yang amat penting dalam usaha melahirkan rumusan teori ‘illat hukum.  Kerangka dasar pemikiran ini mempunyai nilai dan pengaruh yang amat penting dalam pengembangan dan aplikasi teori dari ‘illat hukum pada masa berikutnya. Masalah ‘illat hukum pada periode klasik belum menggambarkan sebuah teori yang komprehensif dan menyeluruh. Sifatnya baru memberikan konsep-konsep dasar yang selanjutnya pengembangan illat terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer pada masa berikutnya.
b.      Pendapat  Ulama Ushul Fiqih  Modern
            Dalam pemikiran Ushul Fiqh kontemporer (priode modern) ‘illat hukum dirumuskan sebagai suatu teori yang jelas dan tegas. Muhammad Abû Zahrah11, misalnya, dalam bukunya Ushûl Fiqh, menyebutkan definisi ‘illat sebagai berikut:
"الــعـلة بأنهاالوصف الظـاهر المـنضـبـط المـنــاسـب للــحكم "
‘Illat ialah suatu sifat atau keadaan yang jelas yang serasi sebagai (dasar) penetapan hukum.
            pengertian ‘illat di atas, Abû Zahrah mengemukakan sebuah contoh, yaitu tentang pengharaman khamar yang ‘illat-nya memabukkan yang disebut  dengan Iskâr.12  ‘Illat  “memabukkan”  adalah suatu sifat atau keadaan yang jelas dan tegas yang dapat dibuktikan secara kongkrit dan ternyata memang pantas juga serasi dan sangat tepat untuk dijadikan sebagai dasar pensyariatan hukum untuk pengharaman khamar.
            Dari pengertian serta contoh yang diungkapkan oleh Abu Zahra diatas nampak terlihat unsur-unsur pokok dari sebuah illat, seperti apa yang dingkapkan oleh Zakî al-Dîn Sya‘bân13 bahwa ‘illat berpijak pada tiga unsur pokok sebagai berikut:
Pertama,:
المـعـنى المـنـاســب لـتـشـريع الـحــكم ,
Maksudnya suatu  hal yang serasi (pantas) untuk dijadikan alasan bagi persyariatan hukum. Sebagai contoh kesulitan (المــشـقـه) ketika dalam perjalanan (safar) adalah merupakan alasan yang sangat tepat dibolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan bagi seorang musafir.
Kedua,:
 الـثمـرة اوالمـصلحـة التي تـترتب علي تـشـريع الـحكم,
Maksudnya bahwa ‘illat itu senantiasa dikaitkan dengan tujuan pensyariatan hukum yaitu untuk merealisir atau mewujudkan kemaslahatan, seperti menghilangkan kesulitan dan kesusahan, sehingga dibolehkan tidak berpuasa bagi musafir yang mengadakan perjalanan pada bulan Ramadhan.  
Ketiga,:
الـوصـف الـظاهـر الـمـنـضبط الـذى يــشــتـمل عـلى المـعـنى المـناسـب للحكم,
 yaitu suatu sifat yang jelas dan pasti yang memang pantas untuk dijadikan sebagai alasan dalam penetapan hukum.
            Menurut Abd al-Wahhâb Khallâf ‘illat adalah:
 الأمـرالظاهـرالذى رَبـَطَ به الـشَارع الـحكمُ وبـناه عـليه لأن مِن شـأن ربـطهِ بـِهِ وَبِـنَائِـه عليه تحـقـيـق حِكمة الـحكمِ 
Illat itu merupakan sesuatu yang jelas yang dijadikan oleh Syâri‘ sebagai tambatan hukum yang tujuannya adalah untuk merealisir hikmah yang terkandung dalam ketetapan hukum tersebut.14
Dalam ungkapan lain Khallâf15 menyebut ‘illat sebagai berikut:
 وأمـا عـلة الـحكم فهى الأمرالظـاهـرالمنضبـط الذى بُنِى الـحكمُ عـلـيه وَرَبَـطَ بـِهِ وجـودا وعـدمـا
Adapun yang disebut dengan ‘illat itu ialah sesuatu yang jelas dan akurat (teratur) yang dapat dijadikan dasar pembinaan dan tambatan hukum karena ada atau tidaknya ‘illat tersebut.
   Khallâf memberikan contoh dengan kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir. Adanya ketetapan hukum tentang bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir ‘illat-nya adalah safar (bepergian) itu sendiri. Karena inilah yang tampak dengan jelas (zhahir) dan akurat sebagai dasar tambatan hukum (مـناط للحكم). Sebab, jika tidak bepergian, maka tidak boleh meng-qashar shalat. Di sini, memang menimbulkan pertanyaan, yaitu kenapa safar (berpergian) yang dijadikan ‘illat bukan masyaqqat? Menurut Khallâf, bahwa adanya qashar shalat hukumnya adalah memberikan keringan dan menghilangkan kesulitan bagi musafir, sementara kesulitan itu sendiri sesuatu yang tidak pasti dan tidak mungkin dijadikan sebagai alasan penetapan hukum. Oleh karena itu, safar lebih tepat dijadikan sebagai ‘illat bolehnya meng-qashar shalat dan diakui bahwa memang dalam safar itu ada kesulitan.
   Di samping itu, menurut hemat penulis masyaqqat (kesulitan) itu sendiri berbeda-beda pada setiap orang dan sulit diukur dan dipastikan sehingga tidak mungkin untuk dijadikan ‘illat bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir. Untuk itu, safar (berpergian)-lah yang lebih pasti dan tepat dijadikan alasan (‘illat) penetapan hukum bolehnya musafir meng-qashar shalat.
Dari pengertian serta contoh yang diungkapkan oleh khalaf ini secara substansi tidak berbeda dengan Abu Zahra illat itu adalah sesuatu yang jelas, serta layak dan pantas untuk dijadikan sandaran atas ketetapan suatu hukum dalam upaya merealisasikan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan.
   Kemudian, Abd al-Karîm Zaidân16 dalam bukunya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh  menyebutkan definisi ‘illat sebagai:
وأن الـعـلـة هى الـوصف الظاهـرالمـنـضـبط الـذى بُـنِىَ عـَلَـيْهِ الحكم وَرَبـَطَ بهِ وُجُوْدًا وعـدمًـا  
Sesungguhnya ‘illat ialah suatu sifat yang jelas dan pasti yang dapat dijadikan sebagai dasar pembinaan dan pautan hukum, karena ada atau tidak adanya hukum terkait dengan ada dan  tidak adanya ‘illat.
Artinya, adanya hukum karena adanya ‘illat, sebaliknya ketiadaan hukum karena ketiadaan ‘illat. Inilah yang disebut oleh Abd al-Karîm Zaidân dengan ungkapannya:
أن الحكمَ يـوجـدُ مَتَى وُجِـَدِتْ عِـلَّـتُهُ وأن الحكمَ يـَنْـتَـفِى مَتىَ ماَ اِنْـتـَفَـتْ عِـلَّـتُهُ 
Dari sejumlah definisi atau pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa baik definisi-definisi yang ditemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik maupun kontemporer, sama-sama menyebutkan bahwa ‘illat itu merupakan sesuatu dan mendorong yang memberitahu atau sesuatu yang menjadi tambatan hukum. 
Akan tetapi, terdapat perbedaan antara rumusan ‘illat yang dikemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik dan kontemporer. Dalam buku-buku klasik ‘illat dirumuskan lebih melihat pada fungsinya dan tidak menyebutkan kriterianya, sehingga ‘illat dirumuskan dengan ungkapan bahwa ‘illat itu sesuatu yang memberitahukan, yang mendorong, yang menjadi motif dan atau yang menjadi pautan dan tambatan hukum. 
Sementara dalam pemikiran Ushul Fiqh kontemporer ‘illat dirumuskan bukan saja melihat pada fungsinya tetapi juga melihat pada kriterianya. Bahwa kriteria Illat itu selain berupa sifat yang mendorong atau motif dan yang menjadi pautan hukum dalam pensyariatan suatu hukum, hal-hal tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti sifat-sifat tersebut harus tegas, jelas dan memiliki keterikatan dengan maqashidu as-syariah yakni kemaslahatan dan meninggalkan kesulitan Hal ini dapat terlihat dalam buku-buku Ushul Fiqh karya Muhammad Abû Zahrah dan Zakî al-Dîn Sya‘bân, Abd al-Wahhâb Khallâf dan Abd al-Karîm Zaidân bahwa ‘illat dirumuskan secara lebih tegas, rinci dan jelas kriterianya serta dijelaskan pula sifat-sifat atau keadaan yang dapat dijadikan ‘illat dalam menetapkan hukum.
2. Syarat-syarat illat
Dari beberapa definisi yang diungkapkan diatas, Illat itu memiliki syarat-syarat tertentu, adapun yang mejadi syarat-syarat illat diatas adalah sebagai berikut :
1.      Harus merupakan sesuatu yang nyata dalam arti dapat diamati misalnya ;
a.       Kerelaan adalah dasar daripada perikatan, akan tetapi karena kerelaan adalah sesuatu yang sifatnya tidak dhahir maka kerelaan tidak bisa menjadi illat adanya perpindahan milik, yang merupakan sesuatu hal yang nyata dalam perpindahan milik adalah ijab qabul 
b.      Kesempurnaan Akal menjadi tanda baligh atau dewasa, akan tetapi karena kesempurnaan akal adalah sesuatu hal yang tersembunyi maka tidak bisa dijadikan illat, oleh karena itu yang menjadi illat kesempurnaan akal sebagai tanda kedewasaan adalah sampainya umur pada suatu taraf tertentu,
2.      Harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti tidak berbeda karena perbedaan orang, atau keadaan lingkungan. Misalnya :
a.       Pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, mengakibatkan terhapusnya hak waris, begitu juga pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh penerima washiyat terhadap penerima wasiat mengakibatkan terhapusnya wasiat
b.      Memabukan menjadi illat keharaman khamr karena keadaan pada dzatnya yang memabukan menurut adat, meskipun untuk orang-orang tertentu tidak memabukan hal ini tidak menyebabkan kehalalan khamar bagi orang yang tidak memabukan tadi.
3.      Harus ada kaitanya (munasabah) dengan hikmah hukum dalam arti ada hubungannya antara hukum dengan illat  dalam rangka menerapkan maqashid al-syari’ah. Misalnya : memabukan munasabah dengan keharaman khamr, karena keharaman khamar hikmahnya dalam rangka memelihara dan mengembangkan akal, oleh karena itu tidak tepat memberi illat dengan sifat-sifat yang tidak munasabah dengan hukum dan hikmahnya seperti keharaman khamar ini dengan illat warna khamar.
4.      Bukan sifat yang terdapat pada ashal saja, jadi illat itu harus berupa sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain pada ashal itu. Sebab maksud mencari illat pada ashal itu ialah untuk menerapkannya pada cabang. Oleh karena itu kalau illat itu hanya diperoleh pada ashal saja, maka tidak dapat dijadikan asas qiyas. Misalnya
a.       Hukum-hukum yang khusus bagi rasulullah saja tidak dapat dijadikan asas qiyas, seperti dibolehkannya menikahi perempuan lebih dari 4 orang dan mengawinin wanita-wanita tanpa mahar. Sebab dibolehkannya ialah kekhusuan kawin yang demikian itu hanya buat beliau sendiri.
b.      Tidak boleh menetapkan illat haramnya meminum khamr ialah karena ia minuman yang berasal dari perasan anggur yang sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang memabukan). Sebab kalau yang dijadikan illat, maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang tidak berasal dari perasan anggur. Dengan demikian jadilah minuman-minuman yang lain yang memabukan itu tidak haram meminumnya karena tidak dapat diqiyaskan kepada khamar yang jadi ashal qiyas.
5.      Tidak berlawanan dengan Nas, apabila berlawanan, nashlah yang didahulukan, karena kemashlahatan harus tidak bertentangan dengan dalil-dalil qath’iy oleh karena itu tidaklah benar memberikan sanksi kepada raja atau orang kaya yang membatalkan puasa karena hubungan biologis dengan puasa dua bulan berturut-turut karena dianggap mashlahat, tetapi sanksi tentang hal ini bertahap, pertama membebaskan budak, kalau tidak mampu diganti dengan puasa berturut-turut dan kalau tidak mampu juga baru memberi makan 60 orang fakir miskin 17 
   
3.    Perbedaan Antara Illat Dan Sebab
Sesuatu yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum itu ada yang dapat dipahami hubungannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan ada pula yang tidak. Terhadap yang dapat dipahami hubungannya antara apa yang menjadi alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka itulah yang disebut dengan ‘illat hukum.
Akan tetapi, terhadap yang tidak dapat dipahami hubungan antara apa yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan disebut dengan sebab (الــسـبـب). Pada dasarnya, baik ‘illat maupun sebab, keduanya sama-sama menjadi dasar atau alasan yang melatarbelakangi adanya ketetapan  hukum.
Abd al-Wahhâb Khallâfmenyebutkan bahwa sebagian ulama ushul tidak membedakan antara ‘illat dan sebab, karena pada dasarnya keduanya adalah satu. Pandangan seperti ini umumnya terlihat dalam pemikiran Ushul Fiqh klasik. Dalam pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf ‘illat dan sebab itu berbeda. Hal ini sebagaimana pernyataannya:
.. اذا كانـتْ المـناسـبـة فى هـذا الـربـط ممـا نُـدركـه عـقـولَـنَا سُـمِى الوصف العلة واذا كانت ممـا لانـدركه عُـقُـْولَـنَا سـُمِى الـسَّـــبَـبُ فَــقَـطْ وَلاَ يُـسَـمَّى العــلة.
Jika sesuatu yang menjadi tambatan hukum itu dapat dinalar oleh akal hubungannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka hal ini dinamakan dengan ‘illat. Akan tetapi, manakala tidak dapat dipahami oleh akal kita, maka hal demikian disebut dengan sebab dan tidak dinamakan dengan ‘illat. 18
            Khallâf19 memberikan contoh, “menyaksikan bulan sebagai sebab timbulnya kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan”. Hal ini tidaklah dinamakan ‘illat, melainkan sebab, karena tidak dapat dipahami bagaimana hubungannya antara menyaksikan bulan dengan adanya kewajiban puasa.  Dengan kata lain contoh yang dikemukakan oleh Abd al-Wahhâb Khallâf ini hanya bisa dipahami dari segi hubungan sebab-akibat. Artinya, dengan menyaksikan bulan, maka timbul kewajiban puasa. Contoh lainnya, misalnya terbenamnya mata hari  (ghurûb al-syams) di barat, maka timbulnya kewajiban shalat Maghrib adalah sebab, bukan ‘illat . jika sesuatu ketentuan hukum dapat dipahami secara logis hubungannya dengan hal yang melatarbelakangi penetapannya, maka hal demikian disebut dengan ‘illat. Akan tetapi, manakala suatu ketetapan hukum tidak dapat dipahami  hubungannya dengan sesuatu yang melatarbelakangi penetapannya -melainkan hanya sebab akibat- maka hal demikian disebut sebab.
Atas dasar ini, Abd al-Wahhâb Khallâf20 menjelaskan perbedaan ‘illat dengan sebab sebagai berikut:
 فــكل عــلة ســبـب و لـيـس كل ســـبـب عــلة
Setiap ‘illat itu adalah sebab, (tetapi) tidaklah semua sebab itu dapat disebut  ‘illat
4.    Perbedaan Antara Illat Dan Hikmah
Dalam point ini akan dibahas tentang perbedaan antara Illat hukum  dengan hikmah dari suatu hukum serta hubungan antara illat dan hikmah.
            Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum. Sehingga illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah sesuatu hal yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. dengan demikian Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
            Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan „illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak, mundhabith atau tidak.21 Jadi baginya „illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum. Misalnya, dalam bidang ibadah (shalat qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya itu „illatnya karena safr, sedangkan musyaqatnya merupakan hikmat
5.    Pembagian Illat
Didalam pemikiran ushul fiqih klasik dan kontemprer tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai pembagian illat ini, hanya perbedaan penggunaan istilah saja, misalnya  Imam al-Ghazâlî (w. 1111 M/505 H)22 di dalam kitabnya al-Mushtasfâ, menyebutkan bahwa ‘illat dilihat dari segi eksistensinya dapat dibedakan kepada dua macam yaitu,
1.‘illat yang didasarkan kepada dalil naqlî disebut dengan ‘illat  naqlîyah (عـلة الـنـقــلـية) dan ‘illat  yang  didasarkan pada tasyrî‘ atau disebut dengan
2‘illat mustanbathah (عـلـة المـســتـنـبـطة). Namun secara prinsip pemikiran ushul fiqih kontemporer pun berpendapat demikian, jika ushul fiqih klasik menyebutnya dengan illat naqli, maka ushul fiqih kontemporer menyebutnya illat manshushah, jika Ushul fiqih klasik menyebutnya illat tasyri maka ushul fiqih kontemporer menyebutnya illat mustanbathah,  untuk istilah ushul fiqih kontemporer ini seperti apa yang dikemukakan oleh Muhammad Mushthafâ Syalabî23 di dalam kitab Ta‘lîl al-Ahkâm, menyebutkan bahwa ‘illat bila dilihat dari segi eksistensinya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertama, disebut dengan ‘illat mansshûshah (عــلـةالـمـنــصوصـة) dan kedua disebut dengan ‘illat mustanbathah (عــلـة الــمـسـتـنـبـطـة) . namun substansinya adalah sama yakni ditunjukannya illat oleh nash atau tidak ditunjukannya illat oleh nash tersebut.
Menurut Mushthafâ Syalabî, bahwa ‘illat  mansshûshah adalah ‘illat yang disebutkan langsung oleh nash sebagai dasar pensyariatan hukum. Sedangkan ‘illat mustanbathah, ialah ‘illat yang tidak disebutkan oleh nash, ia diperoleh atau ditetapkan lewat proses tasyrî‘  dengan memperhatikan berbagai indikator atau kemungkinan yang berkaitan dengan pensyariatan suatu ketentuan hukum. Dengan kata lain ‘illat mustanbathah ini, keberadaannya ditetapkan berdasarkan ijtihad, yakni kira-kira apa yang paling pantas -dari berbagai kemungkinan- menjadi ‘illat dari suatu ketentuan hukum yang telah disyariatkan oleh Syâri‘ atau dari sesuatu yang akan ditetapkan hukumnya.
Berdasarkan hal diatas, Illat pada dasarnya dapat diklasifikasikan pada beberapa bagian bergantung pada bentuk pendekatannya. Ada dua pendekatan yang akan diuraikan pada bagian ini :
a.    Pembagian Illat ditinjau dari di I’tibarkan atau tidaknya oleh syari’at atau Allah Swt.
            Muhammad Abû Zahrah, membagi ‘illat kepada tiga macam bila dilihat dari segi ada dan tidaknya pengakuan Syâri‘, yaitu:1 munâsib mu`asstir (مـناسـب مــؤثـــر), kedua, munâsib mulâ`im (مـلائــم مــناسـب)  dan  munâsib mursal  (مــناســب مــرسـل). Sementara Abd al-Wahhâb Khallâf dan abd al-Karîm Zaidân menambahkan satu macam lagi, yang mereka sebut dengan munâsib mulghât (مــناسـب مــلغـاة)  24.
1.      Munâsib mu`asstir ialah ‘illat yang ditunjukkan oleh Syâri‘ bahwa ia yang menjadi dasar pensyari‘atan hukum, baik secara jelas maupun bentuk isyarat saja. Misalnya dapat kita lihat dalam surat al-jumu’ah ayat 9
يأيها الذين أمنوا إذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله و ذروا البيع ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
                        Perintah meninggalkan jual beli dikaitakan dengan adzan hari jum’at, yang berarti adzan itu yang dijadikan illat haram berjual beli karena dengan jual beli itu akan menggangu shalat jum’at, maka semua hal muamalah lainnya dapat diqiyaskan dengan jualbeli karena dapat mengganggu shalat jum’at, dan adzan sebagai illat hukum disebutkan dalam nash oleh syarat.
2.      Munâsib mulâ`im ialah ‘illat yang tidak dijelaskan dalam nash sebagai illat hukumnya, tetapi disebutkan pada nash lain sebagai illat bagi hukum yang serupa. Misalnya sabda nabi:
لايزوج البكر الصغيرة الاوليها
“tidak boleh menikahkan seorang gadis yang masih kecil kecuali walinya.
                        Disini tidak dijelaskan illat yang sebenarnya apakah karena gadisnya atau karena belum baligh karena keduanya dapat dijadikan illat. Menurut mazhab Hanafi yang menjadi Illat disini karena belum sempurnanya akal, sama halnya dengan anak belum baligh yang mempunyai harta harus diletakan dibawah pengawasan. Karena itu, setiap orang yang belum sempurna akalnya atau hilang akalnya diqiyaskan dengan gadis yang belum baligh. 
3.      Munâsib mursal ialah ‘illat yang sama sekali tidak dijelaskan oleh Syâri‘ (nash), tetapi ia merupakan suatu sifat yang patut dijadikan sebagai ‘illat dalam rangka untuk merealisir kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. dan inilah yang dikalangan ahli ushul disebut dengan al-Mashlahah Al-Mursalah. Contoh dalam hal ini seperti tidak sah akad nikah atau pernikahan kecuali bila umur si pengantin wanita 16 tahun dan si pengantin pria 18 tahun. 
4.      Munâsib mulghât. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah sesuatu sifat yang terlihat dengan jelas dan bisa dijadikan sebagai ‘illat untuk merealisir kemaslahatan, tetapi berlawanan dengan ketentuan lain yang menolaknya. Misalnya mempersamakan hak laki-laki dan anak perempuan adalah hal yang mashlahat tetapi ini ditolak oleh syariat dengan firmannya :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
                        Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
6.    Pembagian Illat ditinjau dari segi kemashlahatan
            Yang dimaksud dalam bagian ini adalah illat harus senantiasa mewujudkan kemashlahatan bagi manusia didunia maupun diakhirat karena kemashalahatan merupakan tujuan dari syariat. Berdasarkan penelitian terhadap berbagai aturan dalam islam, membuktikan bahwa kemashlahatan tersebut kembali kepada tiga hal yaitu mewujudkan hal-hal yang dharuri , hajiy dan tahsini bagi manusia.
a.       Dharuri
            Yang dimaksud dengan dharuri adalah sesuatu yang harus ada demi kemashlahatan agama dan dunia, dalam arti apabila hal-hal dharuri ini tidak bisa diwujudkan maka tata kehidupan manusia tidak akan mantaf bahkan kacau dan menimbulkan kemafsadatan. Dengan demikian hal yang dharury ini harus diwujudkan Hal yang dharuri ini ada lima yakni : Agama, jiwa, kehormatan, harta dan akal. untuk memelihara agama diwajibkan dakwah, beribadat dan aturan-aturan yang mengandung sanksi bagi perbuatan-perbuatan yang menunju kepada merusak agama. Untuk memelihara jiwa diwajiblan qishas bagi pelanggar, untuk memelihara kehormatan diri diperintahkan menikah dan diharamkan berbuat zina, untuk memelihara harta diwajibkan hukuman potong tangan terhadap pencuri dan diperintahkan bekerja dan untuk memelihara akal diharamkan meminum minuman keras.
b.      Hajiy
            Yang dimaksud dengan hajiy adalah mewujudkan segala hal yang memudahkan dan meringankan manusia didalam memikul tugas hidupnya, apabila tidak ada yang hajiyat, menyebabkan kesukaran, kesulitan dan kesempitan. Contoh hajiy misalnya diberi kemudahan(taisir) dalam kehidupan, diberi keringanan (tarkhis) dalam pembebanan taklif, dan kebolehan(mubah) demi mempermudah dalam kehidupan. Dengan kata lain yang termasuk hajiy disini adalah aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah-masalah rukhsah, lupa, kesalahan, terpaksa dan dipaksa.  
c.       Tahsini
            Yang dimaksud dengan tahsini adalah mewujudkan kesempurnaan dan kebaikan hidup yang hakikatnya kembali kepada akhlak yang luhur dan mulia serta kebiasaan-kebiasaan pergaulan yang terrpuji. Aturan-aturan yang berkaiatan dengan tahsini disini antara lain, shalat sunat, puasa sunat, cara makan dan minum , menutup aurat, adab dan sopan santun, dilarang melihat dan mendengar yang tidak baik.
            Pembagian ini untuk mengingatkan bagi yang mau menggunakan qiyas khususnya dan mujtahid umumnya dalam dua hal : pertama harus memperhatikan tartib atau skala prioritas didalam menghadapi kasus-kasus hukum. Jadi hal-hal yang dharuriy tidak bisa dikorbankan demi untuk menyelamatkan yang hajiy, dan yang hajiyyat tidak bisa dikorbankan demi memelihara yang tahsiniyat atau dengan kata lain yang tahsiniyat hanya bisa dikorbankan demi untuk memelihara yang hajiyat, dan yang hajiyat hanya bisa dikorbankan demi untuk memelihara yang dharuriyat, sebab tahsiniyat adalah penyempurna hajiyat, dan hajiyyat penyempurna dharuriyat.
            Kedua, setiap ketentuan hasil ijtihad yang memelihara dan tidak keluar dari dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat adlah mashlahat dalam arti sesuai dengan maqashid al-syari’ah, selama mashlahat itu bersifat umum, hakiki dan sejalan dengan al-aql-al-mustaqim[7]25
7.    Cara-Cara Mengetahui Illat
            Ada tiga cara yang masyhur untuk mengetahui Illat hukum yaitu dengan melalui nash, ijma dan as-Sabr wa Taqsim.26
a.    Dengan Nash. ‘Illat yang ditunjukkan oleh nash adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya tidak tegas atau dengan isyarat. ‘Illat yang ditunjukkan oleh Nash itu sendiri dengan memperhatikan kata-kata yang digunakannya seperti kata-kata, li alla, kay , li ajli seperti contoh ayat yang artinya ;
رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس على الله حجة بعد الرسل وكان الله عزيزا حكيما (النساء : 165)
“(Mereka kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu”.(an-Nisa’ ayat 165)
كى لايكون دولة بين الأغنياء منكم
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
Adapun ‘illatnya dengan isyarat seperti dalam hadits Nabi SAW berikut ini;
لا يقضى القا ضى و هو غضا ن
“Tidak boleh seseorang hakim menjatuhkan hukuman ketika sedang marah”
b.    Dengan Ijma’. Apabila Ijma’ itu qath’iy. Dan sampainya kepada kita juga qath’i dan adanya ‘illat itu dalam cabang juga demikian, serta tidak ada dalil yang menantangnya, maka hukumnya qath’i. Apabila tidak demikian halnya hukumnya bernilai dhanni.
Contoh ‘illat yang diketahui melalui ijma’ seperti mendahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari pada sudara laki-laki sebapak dalam warisan karena talian kekerabatan ibu. Dengan qiyas pula didahulukan anak paman seibu sebapak dari anak paman sebapak, anak saudara laki-laki seibu sebapak dari anak saudara laki-laki sebapak. Dengan qiyas pula didahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari saudara laki-laki sebapak dalam perwalian nikah.
c.    Dengan al-Sabr wa al-Taqsim.Yaitu dengan cara mencari dan meneliti ‘illat yang paling tepat diantara beberapa kemungkinan ‘illat . Ini adalah pekerjaan seorang mujtahid dalam memilih mana yang paling tepat menjadi ‘illat. Untuk mengetahui ‘illat seperti itu sudah tentu diperlukan suatu pemahaman yang mendalam baik tentang sistem hukum Islam secara keseluruhan, maksud syara’ maupun perinciannya disamping diperlukan ketajaman berpikir. Selain itu pada sebagai ahli ushul dikenal pula istilah :
d.   Takhrijul al-Manath. Takhrij al-manath adalah mencari dan mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila illat tidak diketahui baik dengan nash ataupun ijma. Contoh seperti pembunuhan yang yang diancam dengan sanksi qishas adalah pembunuhan sengaja dengan menggunakan alat-alat yang biasanya mematikan manusia, maka diqiyaskan kepada alat ini segala alat yang mematikan manusia , maka diqiyaskan kepada alat ini segala alat yang bisa mematikan, baik yang digunakan pada masa rasulullah ataupun tidak. 
e.    Tanqihul al- Manath. Tanqihul manath adalam membersihkan dan menetapkan satu illat dari illat lain yang sama, misalnya seperti orang yang membatalkan puasa ramadhan dengan jima diancam dengan sanksi: membebaskan budak, apabila tidak sanggup/ada 2 )harus puasa dua bulan berturut-turut dan apabila tidak sanggup puasa, harus 3) memberikan makan sebanyak 60 orang miskin.
Dalam hal ini timbul suatu pertanyaan apakah illatnya karena mengadakan hubungan kelamin pada bulan ramdhan atau karena membatalkan puasanya sendiri. Pada zatnya, melakukan hubungan kelamin dengan istrinya adalah karena merusak kemulyaan bulan ramdhan dan didalam hal ini dengans setiap cara yang membatalkan puasa karena itu jelas bahwa membatalkan puasa dengan sengaja adalah sebab adanya sanksi tadi.
f.     Tahqiq al al-manath. Tahqiq al-manath penerpapan dari satu illat yang telah diketahui terhadap beberapa kasus. Misalnya telah disepakati bahwa memabukan itu adalah illat dari minuman-minuman yang haram. Akan tetapi penerapan didalam minuman yang memabukan yang bermacam-macam membutuhkan ijtihad ahli. Demikian pula persaksian yang adil akan tetapi untuk menentukan keadilan membutuhkan ijtihad.





DAFTAR PUSTAKA

 Abd al-Fattâh Muhammad Abû al-‘Inain, al-Qadhâ wa al-Istbât fî al-Fiqh al-Islâmî, Kairo: t.pn, 1983,
Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj,
Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, Beirut: Muassasah Ar Risalah
Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî mâ lâ Nashsh fîh, .
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,
Abû Yahyâ Zakarîya al-Anshârî, Ghâyat al-Wushûl: Syarh Lubb al-Uhul, Surabaya: t.pn, t.t,
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres Yogyakarta, 1984,
Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîst terj. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Lansyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998,
Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia,
Al-Sya‘rânî, al-Mizân al-Qubrâ jil. II, Kairo: Dâr al-Fikr li al-Tibâ‘ah wa al-Nasyr, t.t,.
Ghazâlî, Al-Mustasfâ, Madinah, t.pn, t.t
Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam, Purna Siswa Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Jawa Timur, 2008
Ghazâlî, Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân wa Masâlik al-Ta‘lîl, Baghdad: Matba‘ah al-Irsyad, 1971,.
Ibn al-Subkî, Syarh Matan Jâmi‘ al–Jawâmi‘,
Jalaluddin Rahmat, "Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar" dalam: Iqbal Abdurrauf Saimina (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Latifah Prees, Tasikmalaya, 2004
Luis Ma`lûf, al-Munjid fî al-Lughat wa al-Adâb wa al-Ulû,Beirut: al-Matba‘at al-Katsûlikîyah, 1956,
Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqânî, Al-Madkhal Ilâ Ushûl al-Fiqh al-Mâlikî,. 
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Al Khabariyah Al Kubra, 1969
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Pustaka Rizki Putra, Smarang 2001
Muhammad Wafâ, Dilâlat al-Khithâb al-Syar‘î ‘ala Hukm al-Manthûq wa al-Mafhûm, Kairo: Dâr al-Tibâ‘ah al-Muhammadîyah, 1981,
Prof.Drs .H. A.Djazuli dan Prof.Dr. I Nurol Aen M.A. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. 2000. Jakarta : Rajawali Press. Hal. 139-140.
Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Drs. Fathuraahman. Dasar-dasar pembinaan hukum islam. 1986 Bandung : Al-ma’arif Cet. 10.
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah jil. III, Beirut: Dâar al-Kitâb al-Arabî, 1973,.
Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî,


[1] Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam, Purna Siswa Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Jawa Timur, 2008, hlm. 6-7
[2] http://www.cantiknya-ilmu.co.cc/2011/01/islamic-studies.html
[3] Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam, hlm. 7-8
[4] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Latifah Prees, Tasikmalaya, 2004, hlm. 59-61
[5] Forum Karya Ilmiah Lirbyo, Kilas Balik teoritis Fikih Islam, hlm. 207-210
[6] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, hlm. 63-64
2 Luis Ma`lûf, al-Munjid fî al-Lughat wa al-Adâb wa al-Ulûm (Beirut: al-Matba‘at al-Katsûlikîyah, 1956), h. 523
3   Muhammad al-Jurjânî,  Kitâb al-Ta‘rîfât, ( Singapore-Jeddah: tt),  h. 154
4   Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîst terj. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Lansyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 363-364
5  Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ, h. 395.
6  ibid
7 Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqânî, Al-Madkhal Ilâ Ushûl al-Fiqh al-Mâlikî, h. 112. 
8 Muhammad Mushthafâ Syalabî,  Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 117.
9 Abû Yahyâ Zakarîya al-Anshârî, Ghâyat al-Wushûl: Syarh Lubb al-Uhul (Surabaya: t.pn, t.t), h. 144.
10 Shâdiq Hasan Khan, Mukhtashar Hushûl al-Ma‘mûl Min ‘Ilm al-Ushûl (Kairo: Dâr al- Shahwah, 1403), h. 106-108.
11 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 237.
12 ibid , h. 237.
13 Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, h. 131-132.
14 Abd al-Wahab Khalaf, Mashâdir alTasyrî’ al-Islâmi, h. 49-50.
15 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 65.
16 Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 201-202.
17 Prof.Drs .H. A.Djazuli dan Prof.Dr. I Nurol Aen M.A. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. 2000. Jakarta : Rajawali Press. Hal. 139-140. Lihat juga Prof.Dr. Mukhtar Yahya dan Prof.Drs. Fathuraahman. Dasar-dasar pembinaan hukum islam. 1986 Bandung : Al-ma’arif Cet. 10. Hal 86-88
18 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 67-68.
19 Contoh ini termuat dalam QS. al-Baqarah/2:185.
20 Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 68.
21 Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt, hlm. 185.
22 Al-Ghazâlî, Al-Mushtasfâ, h. 425-435. Lihat juga Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj, h. 60
23 Muhammad Mushthafâ Syalabî, Ta‘lîl al-Ahkâm, h. 64-65
24 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 241-243, Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 52-56, Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 207-210.
25 Prof.Drs .H. A.Djazuli dan Prof.Dr. I Nurol Aen M.A. op cit . Hal. 146-148 dan Charul Umam dkk, Ushul Fiqih 1. 200. Bandung : Pustaka Setia.hal 110-112
26 Prof.Drs .H. A.Djazuli dan Prof.Dr. I Nurol Aen M.A. op cit . Hal. 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar