KONSEP
DAN TEORI SIYASAH
DALAM
KONTEK PENYELENGGARAAN NEGARA
Oleh
: Supriyatin, M.Ag
Pendahuluan
Siyasah dalam Peradaban
kaum muslim mengatur berbagai bentuk tentang tata cara membangun pemerintahan
dan memimpin. Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya
negara yang cocok baginya, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Sistem politik
Islam yang disebut dengan Siyasah di pandang sebagai sebuah proses yang
tidak pernah selesai. Ia senantiasa
terlibat dalam pergulatan social dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama
perjalanan sejarah ummat Islam. Meskipun demikian nilai siyasah tidak serta
merta menjadi relative karena ia memiliki kemutlakan yang terkait keharusan
untuk mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah.[1]
Siyasah secara garis besarnya terbagi menjadi dua yaitu Siyasah Wad’iyyah ialah siyasah yang dikenal berdasarkan
kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat dalam mengatur hidup manusia
bermasyarakat dalam Negara. Yang kedua, Siyasah
Syar’iyyah yaitu siyasah yang berdasarkan syara’ yang mengikut etika
agama, moral dan memperhatikan
prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan
bernegara dalam Islam.[2]
Akan tetapi dalam hal ini Islam lebih mengacu pada siyasah syar’iyyah dari pada
siyasah ar’wad’iyyah, karena di anggap bertentangan dengan ajaran Islam
sehingga kurang diterima keberadaanya oleh kaum muslimin.
Siyasah didalamnya juga
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lembaga,
lembaga dengan lembaga, maupun Negara dengan Negara dengan ketentuan syariat
Islam. Mayoritas ulama sepakat mengenai keharusan menyelenggarakan siyasah
berdasarkan syara. Siyasah atau pemerintahan sudah ada pada masa kepemimpinan
Rasulullah Saw. Siyasah Syar’iyyah dalam Islam yang berkenaan dengan pola
hubungan antar manusia yang menuntut terbagi menjadi tiga, yaitu siyasah
dusturiyah, dauliyah dan maliyah.[3]
Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan dalam makalah ini dengan tema “Konsep
dan Teori Siyasah dalam Kontek Penyelenggeraan Negara”.
Kata
Kunci : Siyasah dan Negara
A.
Pengertian Siyasah
Siyasah berasal dari
kata ساس، يسوس ،سياسة
(mengatur,
mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan), atau ساس
القوم (mengatur kaum,
memerintah dan memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa
siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan.
Pengertian siyasah di atas secara tersirat berarti:
والسياسة
القيام على شىء بما يصلحه
Memimpin sesuatu
dengan cara yang membawa kemashlahatan
Sedangkan pengertian
siyasah secara istilah menurut Ibn ‘Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim yang
mentarifkan:
السياسة
ماكان فعلا يكون منه الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وإن لم يكن يشرعه الرسول
ولا نزل به وحى
Siyasah adalah
segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih
jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT.
Tidak menentukannya.[4]
B.
Hubungan
Islam Dengan Negara
Tinjauan hubungan
agama-negara –secara ideologis– pertama-tama harus diletakkan pada proporsinya
sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan (aqidah).
Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan
adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta,
manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan
sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang
ada sebelumnya dan sesudahnya (An Nabhani, 1953). Oleh sebab itu, pembahasan
hubungan agama-negara harus bertolak dari pemikiran mendasar tersebut, baru
kemudian secara langsung dibahas hubungan agama-negara sebagai pemikiran cabang
yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut.
Mengingat kini ideologi yang
ada di dunia ada 3 (tiga), yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme
(Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang
kehidupan pun setidaknya ada 3 (tiga) macam pula, yakni aqidah Sosialisme,
aqidah Kapitalisme, dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan
pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pelbagai pemikiran cabang tentang
kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara.
1. Pandangan
yang Berkembang
Aqidah Sosialisme adalah
Materialisme (Al Maaddiyah), yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah
materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban
lainnya. Materilah asal usul segala sesuatu. Materi merupakan dasar eksistensi
segala macam pemikiran. Dari ide materialisme inilah dibangun 2 (dua) ide pokok
dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu
Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme (Ghanim Abduh, 1964).
Atas dasar ide materialisme
itu, dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam Sosialisme. Sebab
agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas
diingkari oleh ide materialisme. Bahkan agama dalam pandangan kaum sosialis
hanyalah ciptaan manusia yang tertindas dan merupakan candu yang membius rakyat
yang harus dimusnahkan dari muka bumi. (Lihat Karl Heinrich Marx, Contributon
to the Critique of Hegel’s Philosophi of Right (1957 : 42)
Dengan demikian, menurut
Sosialisme, hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam
arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat
yang harus dibuang dan dienyahkan.
Aqidah ideologi Kapitalisme,
adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau
sekularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi
perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui –walaupun
hanya secara formalitas– namun agama tidak boleh mengatur segala aspek
kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia
dengan tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu
sendiri (Zallum, 1993).
Berdasarkan aqidah
Kapitalisme, formulasi hubungan agama-negara dapat disebut sebagai hubungan
yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari arena
kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia
dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama
manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau
perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral
individu-individu pelaku politik.
Aqidah Islamiyah adalah iman
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir,
dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang
darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan
manusia. Aqidah Islamiyah menetapkan
bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang
cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian
saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan
dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai
hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` :
65), “Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah :
44)
Berdasarkan ini, maka
seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia,
sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum
Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah
institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan.
Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat
diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan
negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara
adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam
beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek
kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap
undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka dari itu, tak heran
banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa
agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua
keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani). Jika dipisah,
hancurlah perikehidupan manusia.
Imam Al Ghazali dalam
kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199 berkata : “Karena itu,
dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan
pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang
tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ul Fatawa juz 28 halaman 394 telah menyatakan : “Jika kekuasaan
terpisah dari agama, atau jika agama
terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.”
Sejalan dengan prinsip Islam
bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila
kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara
sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang
terkenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An Nabhani dalam
kitabnya Nizhamul Hukmi fil Islam hal. 17 mendefinisikan Khilafah sebagai
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Seluruh imam madzhab dan
para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah
(atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal
ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416: “Para
imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah
sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib
mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama
serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…” Tak hanya
kalangan empat madzhab dalam Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan
seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah juga termasuk Khawarij dan Mu’tazilah
tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.
Imam Asy Syaukani dalam
Nailul Authar jilid 8 hal. 265 mengatakan : “Menurut golongan Syi’ah, mayoritas
Mu’tazilah dan Asy’ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm
dalam Al Fashl fil Milal WalAhwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan : “Telah
sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh
Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”
2.
Kekeliruan Kaum Substansialis
Kendatipun hubungan agama
dan negara dalam Islam sudah jelas dan gamblang, namun sayangnya masih saja ada
saja kesalahpahaman atau kekeliruan pada sebagian orang mengenai hal tersebut.
Kekeliruan yang paling umum dijumpai adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang
penting bukan bentuk formal negaranya, yakni Khilafah, tetapi substansi ajaran
Islam itu sendiri, seperti keadilan, persamaan, persatuan, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip itulah yang katanya penting dan substansial, bukan bentuk
negara secara legal-formal. Karena itu, Khilafah bisa saja diganti dengan
sistem republik, kerajaan, atau sistem politik lainnya asalkan substansi ajaran
Islam tetap dapat dipelihara dan diwujudkan.
Secara global, dapat
ditegaskan bahwa pola pikir semacam ini tidak mungkin terlahir dari Aqidah
Islamiyah, sebab pola pikir ini jelas-jelas bertentangan dengan Aqidah
Islamiyah dan bertentangan pula dengan nash-nash tafshili (rinci) yang
menegaskan kewajiban Khilafah. Dibuang kemana gerangan dalil-dalil Al Kitab, As
Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qa’idah Syar’iyyah yang mendasari wajibnya Khilafah?
Apakah semua dalil yang sahih itu bisa saja dengan mudah diingkari dengan dalih
bahwa Khilafah sekedar aspek legal-formal, bukan substansi? Dibuang kemana pula
pendapat para imam madzhab dan mujtahidin terpercaya yang mengatakan wajibnya
Khilafah? Apakah semua pendapat para ulama itu –rahimahumullah– adalah sampah
kotor yang harus dimasukkan tempat sampah ataukah hanya sekedar dongeng cengeng
bernada romantisme yang tidak laku lagi dijual di era modern ini?
Jelaslah, pola pikir kaum
substansialis sebenarnya lahir dari Aqidah Kapitalisme, yaitu pemisahan agama
dari kehidupan. Aqidah inilah sebenarnya asumsi pokok yang mendasari seluruh
bangunan argumentasi sekuleristik dari kaum substansialis. Hanya saja, mereka
tidak menyatakann asumsi ini secara terang-terangan, sebab jika dinyatakan,
tentu akan mendapat reaksi dan tentangan keras dari umat Islam (Mahmud Abdul
Majid Al Khalidi, 1980).
Kritik terhadap pendapat ini
secara lebih rinci adalah sebagai berikut :
a.
Apa yang disebut-sebut sebagai “substansi” Islam itu
sendiri sebenarnya tidak begitu jelas apa maksudnya dan apa maunya, demikian
pula poin-poin dalam “substansi”, seperti persatuan, keadilan, dan lain-lain.
Ada kalanya “substansi” itu disejajarkan dengan “maqashidusy syari’ah” yang
merupakan tujuan penerapan syariah, seperti muhafazhah ‘alal mal, muhafazhah
‘alal karamah, muhafazhah ‘alal aql, dan seterusnya. Ada kalanya “substansi”
itu ditafsirkan sebagai nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua
pihak dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa memandang agama dan keyakinan
individunya. Ketidak jelasan pengertian “substansi” Islam ini saja sebenarnya
sudah menunjukkan kelemahan dan kerapuhan cara pandang kaum substansialis
mengenai hubungan agama-negara. Sebab kejelasan pengertian suatu terminologi
dalam pemaparan sebuah ide adalah suatu keharusan dan tuntutan yang mutlak.
Kejelasan pengertian di samping merupakan tuntutan akademis dan tuntutan
ilmiah, juga merupakan suatu faktor yang akan membuat terminologi itu menjadi
operasional. Kekaburan makna dari suatu istilah tidak lain hanyalah menunjukkan
adanya kecacatan ide secara akademis dan
ilmiah, di samping mengakibatkan suatu istilah menjadi tidak operasional (Amien
Rais, 1991). Dengan demikian, ide kaum substansialis ini tak lebih hanyalah
sebuah ide kosong yang tak ada substansinya.
b.
Tidak ada kejelasan kategorisasi istilah “substansi”
atau “formal”, apakah ia suatu definisi syar’i (at ta’rif asy syar’i) yang
harus diistinbath dari dalil-dalil syar’i, ataukah definisi non-syar’i (at
ta’rif ghairu syar’i) yang memang semata merupakan deskripsi fakta (Zallum,
1985). Juga tidak jelas bagaimana muncul pengutamaan atau prioritas “substansi”
daripada “formal”, sehingga seolah-olah yang wajib itu “substansi”, sedang
“formal” itu tidak wajib. Ketidak jelasan kategorisasi ini semakin mengaburkan
apa yang dimaksud dengan “substansi”.
c.
Mengutamakan “substansi” daripada aspek “legal-formal”, dapat
diartikan mengutamakan tujuan daripada cara. Cara apa saja bisa ditempuh,
asalkan tetap menuju kepada satu tujuan. Ini tentu saja kaidah berpikir yang bertentangan
dengan Islam. Islam tidak demikian. Satu tujuan yang Islami, harus dicapai
dengan cara yang Islami pula, bukan dengan sembarang cara, apalagi dengan
menggunakan hukum-hukum kufur. Islam tidak mengenal prinsip “Al Ghayah
tubarrirul waashitah” (Tujuan dapat menghalalkan segala cara/ the end justifies
the means). Kaidah yang benar adalah “Al Ghayah laa tubarrirul waashithah”,
artinya, tujuan tidak membenarkan segala sarana atau cara. Suatu tujuan yang
Islami, harus semata ditempuh dengan cara yang Islami, bukan yang lain (An
Nabhani, 1964).
C.
NEGARA
IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM
Berbicara
mengenai negara ideal dalam pandangan islam menurut hemat penulis tidak
terlepas dari kajian akan mana Siyasah dan objek siasah itu sendiri.
sebagaimana pengertian siyasah diatas dapat diketahui
bahwa objek kajian siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga
Negara dengan warga Negara, warga Negara dengan lembaga Negara, lembaga Negara
dengan lembaga Negara baik yang bersifat intern suatu Negara atau yang bersifat
eksteren suatu Negara dalam berbagai bidang.
Berkenaan dengan
luasnya objek kajian fiqh siyasah, maka dalam tahap perkembangan siyasah
dikenal beberapa pembidangan fiqh siyasah yang berkenaan dengan pola hubungan
antar manusia yang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal ini siyasah dibedakan
menjadi tiga yaitu: Siyasah Dusturiyyah, Siyasah Dauliyyah dan Siyasah
Maliyyah.
1.
Siyasah
Dusturiyah
Permasalahan di dalam
siyasah dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya
di pihak lain serta kelembagaan dalam masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasan
siyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalam pembahasan tentang
pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari
segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi
kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya.[5]
Sumber-sumber siyasah
dusturiyah diantaranya ialah: (1) Al-Quran,
yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat.
(2) Hadits, terutama yang berhubungan dengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullah
dalam menerapkan hukum Negara (3) Kebijakan-kebijakan khulafarasyidin dalam
mengendalikan pemerintahan. (4) Ijtihad para ulama (4) Adat kebiasaan suatu
bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Hadits.
- Kepemimpinan dalam Siyasah
Pada masterpiece-nya
yang bertitel Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi menyatakan bahwa
kepemimpinan (imamah) dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur
persoalan dunia. Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan
merupakan sesuatu yang wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak
hanya secara rasional.[6]
Kepemimpinan dalam
Negara menurut para ulama berpendapat bahwa khalifah atau kepala Negara
haruslah dari suku quraisy. Selama berabad-abad suku Quraisy adalah suku
terpilih di antara bangsa Arab dan non Arab. Hadits yang menyatakan hak
kepemimpinan suku Quraisy itu adalah
sebagai berikut:[7]
لاَ يَزَالُ
هَذَاالأَمْرُفِى قُرَيْشٍ مَا بَقِرَ مِنْهُمْ اِثْنَانِ
Pemerintahan itu
masih harus dipegang oleh orang Quraisy walaupun hanya tinggal dua orang (H.R.
Bukhari)
Dalam sejarah penguasa
yang menyebut dirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukun Quraisy tidak
pernah diakui keberadaannya. Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlah
khalifah dala arti kepala Negara yang disebut al-Imamat.[8]
Kata-kata khalifah dalam al-Quran lebih menunjukkan kepada fungsi manusia
secara keseluruhan dari pada seorang kepala Negara. Kata khalifah sebagai
kepala Negara adalah kepala Negara pengganti Nabi di dalam memelihra agama dan
mengatur keduniawian. Dia adalah manusia biasa yang dipercaya ummat karena baik
dalam menjalankan agamanya, bersifat adil seperti yang tampak pada pribadi Abu
Bakar dan khalifah setelahnya.[9]
Para ulama ahlussunnah
menyamakan pengertian imamah dan khlifah. Karena keduannya lebih mendahulukan
masalah-masalah agama dan memelihara agama dari pada duniawi. Sedangkan
dikalangan syiah imam ialah shahibul hak as syar’I yang didalam undang-undang
modern dikatakan de jure baik yang langsung memerintah ataupun tidak.
Adapun lafadz khalifah, mula-mula menunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaan
dalam kenyataan, walaupun tidak berhak, yang pada masa sekarang disebut de
facto.[10]
Al-Mawardi menyebutkan
dua hak bagi imamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. [11]
Adapun ketentuan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi
harus memenuhi tujuh syarat yaitu:[12]
(1) Adil yang meliputi segala aspeknya (2) Berilmu pengetahuan sehingga mampu
membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa
dan hukum yang timbul (3) Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan
lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi. (4) Anggota
tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya
untuk bergerak dan bertindak dengan cepat (5) Memiliki kecerdasan yang
membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah)
(6) Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan
menghadapi musuh (7) Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkan hadis Para
pemimpin berasal dari Quraisy.[13]
Ibnu Khaldun juga
menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya.
Diantara syarat-syarat itu adalah:[14]
(1) Pengetahuan tentang hokum-hukum Tuhan dan dapat menerapkan dan
menguasai hukum tersebut (2) Keadilan
(3) Kesanggupan (capability) (4) Sehat jasmani dan rohani (5) Keturunan
Quraisy atau suku lain yang memeiliki kecakapan dan kemampuan sebagaimana yang
dimiliki oleh suku Qurays.
Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamah
merupakan hal yang wajib dalam umat Islam berdasarkan Ijma’. Sedangkan alasan
yang menjadikan wajibnya imamah tersebut, menurut al-Mawardi terdapat dua
pendapat di kalangan umat Islam, yakni sebagian mengemukakan wajib dengan akal
(rasio). Akal memandang kewajiban imamah ini untuk keselamatan manusia dari
tindakan zalim pertikaian (tanazu‘) dan permusuhan (takhasum). Segolongan yang
lain berpendapat bahwa kewajiban imamah dengan alasan syar‘i karena seorang
imam bertugas untuk menegakkan urusan-urusan syari’ah (umur al- syari‘ah).[15]
- Kedudukan, hak-hak dan kewajiban rakyat.
Dalam hal ini rakyat
dalam suatu Negara terdiri dari muslim dan non muslim, yang non muslim ada yang
disebut dzimi dan musta’in.
a. Kafir dzimi adalah warga
non muslim yang menetap selamanya, serta dihormati tidak boleh diganggu
jiwannya, kehormatanya dan hartanya.
b. Sedang musta’in adalah
orang asing yang menetap sementara dan juga harus dihormati jiwannya,
kehormatanya dan hartanya.
Kafir dzimmi memiliki
hak-hak kemanusiaankan, hak-hak sipil, dan hak-hak politik. Sedangkan musta’in
tidak memiliki hak-hak politik. Mengenai
hak-hak rakyat menurut Abu al-‘ala al-Maududi, adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya
dan kehormatannya.
2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi.
3. Kebebasan menyatakan pendapat dan
berkeyakinan.
4. Terjamin kebutuhan pokok hidupnya,
dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaan.
Akibat hak-hak yang
diterima oleh rakyat, maka warga mempunyai tugas tertentu atas hak-hak Negara.
Tugas warga Negara yang harus dan wajib ditunaikan menurut Abu al-a‘la
al-Maududi adalah:
1. Patuh dan taat kepada pemerintah dalam
batas yang tidak bertentangan dengan agama.
2. Setia kepada negara.
3. Rela berkorban untuk membela Negara dari
bermacam ancaman.
4. Bersedia memenuhi kewajiban materiil
yang dibebankan padanya oleh Negara.
Demikian kewajiban
rakyat dan menyerahkan pelaksanaannya pada Negara untuk menjamin keseimbangan
antara dua pihak yakni rakyat dan Negara, agar masing-masing hak tidak
terlanggar atau mendominasi fihak lainnya.
- Wilayah Negara
Wilayah Negara ini
meliputi bumi, udara, lautan. Dalam hal ini para fuqaha membagi dunia menjadi
dua bagian yaitu darul islam dan darul harbi. Adanya pembedaan darul Islam
dan darul harbi ini, menurut Wahbah al-Zuhaili, adalah disebabkan oleh
peperangan yang terjadi antara umat Islam dengan non muslim. Karena banyaknya
di antara darul Islam dan darul harbi yang muncul melalui peperangan.
Meskipun demikian, pendapat Zuhaili ini tidak sepenuhnya benar. Ada di antara
negara yang lahir secara alami dan damai. Oleh sebab itu, perlu diamati
pandangan ulama lain dalam hal ini. Mayoritas ahli fiqh memandang pembagian
negara atau wilayah kepada darul Islam dan darul harbi didorong
oleh beberapa faktor berikut:
1.
Untuk
menata dan mengatur kepentingan muslim secara umum sebagai pemimpin dan yang
dipimpin di suatu wilayah dalam hubungannya dengan non muslim yang berada di wilayah
atau negara yang sama; dan dengan negara atau wilayah yang berdampingan
dengannya;
2.
Sebagai
upaya untuk menerapkan hukum Islam, baik bagi umat Islam sendiri maupun
non-muslim yang berada di wilayah yang berdampingan dengannya;
3.
Sebagai
usaha ahli fiqh untuk merespon dan menata hukum Islam, terutama dalam bidang mu’amalat
dan munakahat, serta menetapkan hukum hubungan antara negara Islam
dengan negara non-Islam dalam berbagai lapangan kehidupan.[16]
Perbedaan antara darul
Islam dan darul harbi bukan hanya terletak pada sisi hukum yang
berlaku di masing-masing negara tersebut, melainkan juga karena perbedaan
penguasaan/pemimpin negara tersebut. Oleh sebab itu, dalam darul Islam
dan darul harbi juga terdapat perbedaan kategori. Berdasarkan
prinsip-prinsip ini, maka suatu darul harbi dapat dibagi ke dalam tiga
kategori:[17]
1. Wilayah atau negara yang di dalamnya
tidak terpenuhi unsur pokok sebagai darul Islam, yaitu pemberlakuan
hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
2. Wilayah atau negara yang hanya memenuhi
salah satu unsur pokok untuk disebut sebagai darul Islam, meskipun tidak
utuh. Wilayahnya dikuasai oleh non-muslim dan hukum yang berlaku pun bukan
hukum Islam. Namun, umat Islam yang menetap di negara tersebut diberi
kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam, sehingga dapat disebut darul
Islam (menurut Abu Hanifah). Negara dalam bentuk ini dapat berupa.
- Darul harbi yang dipimpin dan dikuasai non-muslim, namun umat Islam di negara ini diizinkan melaksanakan kewajiban agamanya dan sebagian syiar Islam, seperti shalat, zakat, haji, pernikahan dan kewarisan. Kondisi inilah yang dijadikan alasan oleh al-Mawardi (w. 450 H) untuk mengelompokkannya ke dalam darul Islam.[18] Muhammad Rasyid Ridha memperkuat pendapat ini. Berdasarkan pengamatannya terhadap negara-negara Eropa dan Amerika, ia melihat umat Islam di wilayah ini dapat dengan aman menjalankan kewajiban agamanya.
- Wilayah atau negara yang pada mulanya dikuasai umat Islam, tetapi kemudian diambil alih oleh orang-orang non-muslim (kafir), sehingga umat Islam setempa terpaksa tunduk pada mereka, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang mereka hadapi. Mereka tetap berjuang untuk memperoleh hak-hak mereka dari orang-orang kafir tersebut. Termasuk dalam kategori ini adalah negara-negara di Asia Tengah yang pernah dicaplok oleh Uni Soviet. Setelah negara Beruang Merah ini bubar pada akhir 1980-an, negara-negara muslim tersebut, seperti Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Azerbaijan bangkit kembali menunjukkn identitas keislamannya.
- Wilayah atau negara yang dipimpin oleh orang-orang ahli bid’ah yang menyatakan secara langsung dan tidak langsung keluar dari barisan umat Islam yang berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah. Dalam bentuk lain, wilayah ini dipimpin oleh orang-orang fasik. Mereka masih mengaku sebagai muslim, tetapi tidak menjadikan hukum Islam dalam pemerintahannya. Mereka menempatkan hukum ciptaan manusia sebagai aturan yang berlaku. Pemerintahan darul harbi ketiga ini membiarkan orang-orang Islam menjalankan hukum Islam yang berhubungan dengan masalah ahwal al-syakhsiyah (pernikahan, perceraian, dan kewarisan). Ibn Taimiyah (w. 729 H) mengidentikkan negara ini dengan dar al-fasiq, karena dipimpin dan didiami oleh orang-orang fasik.[19]
- Wilayah atau negara yang dikategorikan sebagai darul harbi. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan yang non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Darul harbi dalam bentuk ini terbagi dua: (1) Darul harbi yang menjadi tempat harbiyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam. (2) Dar al-muwada’ah atau dar al-muhadarah, yaitu negara yang dikuasai oleh non-muslim dan mempunyai ikatan kerja sama atau hubungan diplomatik dengan negara Islam. Mereka tidak tunduk ke dalam kekuasaan Islam dan berdaulat penuh terhadap negaranya, namun telah mengadakan perjanjian damai. Perjanjian ini bisa saja terjadi sejak semula, atau sebagai alternatif bagi mereka untuk menghindarkan terjadinya peperangan antara mereka dengan umat Islam. Kategori negara ini disebut juga dengan dar al-shulh atau darul aman.
2.
Siyasah
Dauliyah
Siyasah dauliyah mengatur hubungan antara warga Negara dengan
lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara
dari Negara lain.[20]
Dalam hubungan Internasional asas damai merupakan asas hubungan international,
alasanya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak
kezaliman, menghilang fitnah, dalam rangka mempertahankan diri. Konsekuensi
dari asas damai sebagai hukum asal dalam hubungan internasional adalah
perdamaian saling membantu dalam kebaikan. Maka:
1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam
keadaan darurat.
2. Orang yang tidak ikut berperang tidak
boleh diperlakukan sebagai musuh.
3. Segera menghentikan perang apabila salah
satu pihak cenderung kepada damai.
4. Memperlakukan tawanan perang dengan cara
manusiawi.
Subjek hukum dalam
siyasah dauliyah adalah Negara, setiap Negara mempunyai kewajiban. Kewajiban
terpenting adalah menghormati hak-hak Negara lain dan melaksanakan perjanjian
yang telah dibuat. Semua Negara yang ada di dunia ini adalah bertetangga,
karena itu dalam hubungan antar Negara diterapkan kewajiban menghormati Negara
sebagai tetangga Negara kita.
Sedangkan mengenai perjanjian antar Negara yang
diistilahkan dengan al-ittifak (kesepakatan) terdapat syarat-syarat
tertentu yang mengikat suatu perjanjian.
1. Yang mengadakan perjanjian memiliki
kewenangan.
2. Karelaan dari kedua belah pihak.
3. Isi perjanjian dan objeknya tidak dilarang oleh syariat islam.
4. Penulisan perjanjian.
5. Menaati perjanjian.[21]
Hubungan internasional
dalam peperangan juga diatur dalam siyasah dauliyah ini, dalam kondisi perang
keadaan darurat itu sangat nyata
pilihanya hanya dua membunuh dan dibunuh. Itulah hokum perang yang nyata hanya
saja kaum muslimin yang berjihad fisabilillah tahu persis sesuai dengan
pandangan hidupnya, untuk agama dia berperang, dan apa makna syahid di medan
perang, karena itu sangat penting untuk diketahui kenapa perang harus terjadi:
a. Perang dalam islam untuk mempertahankan
diri.
b. Perang dalam rangka dakwah.
c. Perang untuk melindungi hak Negara yang
sah yang dilanggar oleh suatu Negara lainnya tanpa sebab yang dapat diterima.
Perang
yang tidak sah menurut Ali Mansur adalah suatu peperangan yang bermaksud untuk
memperluas wilayah, perluasan pengaruh, dan keinginan untuk menduduki dan
menguasai Negara lain.[22]
Peperangan dalam siyasah dauliyah disertai dengan aturan aturan yang dibenarkan
dalam Islam, diantaranya yaitu: (a) Adanya pengumuman perang yang memungkinkan
sampainya berita itu kepada musuh. (b) Adanya etika dan aturan dalam peperangan
seperti dilarang membunuh anak-anak, dilarang membunuh wanita-wanita yang tidak
ikut berperang juga dilarang memperkosa. (c) Dilarang membunuh orang yang sudah
tua apabila orang-orang tua itu tidak ikut berperang. (d) Tidak merusak pohon,
sawah, dan lading (e) Tidak merusak binatang ternak (f) Tidak menghancurkan
rumah-rumah peribadatan (g) Dilarang mencincang mayat musuh (h) Dilarang
membunuh pemuka agama (i) Tidak melampaui batas.[23]
Peperangan bisa
dihentikan dengan upaya-upaya untuk segera memberhentikan peperangan.
Perhentian peperangna bisa terjadi dengan berbagai kemungkinan antara lain:
a. Peperangan bisa dihentikan karena
tercapainya tujuan perang.
b. Peperangan dihentikan dengan adanya
perjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan apabila musuh
menghianati janji yang telah dibuat dan disetujui.
3. Siyasah Maliyah
Pengaturan dalam siyasah maliyah di
orientasikan untuk mengatur kemashlahatan masyarakat. Di dalam siyasah maliyah
diantaranya mengatur hubungan dengan masyarakat yang menyangkut harta. Konsep
tentang sumber-sumber pemasukan dan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangan
Negara ini merupakan salah satu butir pemikiran fuqaha' yang cukup penting.
Dalam buku Al-Siyasah, Ibnu Taimiyah
banyak menyoroti tentang perekonomian negara yang secara gamblang membahas
tentang sumber pemasukan dan pendistribusian keuangan negara. Menurutnya,
sumber keuangan negara terdiri dari zakat, ghanimah, dan fai'. Sumber-sumber
lainnya yang tidak termasuk kategori zakat dan ghanimah, dimasukkan dalam
istilah fai'. Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangan negara berpijak
pada skala prioritas menurut tingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagi
rakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentuk gaji, subsidi, pembangunan, dan
lain-lain.[24]
Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah
diatas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detail dan operasional. Bagi
al-Mawardi, sumber-sumber pemasukan keuangan negara sangat beragam, baik yang
bersifat normatif seperti zakat, ghanimah, dan fai', maupun yang ijtihadi,
seperti jizyah, kharaj, 'usyr dan lain-lain.[25]
Pemaparan yang operasional terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh
kegiatan pemasukan dan pembelanjaan keuangan Negara dilakukan dengan sistem
pengadministrasian (diwan) yang ketat dalam hubungannya dengan kedudukan bait
al-mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri dari empat bagian, yaitu bagian
yang mengurusi data diri tentara dan besaran gajinya, bagian pencatatan
wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan negara Islam, bagian pencatatan
pegawai negara dan bagian pencatatan bait al'mal.[26]
Pengaturan harta dalam Siyasah
Maliyah mengacu pada prinsip-prinsip yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits.
Prinsip-prinsip tersebut adalah;
a.
Prinsip
tauhid dan isti'mar, yaitu pandangan bahwa hanya Allah yang menciptakan alam
semesta dan disediakan untuk manusia.
b.
Prinsip
distribusi rizki, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan adalah rizki dari Allah.
c.
prinsip
mendahulukan kemaslatratan umum, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan itu
hakikatnya milik Allah.[27]
4.
Prinsip-Prinsip Hukum Islam dalam Negara
Keberhasilan dalam masa
kepemimpinan khulaufarasyidin dan masa-masa setelahnya dalam kepemimpinan umat.
Mereka menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam dalam pemerintahan.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:[28]
1. Prinsip al-Huriyyah (Kebebasan),
ialah kebebasan atau kemerdekaan secara umum baik kebebasan individual maupun
komunal. Dalam hal ini, konstitusi Islam menggariskan kebebasan yang meliputi
kebebasan individu, kebebasan beragama, kebebasan berpolitik dan kebebasan
berserikat.
2. Prinsip al-Syu’ra’(Musyawarah),
Esensi musyawarah pada zaman Nabi adalah pertukaran pikiran dan pendapat dalam
menyelesaikan masalah.
3. Prinsip al-Musa’wah (Persamaan),
prinsip ini menjelasakan bahwa Islam tidak mengenal perbedaan dalam lapisan
masyarakat, baik yang berkaitan dengan golongan atau kasta dan hak sebagai manusia. Melalui prinsip ini
Islam mengajarkan solidaritas social antar lapisan masyarakat dan antar
golongan.
4. Prinsip al-‘Adl (Keadilan atau
Keseimbangan),
5. Prinsip Mu’aradlah,
mu’aradlah berarti pengawasan masyarakat atau kebijaksanaan pemerintah sebagai
kelanjutan dari prinsip kebebasan. Prinsip ini adalah manifestasi dari prinsip
umum hukum Islam.
6. Prinsip al-Naqd al-Dha’tiyy atau
Muha’sabat al-Nafs, prinsip ini berarti membuka
berbagai kelemahan atau kekurangan diri sendiri, mengetahui sebab-sebabnya dan
cara memperbaikinya.
Kesimpulan
Pemerintahan Islam atau
yang biasa disebut dengan siyasah sudah terbentuk sejak kepemimpinan zaman Nabi
SAW. Di awali dengan pembentukan Negara di Madinah. Dalam hal ini Rasulullah
berkedudukan sebagai pemimpin baik dalam uurusan agama maupun Negara.
Siyasah menurut bahasa
berarti mengatur atau memimpin. Sedangkan menurut istilah siyasah adalah segala
perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh
dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT.
Tidak menentukannya.
Siyasah berkenaan
dengan pola hubungan antar manusia dibagi menjadi tiga, yaitu: siyasah
dusturiyyah, siyasah dawliyyah dan siyasah maliyyah. Sedangkan Hasbi Ash
Shiddieqy membaginya menjadi delapan bidang, yaitu: Siyasah Dusturiyyah,
Siyasah Tasyri’iyyah, Siyasah Qadha’iyyah, Siyasah Maliyah, Siyasah Idariyyah,
Siyasah Kharijiyyah atau Siyasah Dawliyyah, Siyasah Tanfiziyyah, Siyasah
Harbiyyah.
Prinsip-prinsip hukum
Islam dalam pemerintahan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
al-Huriyyah
(Kebebasan), al-Syu’ra’(Musyawarah), al-Musa’wah (Persamaan), al-‘Adl (Keadilan
atau Keseimbangan), Mu’aradlah,al-Naqd al-Dha’tiyy atau Muha’sabat al-Nafs.
Kemudian Muhammad Tahir Azhary menambahkan prinsip Negara berdasarkan al-Quran
dan Sunnah, di antaranya yaitu: Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah, Prinsip
Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia, Prinsip Perdamaian,
Prinsip Kesejahteraan, Prinsip Ketaatan
Rakyat.
Manfaat mempelajari siyasah adalah dapat
mengarahkan kehidupan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah yang
umum atau dalil dalil syar’i. manfaat bagi faqih adalah mampu hidup sesuai
dengan kehendak syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz Dalan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid. 1, Jakarta: Ikhtiar van
Hoeve, 1995.
Abdul Qadir al-Audah, al-Tasyri’
al-Jina’I al-Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, Mesir: Dar al-Urubah.
1963
Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah
wa al-Syari’ah, Kairo: Dar Anshar. 1977
A.
Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media.
2003
A. Djazuli, Lembaga-lembaga
Perekonomian, Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2002
Ahmad Bin Hambal, al-Maktab
al-Islamiyah, Beirut: 1978
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman
an-Nasa’i, Musnad an-Nasa’i al-Kubra, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah,
juz 3. 1991
Ahmad
ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 7, Riyad: Muhammmad ibn Su’ud
al-Islamiyah, t.tp.
Al-Mawardi,
al-Ahkam Ashulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi. t.t
Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-Asas
Hukum Tata Negara Menurut Syari’at Islam, Jakarta: Matahari Masa. 1976
Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu
kenegaraan dalam fiqh islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1971
Ibnu
Taimiyyah, Al-Siyasah Al-Syari'iyyah Fi Ishlah Al-Rai wa Al-Ra'iyyah,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-llmiyyah. 1988.
Ibn
Taimiyah, Al-Fatawa al-Kubra, Jilid 18,
Kairo:
Dar al-Ma’rifah, t.tp.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam
al-Muwaqqi in ‘an Rabb al-Alamin Beirut: Dar al-Jayl. t,t
Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum
Islam, Bandung: Lathifah Press. 2009
Khalid Ibrahim Jindan, Teori
Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Jakarta : PT Rineka Cipta. 1994
Kuntowijono, Identitas Politik
Umat Islam, Bandung: PT Mizan. 1997.
Moh. Yusuf Musa, Nidham al-Hukmi
fi al-Islam, Kairo: Darul Kitabil al-Araby. 1963
Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, Jakarta: Kencana. 2007
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah;
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Grafindo Media Persada,
2001
[1] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media.
2003), hal. 1
[2] Ibid, hal. 44
[3] Ibid, hal. 48
[4] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi in ‘an Rabb
al-Alamin (Beirut: Dar al-Jayl. t,t), hal. 16
[5] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media.
2003), hal. 47
[6] Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib
al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 3
dalam www.al-islam.com.
[7] Ahmad Bin Hambal, al-Maktab al-Islamiyah (Beirut:
1978), hal. 128-183
[8] Juhaya S, Praja, Filsakanfat Hukum Islam
(Bandung: Lathifah Press. 2009), hal. 89
[9] Moh. Yusuf Musa, Nidham al-Hukmi fi al-Islam
(Kairo: Darul Kitabil al-Araby. 1963) hal.133
[10] Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu kenegaraan dalam fiqh islam
(Jakarta: Bulan Bintang. 1971), hal. 37
[11] Al-Mawardi, al-Ahkam Ashulthaniyah wal
Wilayatuldiniyah (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi. t.t), hal.17
[12] Ibid, hal. 5
الأئمة من قريش إن لهم عليكم حقا ولكم عليهم حقا أما إن
استرحموا رحموا وإن عاهدوا وفوا وإن حكموا عدلوا فمن لم يفعل ذلك منهم فعليه لعنة
الله والملائكة والناس أجمعين
[14] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 98-100 dalam
program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[15] Ali al-Hasan Ali b. Muhammad b. Habib
Al-Bashri, al-Bagdadi al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayah
al-Diniyah, (Beirut: Dar al- Fikr, Cet. I, 1380 H/ 1960 M), hlm. 5.
[16] Abdul Aziz Dalan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar van
Hoeve, 1995), Jilid. 1, h. 255.
[17] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta:
Grafindo Media Persada, 2001), h. 225.
[18] Ahmad ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari, (Riyad: Muhammmad ibn
Su’ud al-Islamiyah, t.tp.), Jilid 7, h. 229.
[20] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media.
2003), hal. 31
[21] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media.
2003), hal. 137-139
[22] Ali Mansur, al-Syariah al-islamiyah wa al-Qanun
al-duwali al-‘am (al-Qahirah: Majlis al-‘Ala li Asyuun al-Islamiyah. 1971),
hal. 371
[23] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media.
2003), hal. 149-150
[24] Ibnu
Taimiyyah, Al-Siyasah Al-Syari'iyyah Fi Ishlah Al-Rai wa Al-Ra'iyyah
(Beirut:Dar Al-Kutub Al-llmiyyah. 1988), hal. 256
[25] Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Asulthaniyah Wal
Wilayatuldiniyah (Mesir: Mustafa al-Babi al-Haladi. t.t), hal. 248-300
[26] Ibid, hal. 389
[27] A.
Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian (Jakarta: PT Raja Grafindo
persada. 2002), hal. 287-288
[28] Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung:
Lathifah Press. 2009), hal. 85-87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar