Epistemologi Hukum Islam Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah dan Persatuan Islam
Oleh : Supriyatin, M.Ag
Dosen STIT Sirojul Falah Bogor
Epistemologi
hukum Islam, sebagai sistem teori pengetahuan memiliki sub sistem yang
dinamakan metodelogi hukum Islam sebagai perwujudan oprasionalnya. Berbicara metodelogi, berarti
berbicara prinsip-prinsip (termasuk didalamnya asumsi dasar
dan sumber hukum Islam), metode pendekatan, proses serta prosedural bagaimana hukum
Islam (fiqh) ditetapkan. Dengan demikian, mengkaji kontruksi
epistemologi hukum Islam NU, Muhammadiyah dan PERSIS berarti berbicara tentang
konsep-konsep teoritis mengenai proses dan prosedural yang digunakan oleh ketiga
ormas tersebut (mujtahid atau mustanbit
jam’iy)dalam melakukan aktifitas penetapan
hukum
Islam. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi tradisionalis dan akomodasionalis
yang lebih cendrung menekankan kepada praktek-praktek yang direkomendasikan
oleh para ulama terdahulu (klasik) dan menetapkan
diri sebagai pengawas tradisi dengan mempertahankan paham Ahlussunnah wal
Jama’ah (Aswaja), yang dalam aqidah mengikuti salah satu dari imam Abu Hasan
al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam ‘ubudiyah mengikuti salah satu
Imam mazhab empat; Abu Hanifah, Annas Ibn Malik, Muhammad al-Syafi’i dan Ahmad
Ibn Hambal. Sedangkan dalam bertasawuf megikuti salah satu dua imam: Abu Qasim
al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Konsep Aswaja
tersebut dipahami oleh NU sebagai “cara berpikir” (manhaj al-fikr).
Menurut pandangan NU, sistem bermazhab pada hakikatnya tidak mempertentangkan
antara sistem ijtihad dan taqlid, tetapi merangkaikan keduanya pada satu porsi
yang serasi. Bermazhab bisa dikatakan sebagai “kendali”. Tokoh-tokoh
yang hebat sekalipun, dalam ijtihadnya masih harus dikendalikan dengan
metode-metode dan kaidah-kaidah tertentu yang disebut bermazhab. Oleh karena
itu, landasan Aswaja sebagai manhaj fikr yang didalamnya terdapat konsep
bermazhab terhadap Imam mazhab tersebut merupakan kontruksi awal terbentuknya
metodelogi hukum Islam NU dalam penetapan hukum Islam yaitu, dalam menjawab
permasalahan hukum secara sistematis NU menggunakan tiga metode, yakni qawliy,
ilhaqi dan manhaji. Metode qawliy adalah suatu cara istinbat
hukum dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pada
kitab-kitab fiqh dari madzhab empat dengan mengacu dan merujuk secara
langsung pada bunyi teksnya.. Metode ilhaqi (ilhaq al-masa’il bi
nazha’iriha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/ masalah yang belum
dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus / masalah serupa
yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan
dengan pendapat yang sudah jadi. Sedangkan metode manhaji adalah suatu
cara menyelesaikan masalah keagamaandengan mengikuti jalan pikiran dan
kaidah-kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Berbeda halnya
dengan NU, Muhammadiyah ditempatkan oleh keluarga Muhammadiyah sendiri atau oleh
orang luar Muhammadiyah sebagai orgaisasi keagamaaan yang ciri utamanya adalah
gerakan tajdid, berkarakteristikan moderenis. Menyerukan ajakan kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah, menggalakkan ijtihad dan memusatkan perhatian pada
masalah-masalah agama tanpa terikat dengan otoritas mazhab. Hal
tersebut terlihat ketika Muhammadiyah memiliki konsep paradigma pemikiran
keagamaan (sikap dasar keagamaan secara umum) tersendiri yang tercermin dalam “Mabadi’
Al-Khamsah” atau “Masalah Lima” yang meliputi : (1) Pengertian agama (Islam
atau al-Din), ( 2). Pengertian Dunia (al-Dunya), (3). Pengertian
Ibadah (al-‘Ibadah), (4). Pengertian Sabilillah, dan (5).
Pengertian Qiyas (al-Qiyas). Paradigma inilah sebenarnya yang melandasi
gerakan aksentuasi keagamaan, intelektual dan pengembangan ilmu di
Muhammadiyah. Artinya, pengembangan pemikiran keagamaan dan intelektual, serta
perumusan ilmu ushul al-fiqih (metodelogi hukum Islam) sebagai landasan
dalam peng-istinbath-an hukum Islam yang kemudian disebut manhaj
tarjih Muhammadiyah. Dalam manhaj tarjih, Muhammadiyah ketika
berijtihad menempuh tiga jalur metode ijtihad; (1) Metode ijtihad bayaniy,
yakni menjelaskan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash
al-Qur’an dan Hadist. (2) Metode Ijtihad Qiyasiy, yaitu menyelesaikan
kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah
diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dan (3) Metode Ijtihad Al-Istislahiy,
yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber
hukum diatas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas
kemaslahatan. Sementara itu, berbeda dengan
kaum tradisionalis yang sangat menghormati warisan pemikiran ulama mujtahid
masa lalu, atau kelompok modernis yang menjadikan pemikiran masa lalu tersebut
sebagai bahan perbandingan yang masih dapat digunakan sejauh relevan dengan
perkembangan masa, Persatuan Islam (PERSIS), disamping menyerukan
ajakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, menggalakkan ijtihad dan memusatkan
perhatian pada masalah-masalah agama tanpa terikat bahkan terpengaruh oleh
otoritas mazhab. PERSIS-pun menganggap bermazhab sama artinya dengan bertaklid,
yang karenanya hukumnya haram. Bagi umat Islam yang memiliki kemampuan, ia
wajib melakukan ijtihad. Kalau tidak mampu berijtihad, maka wajib baginya
melakukan ittiba’. Pemikiran masa lalu hanya sebagai hasil interaksi
ulama dengan permasalahan yang mereka hadapi pada zaman mereka. Oleh karena
itu, disamping
merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, dalam permasalahan yang tidak ditemukan
dalam nash, istinbath ditempuh melalui proses; tidak menerima ijma’
secara mutlak dalam urusan ibadah, kecuali ijma sahabat. Tidak menerima qiyas
dalam ibadah mahdlah, sedangkan dalam ibadah gair mahdlahqias
diterima selama memenuhi persaratan qiyas, dalam memecahkan ta’arud ‘adillah
(pertentangan
dalil) diupayakan dengan cara tariqat al-jam’i, tariqat al-tarjih dan thariqat
an-nskhi, Dan dalam berijtihad, PERSIS menggunakan
kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh
Dewan Hisbah PERSIS.
Dalam keputusan ketiga ormas Islam tersebut mengenai masalah bunga bank, terdapat beberapa kesamaan visi dan perbedaan.
Kesamaan tampak jelas dalam masalah bank tanpa riba dan keinginan untuk
membangun sistem perekonomian Islam, khususnya perbankan, yang tidak
menggunakan riba. Perbedaan pada umumnya ditemukan dalam masalah rincian,
menyangkut metodelogi ijtihad yang digunakan dalam
penetapan hukumnya. Dalam menetapkan hukum bunga bank, disamping dilaksanakan
secara jam’i, NU menggunakan metode ilhaqi yaitu menyamakan bunga
titipan dengan wadi’ah yang melahirkan tiga keputusan yaitu; haram,
mubah dan syubhat (Munas 1937) dan metode manhaji (Munas 1992)
yang melahirkan tiga keputusan pula yaitu; haram, makruh dan syubhat. Walaupun
terdapat beberapa alternatif hukum yang ditawarkan NU tersebut, pada dasarnya
Munas ‘alim ulama NU menetapkan bahwa yang
lebih berhati-hati (ikhtiyath) adalah pendapat pertama, yaitu haram.
Dengan demikian, hukum bunga bank dalam pandangan NU adalah haram dengan alasan
kehati-hatian. Berbeda dengan NU, berkenaan dengan penetapkan hukum bunga bank,
Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi
Muhammadiyah, ‘lllat diharamkan riba
adalah adanya penghisapan atau penganiyaan terhadap pihak peminjam, dan ‘illat itu ada pada bunga bank, maka
bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Sementara itu, PERSIS dalam menetapkan hukum haram terhadap bunga bank memakai rangkaian
ayat-ayat riba yang terdapat dalam al-Qur’an terutama ayat 130 surah Ali Imran dan rangkaian
ayat 275-280 surah al-Baqarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar