Salah satu
fungsi filsafat ilmu adalah bertugas memberi landasan filosofis untuk minimal
memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, sampai membekalkan
kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara
substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin
ilmu agar dapat menampilkan substantif.
Filsafat Ilmu
memiliki cabang-cabang utama ataupun dasar-dasar utama filsafat ilmu yaitu
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga cabang ataupun dasar-dasar utama
ini sangat menentukan sikap atau pendirian dari masing-masing ilmuan. Pendirian
ilmuan tersebut sangat menentukan bagi strategi pengembangan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba untuk menguraikan
satu persatu landasan tersebut, yang menjadi pembahasan dalam kajian ini.
Filsafat Ilmu memiliki cabang-cabang
utama ataupun dasar-dasar utama yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Tafsir, ketiga cabang ini sebenarnya
merupakan satu kesatuan. Ontologi membicarakan hakikat segala sesuatu,
Epistemologi membicarakan cara memperoleh pengetahuan dan Aksiologi
membicarakan kegunaan pengetahuan.[1]
1.
Ontologi
Di antara lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno adalah Ontologi sebab persoalan paling awal dalam
permulaan pemikiran Yunani adalah pemikiran di bidang Ontologi. Pemikiran
paling tua dalam kaitannya dengan Ontologi adalah pemikiran Thales atas air yang
adalah merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala
sesuatu.[2]
Kata Ontologi berasal dari perkataan
Yunani : On = ada, dan logos = teori. Jadi Ontologi adalah teori tentang
keberadaan atau dalam Istilah lain Ontologi berasal dari kata Ontos yang
artinya adalah “sesuatu yang berwujud” dan logos adalah teori. Jadi ontologi
adalah teori tentang yang ada,[3] dalam kata lain ontologi adalah teori tentang hakikat wujud, tentang
hakikat yang ada.[4]
Berbicara secara panjang lebar
tentang Ontologi orang akan menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan
hakikat dari segala yang ada ini ? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya
dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan
yang kedua, kenyataan yang berupa rohani (jiwa).
Pendapat senada dikemukakan oleh
Noeng Muhadjir, yang menyatakan bahwa Ontologi obyek bahasannya adalah yang
ada. Study tentang yang ada pada dataran study filsafat pada umumnya dilakukan
oleh filsafat metafisika. Ontologi membahas tentang yang ada yang tidak terikat
oleh suatu perwujudan tertentu; yang universal; dan berupaya mencari inti yang
termuat dalam kenyataan atau yang meliputi semua realita dalam semua bentuknya.[5]
Sementara itu Jujun S. Suriasumantri,
menyatakan bahwa Ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang ada. Atau sebagaimana Jujun sebutkan, Ontologi sama dengan hakikat apa
yang dikaji.[6]
Dari beberapa penjelasan tersebut di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya berbicara tentang
Ontologi adalah berbicara tentang hakikat ataupun kenyataan (realita) sesuatu
yang ada, baik yang jasmani maupun yang rohani. Hanya saja yang menjadi
persoalan adalah pembicaraan tentang hakikat ataupun kenyataan (realita)
sesuatu sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
Hakikat adalah realitas; realitas adalah ke-real-an. Riil artinya kenyataan
yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya tentang sesuatu,
bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu.
Dari pembahasan di atas maka dapatlah
disimpulkan bahwa obyek formal dari Ontologi adalah hakikat selurh realita.
Untuk melihat hakikat realitas, Noeng Muhadjir menyatakan bahwa ada dua
pendekatan yang dilakukan oleh para filosof yaitu pendekatan Kuantitatif dan
pendekatan kualitatif. Pendekatan Kuantitatif ini realitas tampil dalam
kuantitas atau jumlah. Dalam hal ini telaahnya akan menjadi telaah: Monoisme,
Paralelisme/Dualisme dan Pluralisme. Pendekatan Kualitatif. Pendekatan ini,
realitas akan tampil tidak dalam bentuk jumlah, tetapi dalam bentuk kualitas.
Pendekatan ini melahirkan aliran-aliran Materialisme, Idealisme, naturalism,
Hylomorfisme.
Sebagai mana
yang telah diketahui, Filsafat Ilmu dalam kajiannya memiliki kajian objek
material dan objek formal tersendiri. Objek material atau pokok pembahasan
dalam Filsafat Ilmu adalah Ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu Ilmu yang telah
disusun secara sistematis dengan metode Ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Disini terlihat jelas perbedaan
antara pengetahuan dengan Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan itu bersifat umum dan
didasarkan atas pengalaman sehari-hari, sedangkan Ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan yang bersifat khusus dengan ciri-ciri sistematis, metode ilmiah
tertentu serta dapat diuji kebenarannya. Semua manusia terlibat dengan
pengetahuan sejauh ia hidup secara normal dengan perangkat indrawi yang
dimilikinya, namun tidak semua orang terlibat terhadap pengetahuan Ilmiah,
karena ada persyaratan yang harus dimiliki seorang ilmuan.
Persyaratan-persyaratan itu meliputi antara lain : Prosedural Ilmiah, Metode
Ilmiah yang dipergunakan, diakui secara akademis, ilmuan harus memiliki
kejujuran ilmiah.
Objek pormal Filsafat
Ilmu adalah Hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih
menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti :
apa hakikat Ilmu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa
pungsi kebenaran ilmiah itu bagi manusia? Problem inilah yang dibicarajan dalam
landasan atau kontruksi pembangunan ilmu pengetahuan, yani landasan Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi. Dan apabila disekemakan Kontruksi ilmu dapat
digambarkan sebagai mana dibawah ini.
Landasan ontologi pengembangan ilmu
artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas sikap dan
pendirian ilmuan, sikap atau pendirian ilmuan secara garis besar dapat
dibedakan kedalam dua aliran besar yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan yaitu Materialisme dan Spritualisme.
Spritualisme adalah suatu pandangan metafisika
yang menganggap bahwa tidak ada hal yang nyata selain materi. Bahkan fikiran
dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada
unsure-unsur fisik. Materi adalah sesuatu hal yang dapat kelihatan, dapat
diraba, berbentuk dan menempati ruang. Spiritualisme
adalah suatu pandangan metafisika yang menganggap kenyataan yang terdalam
adalah roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.
Pengembangan ilmu yang berdasarkan
pada materialisme cendrung pada ilmu-ilmu kealaman. Dalam perkembanagn ilmu
modern, aliran ini disuarakan oleh positivisme. Sedangkan spiritualisme
cenderung pada ilmu-ilmu kerohanian dan menganggap bidang ilmunya sebagai wadah
utama bagi titik tolak pengembangan bidang-bidang ilmu lain. Jadi landasan
Ontologis ilmu pengetahuan tergantung pada cara pandang ilmuan terhadap
realitas. Manakala realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada
ilmu-ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka
lebih terarah pada ilmu-ilmu humaniora.
Landasan epistemologis pengembagan
ilmu artinya titik tolak penenlaahan ilmu
pengetahuan didasarkan atas cara dan produser dalam memeperoleh
kebenaran. Dalam hal ini yang dimaksud adalah metode ilmiah. Metode ilmiah
dalam garis besar dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu siklus empirik untuk
ilmu-ilmu kealaman, dan metode linier untuk ilmu-ilmu sosial-humaniora. Cara
kerja metode siklus-empirik meliputi observasi, penerapan metode induksi,
melakukan eksperimentasi (percobaan), vertifikasi atau pengujian ulang terhadap
hipotesis yang di ajukan, sehingga melahirkan sebuah teori. Sedangkan cara
kerja metode linier meliputi langkah-langkah antara lain: persepsi yaitu
penangkap indrawi terhadap realitas yang diamati, kemudian disusun sebuah
pengertian (kensepsi), akhirnya di lakukan prediksi atau pengamalan tentang
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dimsa depan.
Landasan aksiologis pengembangan ilmu
merupakan sikap etis yang harus di
kembangkan oleh seorang ilmuan, terutama dalam kaitannya dengan
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Sehingga suatu aktivitas ilmiah
senantiasa dikaitan dengan kepercayaan, ideologi yang dianut oleh masyarakat
atau bangsa, tempat ilmu itu di kembangkan.[7]
2.
Epistemologi
Salah satu dari cabang filsafat Ilmu
adalah Epistemologi atau teori pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan dari
bahasa yunani, “epistemi” dan “logy”. Epistemi artinya pengetahuan
sedangkan logy berarti teori,[8] (dalam istilah
lain; Episteme artinya Pengetahuan dan logos artinya teori), dengan
demikian secara etimologi Epistemologi
adalah teori pengetahuan.[9] Epistemologi adalah
analisis terhadap sumber-sumber pengetahuan.[10]
Objek
material Epistemologi adalah Pengetahuan, sedangkan objek Formalnya adalah
Hakikat pengetahuan, Persoalan lain yang dikaji dalam Epistemologi
diantara adalah berkisar pada masalah :
asal usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubuangan
pengetahuan dengan keniscayaan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran.[11]
Disamping itu pula perbincangan
penting dalam epistemologi juga terkait dengan jenis yaitu pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah memiliki beberapa cirri pengenal sebagai berikut.
(1) Berlaku umum,
artinya jawaban atas pertanyaan apakah sesuatu hal itu layak atau tidak layak, tergantung pada
faktor-faktor subjektif.
(2)
Mempunyai kedudukan mandiri (otonomi), artinya
meskipun faktor-faktor di luar ilmu juga ikut berpengaruh, tetapi harus di
upayakan agar tidak menghentikan pengembangan ilmu secara mandiri.
(3)
Mempunyai dasar pembenaran, artinya cara kerja ilmiah
diarahkan untuk memperoleh derajat kepastian yang sebesar mungkin.
(4)
Sistematik, artinya ada sistem dalam susunan
pengetahuan dan dalam cara memperolehnya.
(5) Intersubjektif,
artinya kepastian pengetahuan ilmiah tidaklah didasarkan atas intuisi-intiusi
serta pemahaman-pemahaman secara subjektif, melainkan dijamin oleh sistemnya
itu sendiri.
Pengetahuan
merupakan suatu aktifitas yang dilakukan untuk memperoleh kebenaran.
Pengetahuan
dipandang dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat dibedakan sebagai berikut.
(1)
Pengetahuan biasa (ordinary knowledge/Common sense
knowledge). Pengetahuan seperti ini bersifat subjektif, artinya amat terikat
pada subjek yang mengenal. Dangan demikian, pengetahuan jenis pertama ini
memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan itu
bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
(2)
Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah
menetapkan objek yang khas atau spesifik dangan menerapkan pendekatan
metodologi yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan
di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan
ilmiah bersipat relatif, karena kandungan kebenaran jenis pengetahuan ilmiah selalu
mendapatkan revisi dan di perkaya oleh hasil penermuan yang paling mutahir.
Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami
pembaharuan sesuai hasil penelitian yang paling akhir dan medapatkan
persetujuan (agreement) oleh para ilmuan sejenis.
(3)
Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang
pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat. Sifat pengetahuan ini
mendasar dan menyeluruh dengaa model pemikiran yang analistis, kritis, dan
spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah
nilai kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu
merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan dari seorang filsuf serta
selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi
pemikiran yang sama pula.
(4)
Pengetahuan agama yaitu jenis pengetahuan yang
didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu.pengetahuan agama memiliki
sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu didasarkan pada
keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat
kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang di
gunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna dari kandungan kitab suci itu
dapat berkembang secara dinamiksesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi
kandungan maksud dari ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya
absolute.
Pengetahuan
dipandang atas dasar kriteria-kriterianya dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Pengetahuan
Indrawi; yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas indra (sense) atau
pengalaman manusia sehari-hari.
2. Pengetahuan Akal
Budi; yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan rasio.
3. Pengetahuan
Intuitif; jenis pengetahuan yang memuat pemahaman dengan cepat. Intuisi, ujar
Archi Bahm adalah nama yang kita berikan pada cara pemahaman kesadaran ketika
pemahaman itu berujud menampak langsung. Ia menegaskan bahwa tidak ada
peng-intuisi-an tanpa melibatkan kesadaran, demikian sebaliknya.
4. Pengetahuan
kepercayaan atau pengetahuan otoritatif; yaitu jenis pengetahuan yang dibangun
atas dasar kredibilitas seseorang tokoh atau sekelompok orang yang dianggap
propesional dalam bidangnya.
Oleh karena itu, Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut
yang diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain sebagainya mempunyai
metode tersendiri dalam teori pengatahuan. Ada sejumlah teori untuk
mendapatkannya antara lain :
1.
Metode Induktif
Metode Induktif yaitu suatu metode
yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu
pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima,
ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut
induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran
mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada
pernyataan-pernyataan universal.
2. Metode
Deduktif
Metode
Deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut . Hal-hal yang harus ada
dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori
tersebut.
3.
Metode Positivisme
Metode
ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857 M). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala
uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja. Menurutnya perkembangan
pemikiran manusia itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu : tahap teologis,
tahap metafisis dan tahap positivistis.
4.
Metode Kontemplatif
Metode
ini mengatakan adanya keterbatasn indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga obyek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda harusnya
dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti
yang dilakukan oleh Al-Ghozali.
5. Metode
Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula
berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini
diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini
dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan
metode-metode penuturan, juga analisis sistemik tentang ide-ide untuk mencapai
apa yang terkandung dalam pandangan.
3.
Aksiologi
Untuk mengenal apa yang dimaksud
dengan Aksiologi, penulis akan menguraikan beberapa definisi tentang
aksiologi ; Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Jadi Aksiologi adalah teori tentang nilai.
Sedangkan arti Aksiologi yang terdapat dalam bukunya Jujun S.
Suriasumantri, bahwa aksiologi diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Aksiologi disamakan dengan
Value dan Valuation yang artinya Nilai baik sebagai kata benda abstrak, kata
benda konkrit maupun kata kerja. Dari beberapa definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalaaaahan sesungguhnya adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori nilai mencakup dua cabag
filsafat yang cukup terkenal : Etika dan Estetika. Yang pertama
membicarakan soal baik dan buruk dan yang kedua membicarakan indah dan tidak
indah.[12] Dalam keterangan lain Etika
mengandung tiga pengertian; Pertama: Kata etika dapat dipakai dalam arti
nilai-nilai atau norma-norma moral. Kedua: kumpulan asas atau nilai
moral. Misalnya kode etik. Ketiga: merupakan ilmu tentang yang baik dan
yang buruk.[13]
Objek material etika adalah tingkah
laku atau perbuatan manusia. Pebuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas.
Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak
bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan
secara tidak sadar dan tidak bebas dapat di kenai penilaian bermoral atau tidak
bermoral.
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki
tentang tingkah laku moral dapat dihampiri berdasarkan atas tiga macam
pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan Mateatika.
Etika deskriptif adalah cara
melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan
tentang baik atau buruk, tindakan yang diperoleh atau tidak. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur
tertentu. Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apa
pun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifa netral. Misalnya:
Penggambaran tentang adat mengayau pada suku primitif.
Etika normatif mendasarkan
pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang di terima seseorang
atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu
benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang di maksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penuntunan dalam mengambil keputusan yang menyangkut
baik atau buruk. Etika normatif ini dibagi menjadi dua yaitu:
(1) Etika umum, yang
menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang dimaksud norma etis? Mengapa
norma moral mengikat kita? Mana hubungan antara tanggungjawab dengan kebebasan?
(2) Etika khusus,
upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke dalam prilaku manusia yang
khusus. Etika khusus juga dinamakan etika terapan.
Bagian lain etika adalah metaetika,
yaitu kajian etika yang di tujukan pada ungkapan-ungkapan etis. Bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan
dalam bidang moral dikaji secara logis. Metaetika menganalisis logika perbuatan
dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”.
Lorens Bagus memerinci pandangan
beberapa filsuf mengenai teori etika antara lain:
(1) Socrates
beranggapan bahwa menderita selalu lebih baik dari pada berbuat jahat. Ia
mengajukan suatu pandangan yang tidak melihat akibat-akibat, melainkan pada
prinsip batin.
(2) Plato memandang
yang baik sebagai suatu forma eternal yang harus direalisir dalam kehidupan
manusia.
(3) Aristoteles,
tujuan hidup manusia ialah kebahagiaan atau eudaimonia (kesejahteraan,
kesentosaan). Kebaikan dapat di temukan dengan mencari jalan engah Emas (Via
Mebia Aura).
(4) Immanuel Khan
teiri etikanya berdasarkan prinsip yang muncul dari ide hukum dan menuju
imferatif kategoris dan praktis.
(5) Bentham
memandang bahwa tujuan yang harus dicapai adalah kebaikan terbesar ut5uk jmlah
terbesar. Hedonisme merupakan cara untuk memahami yang baik.
(6) Nietzsche
beranggapan bahwa tujuan kehidupan adalah kehendak untuk berkuasa (wille zur
macht) dan ini harus diterjemahkan ke dalam kesempurnaan yang melebihi
dimensi-dimensi biasa dabi kebaikan dan keburukan.
Etika tidak hanya berkutat pada
hal-hal teoritis, namun juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena
itu ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
kehidupan konkret, yaitu:
(1) Perkembangan
hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan manusia pada sekian
banyak pandangan moral yang bermacam-macam, sehingga diperlukan refleksi kritis
dari bidang etika. Contoh: Etika Medis tentang masalah abortus, bayi tabung dan
lain-lain.
(2) Gelombang
modernisasi yang melanda di segala bidang kehidupan masyaraakat, sehingga cara
berpikir masyarakat pun ikut berubah. Misalnya :cara berpakaian, kebutuhan
fasilitas hidup modern,dan lain-lain.
(3) Etika juga
menjadikan kita sanggup menghadapi ideologi-ideologi asing yang perebutan
mempengaruhi kehidupan kita, agar tidak mudah terpancing. Artinya kita tidak
boleh tergesa-gesa memeluk pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula
tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.
(4) Etika diperlukan
oleh penganut agama manapun untuk
menemukan dasar kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas
wawasan terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.
Dengandemikian Aksiologi,
epistimologi, dan aksiologi (khususnya etika) merupakan cabang utama filsafat
Ilmu yang terkait dengan realitas kehidupan manusia, termasuk perkemkangan ilmu
pengetahuan.
KESIMPULAN
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
adalah merupakan cabang-cabang dan dasar-dasar utama dari pada Filsafat Ilmu,
oleh karena itu maka setiap berbicara tentang Filsafat Ilmu pastilah salah
satunya membicarakan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
Ontologi
adalah lapangan penyelidikan kefilsafat paling kuno dalam sejarah peradaban
umat manusia. Ontologi berbicara tentang hakekat ataupun kenyataan (realita)
sesuatu yang ada baik yang jasmani maupun yang rohani. Landasan Ontologis
merupakan landasan pengembangan ilmu berkaitan dengan hakikat ilmu, sebab
secara ontologism, ilmu mengkaji realitas sebagaimana adanya (das sein).
Epistemologi
adalah membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Adapun cara untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode induktif,
deduktif, positivistic, kontemplatif dan dialektis. Landasan epistemologis ilmu
berkaitan dengan aspek-aspek metodologis ilmu dan sarana berfikirilmiah.
Aksiologi adalah berbicara tentang nilai.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi haruslah diberi nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Persoalan
utama yang mengedepankan di sini ialah: apa manfaat ilmu bagi umat manusia?
Untuk apa ilmu itu digunakan? Apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak? Dalam hal
ini nilai kegunaan ilmu menempati posisi yang sangat penting. Dapatkah ilmu
membantu manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari
atau justru sebaliknya?
Pengembangan
ketiga landasan ilmu pengetahuan ini akan melahirkan sifat kebijaksanaan ilmuan
dalam menerapkan ilmunya di masyarakat. Sebab apapun halnya, sulit bagi
masyarakat untuk menerima kenyataan bahwa produk ilmiah malah menyengsarakan
dan merugikan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu
(Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan),
Rosda Cet Pertama Bandung 2004
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (akal
dan hati sejak Thales sampai Capra),
Rosda Karya, Bandung 2010
Atang
Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (dari metologi sampai
teofilosofi), Pustaka Setia, Bandung 2008
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum
Islam,
Latifah Fress, Tasik Malaya 2004, hlm
19
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika,
Kencana, Ed. Ke 1 Cet. 3, Jakarta
2008
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan Cet Kedelapan
Belas, Bandung 2005
Nung Muhajir, Filsafat Ilmu,
Rake Carrasin, Yogya 2001
Rizal Mustansir, Misnar Munir, Filsafat
Ilmu, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, Cetakan III 2003
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (mengurai Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Pengetahuan), Rosda Cet Pertama Bandung 2004, hlm 69
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (akal dan hati sejak Thales sampai
Capra), Rosda Karya, Bandung 2010, hlm 29
[3] Rizal Mustansir, Misnar Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta 2003, hlm 11
[4] Juhaya S. Praja, Filsafat
Hukum Islam, Latifah Fress, Tasik Malaya 2004, hlm 19
[5] Nung Muhajir, Filsafat Ilmu, Rake Carrasin, Yogya 2001, hlm 57
[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan Cet Kedelapan Belas, Bandung 2005, hlm 63
[8] Juhaya S. Praja,
Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Kencana, Ed. Ke 1 Cet. 3, Jakarta 2008,
hlm 87
[10] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani,
Filsafat Umum (dari metologi sampai teofilosofi), Pustaka Setia, Bandung 2008,
hlm 22
[11] Ibid, hlm 17
[12] Juhaya, Aliran-aliran Filsafat dan Etika,
hlm 59 dan 68
[13] Mustansir, Munir, hlm 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar