Cogito Ergo Sum

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Jumat, 19 September 2014

Epistemologi Hukum Islam Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah dan Persatuan Islam


  Oleh : Supriyatin, M.Ag

Dosen STIT Sirojul Falah Bogor

Epistemologi hukum Islam, sebagai sistem teori pengetahuan memiliki sub sistem yang dinamakan metodelogi hukum Islam sebagai perwujudan oprasionalnya. Berbicara metodelogi, berarti berbicara prinsip-prinsip (termasuk didalamnya asumsi dasar dan sumber hukum Islam), metode pendekatan, proses serta prosedural bagaimana hukum Islam (fiqh) ditetapkan. Dengan demikian, mengkaji kontruksi epistemologi hukum Islam NU, Muhammadiyah dan PERSIS berarti berbicara tentang konsep-konsep teoritis mengenai proses dan prosedural yang digunakan oleh ketiga ormas tersebut (mujtahid atau mustanbit jam’iy) dalam melakukan aktifitas penetapan hukum Islam. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi tradisionalis dan akomodasionalis yang lebih cendrung menekankan kepada praktek-praktek yang direkomendasikan oleh para ulama terdahulu (klasik) dan menetapkan diri sebagai pengawas tradisi dengan mempertahankan paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), yang dalam aqidah mengikuti salah satu dari imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam ‘ubudiyah mengikuti salah satu Imam mazhab empat; Abu Hanifah, Annas Ibn Malik, Muhammad al-Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambal. Sedangkan dalam bertasawuf megikuti salah satu dua imam: Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Konsep Aswaja tersebut dipahami oleh NU sebagai “cara berpikir” (manhaj al-fikr). Menurut pandangan NU, sistem bermazhab pada hakikatnya tidak mempertentangkan antara sistem ijtihad dan taqlid, tetapi merangkaikan keduanya pada satu porsi yang serasi. Bermazhab bisa dikatakan sebagai “kendali”. Tokoh-tokoh yang hebat sekalipun, dalam ijtihadnya masih harus dikendalikan dengan metode-metode dan kaidah-kaidah tertentu yang disebut bermazhab. Oleh karena itu, landasan Aswaja sebagai manhaj fikr yang didalamnya terdapat konsep bermazhab terhadap Imam mazhab tersebut merupakan kontruksi awal terbentuknya metodelogi hukum Islam NU dalam penetapan hukum Islam yaitu, dalam menjawab permasalahan hukum secara sistematis NU menggunakan tiga metode, yakni qawliy, ilhaqi dan manhaji. Metode qawliy adalah suatu cara istinbat hukum dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari madzhab empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya.. Metode ilhaqi (ilhaq al-masa’il bi nazha’iriha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/ masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus / masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi. Sedangkan metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah-kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Berbeda halnya dengan NU, Muhammadiyah ditempatkan oleh keluarga Muhammadiyah sendiri atau oleh orang luar Muhammadiyah sebagai orgaisasi keagamaaan yang ciri utamanya adalah gerakan tajdid, berkarakteristikan moderenis. Menyerukan ajakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, menggalakkan ijtihad dan memusatkan perhatian pada masalah-masalah agama tanpa terikat dengan otoritas mazhab. Hal tersebut terlihat ketika Muhammadiyah memiliki konsep paradigma pemikiran keagamaan (sikap dasar keagamaan secara umum) tersendiri yang tercermin dalam “Mabadi’ Al-Khamsah” atau “Masalah Lima” yang meliputi : (1) Pengertian agama (Islam atau al-Din), ( 2). Pengertian Dunia (al-Dunya), (3). Pengertian Ibadah (al-‘Ibadah), (4). Pengertian Sabilillah, dan (5). Pengertian Qiyas (al-Qiyas). Paradigma inilah sebenarnya yang melandasi gerakan aksentuasi keagamaan, intelektual dan pengembangan ilmu di Muhammadiyah. Artinya, pengembangan pemikiran keagamaan dan intelektual, serta perumusan ilmu ushul al-fiqih (metodelogi hukum Islam) sebagai landasan dalam peng-istinbath-an hukum Islam yang kemudian disebut manhaj tarjih Muhammadiyah. Dalam manhaj tarjih, Muhammadiyah ketika berijtihad menempuh tiga jalur metode ijtihad; (1) Metode ijtihad bayaniy, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadist. (2) Metode Ijtihad Qiyasiy, yaitu menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dan (3) Metode Ijtihad Al-Istislahiy, yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan. Sementara itu,  berbeda dengan kaum tradisionalis yang sangat menghormati warisan pemikiran ulama mujtahid masa lalu, atau kelompok modernis yang menjadikan pemikiran masa lalu tersebut sebagai bahan perbandingan yang masih dapat digunakan sejauh relevan dengan perkembangan masa, Persatuan Islam (PERSIS), disamping menyerukan ajakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, menggalakkan ijtihad dan memusatkan perhatian pada masalah-masalah agama tanpa terikat bahkan terpengaruh oleh otoritas mazhab. PERSIS-pun menganggap bermazhab sama artinya dengan bertaklid, yang karenanya hukumnya haram. Bagi umat Islam yang memiliki kemampuan, ia wajib melakukan ijtihad. Kalau tidak mampu berijtihad, maka wajib baginya melakukan ittiba’. Pemikiran masa lalu hanya sebagai hasil interaksi ulama dengan permasalahan yang mereka hadapi pada zaman mereka. Oleh karena itu, disamping merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, dalam permasalahan yang tidak ditemukan dalam nash, istinbath ditempuh melalui proses; tidak menerima ijma’ secara mutlak dalam urusan ibadah, kecuali ijma sahabat. Tidak menerima qiyas dalam ibadah mahdlah, sedangkan dalam ibadah gair mahdlah qias diterima selama memenuhi persaratan qiyas, dalam memecahkan ta’arud ‘adillah (pertentangan dalil) diupayakan dengan cara tariqat al-jam’i, tariqat al-tarjih dan thariqat an-nskhi, Dan dalam berijtihad, PERSIS menggunakan kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh Dewan Hisbah PERSIS.

Dalam keputusan ketiga ormas Islam tersebut mengenai masalah bunga bank, terdapat beberapa kesamaan visi dan perbeda­an. Kesamaan tampak jelas dalam masalah bank tanpa riba dan keinginan untuk membangun sistem perekonomian Islam, khususnya perbankan, yang tidak menggunakan riba. Perbedaan pada umumnya ditemukan dalam masalah rincian, menyangkut metodelogi ijtihad yang digunakan dalam penetapan hukumnya. Dalam menetapkan hukum bunga bank, disamping dilaksanakan secara jam’i, NU menggunakan metode ilhaqi yaitu menyamakan bunga titipan dengan wadi’ah yang melahirkan tiga keputusan yaitu; haram, mubah dan syubhat (Munas 1937) dan metode manhaji (Munas 1992) yang melahirkan tiga keputusan pula yaitu; haram, makruh dan syubhat. Walaupun terdapat beberapa alternatif hukum yang ditawarkan NU tersebut, pada dasarnya Munas ‘alim ulama NU menetapkan bahwa yang lebih berhati-hati (ikhtiyath) adalah pendapat pertama, yaitu haram. Dengan demikian, hukum bunga bank dalam pandangan NU adalah haram dengan alasan kehati-hatian. Berbeda dengan NU, berkenaan dengan penetapkan hukum bunga bank, Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi Muhammadiyah, ‘lllat diharamkan riba adalah adanya penghisapan atau penganiyaan terhadap pihak peminjam, dan ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Sementara itu, PERSIS dalam menetapkan hukum haram terhadap bunga bank memakai rangkaian ayat-ayat riba yang terdapat dalam al-Qur’an terutama ayat 130 surah Ali Imran dan rangkaian ayat 275-280 surah al-Baqarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar