Cogito Ergo Sum

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Rabu, 15 Oktober 2014


KONSEP DAN TEORI SIYASAH
DALAM KONTEK PENYELENGGARAAN NEGARA
Oleh : Supriyatin, M.Ag

Pendahuluan
Siyasah dalam Peradaban kaum muslim mengatur berbagai bentuk tentang tata cara membangun pemerintahan dan memimpin. Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya negara yang cocok baginya, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam yang disebut dengan Siyasah di pandang sebagai sebuah proses yang tidak  pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergulatan social dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan sejarah ummat Islam. Meskipun demikian nilai siyasah tidak serta merta menjadi relative karena ia memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah.[1] Siyasah secara garis besarnya terbagi menjadi dua yaitu Siyasah Wad’iyyah ialah siyasah yang dikenal berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dalam Negara. Yang kedua, Siyasah Syar’iyyah yaitu siyasah yang berdasarkan syara’ yang mengikut etika agama,  moral dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara dalam Islam.[2] Akan tetapi dalam hal ini Islam lebih mengacu pada siyasah syar’iyyah dari pada siyasah ar’wad’iyyah, karena di anggap bertentangan dengan ajaran Islam sehingga kurang diterima keberadaanya oleh kaum muslimin.
Siyasah didalamnya juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lembaga, lembaga dengan lembaga, maupun Negara dengan Negara dengan ketentuan syariat Islam. Mayoritas ulama sepakat mengenai keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara. Siyasah atau pemerintahan sudah ada pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw. Siyasah Syar’iyyah dalam Islam yang berkenaan dengan pola hubungan antar manusia yang menuntut terbagi menjadi tiga, yaitu siyasah dusturiyah, dauliyah dan maliyah.[3] Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan dalam makalah ini dengan tema “Konsep dan Teori Siyasah dalam Kontek Penyelenggeraan Negara”.
Kata Kunci : Siyasah dan Negara

A.    Pengertian Siyasah
Siyasah berasal dari kata ساس، يسوس ،سياسة  (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan), atau ساس القوم  (mengatur kaum, memerintah dan memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan. Pengertian siyasah di atas secara tersirat berarti:
والسياسة القيام على شىء بما يصلحه
Memimpin sesuatu dengan cara  yang membawa kemashlahatan
Sedangkan pengertian siyasah secara istilah menurut Ibn ‘Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim yang mentarifkan:
السياسة ماكان فعلا يكون منه الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وإن لم يكن يشرعه الرسول ولا نزل به وحى
Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT. Tidak menentukannya.[4]
B.     Hubungan Islam Dengan Negara
Tinjauan hubungan agama-negara –secara ideologis– pertama-tama harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan (aqidah). Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan  adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya (An Nabhani, 1953). Oleh sebab itu, pembahasan hubungan agama-negara harus bertolak dari pemikiran mendasar tersebut, baru kemudian secara langsung dibahas hubungan agama-negara sebagai pemikiran cabang yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut.
Mengingat kini ideologi yang ada di dunia ada 3 (tiga), yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun setidaknya ada 3 (tiga) macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme, dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pelbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara.
1.    Pandangan yang Berkembang
Aqidah Sosialisme adalah Materialisme (Al Maaddiyah), yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Materilah asal usul segala sesuatu. Materi merupakan dasar eksistensi segala macam pemikiran. Dari ide materialisme inilah dibangun 2 (dua) ide pokok dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme (Ghanim Abduh, 1964).
Atas dasar ide materialisme itu, dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh ide materialisme. Bahkan agama dalam pandangan kaum sosialis hanyalah ciptaan manusia yang tertindas dan merupakan candu yang membius rakyat yang harus dimusnahkan dari muka bumi. (Lihat Karl Heinrich Marx, Contributon to the Critique of Hegel’s Philosophi of Right (1957 : 42)
Dengan demikian, menurut Sosialisme, hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan.
Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau sekularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui –walaupun hanya secara formalitas– namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial,  budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri (Zallum, 1993).
Berdasarkan aqidah Kapitalisme, formulasi hubungan agama-negara dapat disebut sebagai hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari arena kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia.  Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65), “Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199 berkata : “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa juz 28 halaman 394 telah menyatakan : “Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama  terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.”
Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang terkenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fil Islam hal. 17 mendefinisikan Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah)  ini.  Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416: “Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…” Tak hanya kalangan empat madzhab dalam Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah juga termasuk Khawarij dan Mu’tazilah tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 mengatakan : “Menurut golongan Syi’ah, mayoritas Mu’tazilah dan Asy’ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal WalAhwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan : “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”
2.       Kekeliruan Kaum Substansialis
Kendatipun hubungan agama dan negara dalam Islam sudah jelas dan gamblang, namun sayangnya masih saja ada saja kesalahpahaman atau kekeliruan pada sebagian orang mengenai hal tersebut. Kekeliruan yang paling umum dijumpai adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang penting bukan bentuk formal negaranya, yakni Khilafah, tetapi substansi ajaran Islam itu sendiri, seperti keadilan, persamaan, persatuan, dan sebagainya. Prinsip-prinsip itulah yang katanya penting dan substansial, bukan bentuk negara secara legal-formal. Karena itu, Khilafah bisa saja diganti dengan sistem republik, kerajaan, atau sistem politik lainnya asalkan substansi ajaran Islam tetap dapat dipelihara dan diwujudkan.
Secara global, dapat ditegaskan bahwa pola pikir semacam ini tidak mungkin terlahir dari Aqidah Islamiyah, sebab pola pikir ini jelas-jelas bertentangan dengan Aqidah Islamiyah dan bertentangan pula dengan nash-nash tafshili (rinci) yang menegaskan kewajiban Khilafah. Dibuang kemana gerangan dalil-dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qa’idah Syar’iyyah yang mendasari wajibnya Khilafah? Apakah semua dalil yang sahih itu bisa saja dengan mudah diingkari dengan dalih bahwa Khilafah sekedar aspek legal-formal, bukan substansi? Dibuang kemana pula pendapat para imam madzhab dan mujtahidin terpercaya yang mengatakan wajibnya Khilafah? Apakah semua pendapat para ulama itu –rahimahumullah– adalah sampah kotor yang harus dimasukkan tempat sampah ataukah hanya sekedar dongeng cengeng bernada romantisme yang tidak laku lagi dijual di era modern ini?
Jelaslah, pola pikir kaum substansialis sebenarnya lahir dari Aqidah Kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Aqidah inilah sebenarnya asumsi pokok yang mendasari seluruh bangunan argumentasi sekuleristik dari kaum substansialis. Hanya saja, mereka tidak menyatakann asumsi ini secara terang-terangan, sebab jika dinyatakan, tentu akan mendapat reaksi dan tentangan keras dari umat Islam (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, 1980).
Kritik terhadap pendapat ini secara lebih rinci adalah sebagai berikut :
a.       Apa yang disebut-sebut sebagai “substansi” Islam itu sendiri sebenarnya tidak begitu jelas apa maksudnya dan apa maunya, demikian pula poin-poin dalam “substansi”, seperti persatuan, keadilan, dan lain-lain. Ada kalanya “substansi” itu disejajarkan dengan “maqashidusy syari’ah” yang merupakan tujuan penerapan syariah, seperti muhafazhah ‘alal mal, muhafazhah ‘alal karamah, muhafazhah ‘alal aql, dan seterusnya. Ada kalanya “substansi” itu ditafsirkan sebagai nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua pihak dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa memandang agama dan keyakinan individunya. Ketidak jelasan pengertian “substansi” Islam ini saja sebenarnya sudah menunjukkan kelemahan dan kerapuhan cara pandang kaum substansialis mengenai hubungan agama-negara. Sebab kejelasan pengertian suatu terminologi dalam pemaparan sebuah ide adalah suatu keharusan dan tuntutan yang mutlak. Kejelasan pengertian di samping merupakan tuntutan akademis dan tuntutan ilmiah, juga merupakan suatu faktor yang akan membuat terminologi itu menjadi operasional. Kekaburan makna dari suatu istilah tidak lain hanyalah menunjukkan adanya kecacatan  ide secara akademis dan ilmiah, di samping mengakibatkan suatu istilah menjadi tidak operasional (Amien Rais, 1991). Dengan demikian, ide kaum substansialis ini tak lebih hanyalah sebuah ide kosong yang tak ada substansinya.
b.      Tidak ada kejelasan kategorisasi istilah “substansi” atau “formal”, apakah ia suatu definisi syar’i (at ta’rif asy syar’i) yang harus diistinbath dari dalil-dalil syar’i, ataukah definisi non-syar’i (at ta’rif ghairu syar’i) yang memang semata merupakan deskripsi fakta (Zallum, 1985). Juga tidak jelas bagaimana muncul pengutamaan atau prioritas “substansi” daripada “formal”, sehingga seolah-olah yang wajib itu “substansi”, sedang “formal” itu tidak wajib. Ketidak jelasan kategorisasi ini semakin mengaburkan apa yang dimaksud dengan “substansi”.
c.       Mengutamakan “substansi”  daripada aspek “legal-formal”, dapat diartikan mengutamakan tujuan daripada cara. Cara apa saja bisa ditempuh, asalkan tetap menuju kepada satu tujuan. Ini tentu saja kaidah berpikir yang bertentangan dengan Islam. Islam tidak demikian. Satu tujuan yang Islami, harus dicapai dengan cara yang Islami pula, bukan dengan sembarang cara, apalagi dengan menggunakan hukum-hukum kufur. Islam tidak mengenal prinsip “Al Ghayah tubarrirul waashitah” (Tujuan dapat menghalalkan segala cara/ the end justifies the means). Kaidah yang benar adalah “Al Ghayah laa tubarrirul waashithah”, artinya, tujuan tidak membenarkan segala sarana atau cara. Suatu tujuan yang Islami, harus semata ditempuh dengan cara yang Islami, bukan yang lain (An Nabhani, 1964).
C.    NEGARA IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM
Berbicara mengenai negara ideal dalam pandangan islam menurut hemat penulis tidak terlepas dari kajian akan mana Siyasah dan objek siasah itu sendiri. sebagaimana pengertian siyasah diatas dapat diketahui bahwa objek kajian siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga Negara dengan warga Negara, warga Negara dengan lembaga Negara, lembaga Negara dengan lembaga Negara baik yang bersifat intern suatu Negara atau yang bersifat eksteren suatu Negara dalam berbagai bidang.
 Berkenaan dengan luasnya objek kajian fiqh siyasah, maka dalam tahap perkembangan siyasah dikenal beberapa pembidangan fiqh siyasah yang berkenaan dengan pola hubungan antar manusia yang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal ini siyasah dibedakan menjadi tiga yaitu: Siyasah Dusturiyyah, Siyasah Dauliyyah dan Siyasah Maliyyah.
1.    Siyasah Dusturiyah
Permasalahan di dalam siyasah dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan dalam masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasan siyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalam pembahasan tentang pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya.[5]
Sumber-sumber siyasah dusturiyah diantaranya ialah: (1)  Al-Quran, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat. (2) Hadits, terutama yang berhubungan dengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullah dalam menerapkan hukum Negara (3) Kebijakan-kebijakan khulafarasyidin dalam mengendalikan pemerintahan. (4) Ijtihad para ulama (4) Adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Hadits.
  1.  Kepemimpinan dalam Siyasah
Pada masterpiece-nya yang bertitel Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur persoalan dunia. Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan merupakan sesuatu yang wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak hanya secara rasional.[6]
Kepemimpinan dalam Negara menurut para ulama berpendapat bahwa khalifah atau kepala Negara haruslah dari suku quraisy. Selama berabad-abad suku Quraisy adalah suku terpilih di antara bangsa Arab dan non Arab. Hadits yang menyatakan hak kepemimpinan suku Quraisy itu adalah  sebagai berikut:[7]
 لاَ يَزَالُ هَذَاالأَمْرُفِى قُرَيْشٍ مَا بَقِرَ مِنْهُمْ اِثْنَانِ
Pemerintahan itu masih harus dipegang oleh orang Quraisy walaupun hanya tinggal dua orang (H.R. Bukhari)
Dalam sejarah penguasa yang menyebut dirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukun Quraisy tidak pernah diakui keberadaannya. Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlah khalifah dala arti kepala Negara yang disebut al-Imamat.[8] Kata-kata khalifah dalam al-Quran lebih menunjukkan kepada fungsi manusia secara keseluruhan dari pada seorang kepala Negara. Kata khalifah sebagai kepala Negara adalah kepala Negara pengganti Nabi di dalam memelihra agama dan mengatur keduniawian. Dia adalah manusia biasa yang dipercaya ummat karena baik dalam menjalankan agamanya, bersifat adil seperti yang tampak pada pribadi Abu Bakar dan khalifah setelahnya.[9]
Para ulama ahlussunnah menyamakan pengertian imamah dan khlifah. Karena keduannya lebih mendahulukan masalah-masalah agama dan memelihara agama dari pada duniawi. Sedangkan dikalangan syiah imam ialah shahibul hak as syar’I yang didalam undang-undang modern dikatakan de jure baik yang langsung memerintah ataupun tidak. Adapun lafadz khalifah, mula-mula menunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaan dalam kenyataan, walaupun tidak berhak, yang pada masa sekarang disebut de facto.[10]
Al-Mawardi menyebutkan dua hak bagi imamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. [11] Adapun ketentuan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi harus memenuhi tujuh syarat yaitu:[12] (1) Adil yang meliputi segala aspeknya (2) Berilmu pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa dan hukum yang timbul (3) Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi. (4) Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat (5) Memiliki kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah) (6) Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan menghadapi musuh (7) Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkan hadis Para pemimpin berasal dari Quraisy.[13]
Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya. Diantara syarat-syarat itu adalah:[14] (1) Pengetahuan tentang hokum-hukum Tuhan dan dapat menerapkan dan menguasai  hukum tersebut (2) Keadilan (3) Kesanggupan (capability) (4) Sehat jasmani dan rohani (5) Keturunan Quraisy atau suku lain yang memeiliki kecakapan dan kemampuan sebagaimana yang dimiliki oleh suku Qurays.
Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamah merupakan hal yang wajib dalam umat Islam berdasarkan Ijma’. Sedangkan alasan yang menjadikan wajibnya imamah tersebut, menurut al-Mawardi terdapat dua pendapat di kalangan umat Islam, yakni sebagian mengemukakan wajib dengan akal (rasio). Akal memandang kewajiban imamah ini untuk keselamatan manusia dari tindakan zalim pertikaian (tanazu‘) dan permusuhan (takhasum). Segolongan yang lain berpendapat bahwa kewajiban imamah dengan alasan syar‘i karena seorang imam bertugas untuk menegakkan urusan-urusan syari’ah (umur al- syari‘ah).[15]
  1. Kedudukan, hak-hak dan kewajiban rakyat.
Dalam hal ini rakyat dalam suatu Negara terdiri dari muslim dan non muslim, yang non muslim ada yang disebut dzimi dan musta’in.
a.       Kafir dzimi adalah warga non muslim yang menetap selamanya, serta dihormati tidak boleh diganggu jiwannya, kehormatanya dan hartanya.
b.      Sedang musta’in adalah orang asing yang menetap sementara dan juga harus dihormati jiwannya, kehormatanya dan hartanya.
Kafir dzimmi memiliki hak-hak kemanusiaankan, hak-hak sipil, dan hak-hak politik. Sedangkan musta’in tidak memiliki hak-hak politik. Mengenai hak-hak rakyat menurut Abu al-‘ala al-Maududi, adalah sebagai berikut:
1.      Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya.
2.      Perlindungan terhadap kebebasan pribadi.
3.      Kebebasan menyatakan pendapat dan berkeyakinan.
4.      Terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaan.
Akibat hak-hak yang diterima oleh rakyat, maka warga mempunyai tugas tertentu atas hak-hak Negara. Tugas warga Negara yang harus dan wajib ditunaikan menurut Abu al-a‘la al-Maududi adalah:
1.      Patuh dan taat kepada pemerintah dalam batas yang tidak bertentangan dengan agama.
2.      Setia kepada negara.
3.      Rela berkorban untuk membela Negara dari bermacam ancaman.
4.      Bersedia memenuhi kewajiban materiil yang dibebankan padanya oleh Negara.
Demikian kewajiban rakyat dan menyerahkan pelaksanaannya pada Negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak yakni rakyat dan Negara, agar masing-masing hak tidak terlanggar atau mendominasi fihak lainnya.
  1. Wilayah Negara
Wilayah Negara ini meliputi bumi, udara, lautan. Dalam hal ini para fuqaha membagi dunia menjadi dua bagian yaitu darul islam dan darul harbi. Adanya pembedaan darul Islam dan darul harbi ini, menurut Wahbah al-Zuhaili, adalah disebabkan oleh peperangan yang terjadi antara umat Islam dengan non muslim. Karena banyaknya di antara darul Islam dan darul harbi yang muncul melalui peperangan. Meskipun demikian, pendapat Zuhaili ini tidak sepenuhnya benar. Ada di antara negara yang lahir secara alami dan damai. Oleh sebab itu, perlu diamati pandangan ulama lain dalam hal ini. Mayoritas ahli fiqh memandang pembagian negara atau wilayah kepada darul Islam dan darul harbi didorong oleh beberapa faktor berikut:
1.      Untuk menata dan mengatur kepentingan muslim secara umum sebagai pemimpin dan yang dipimpin di suatu wilayah dalam hubungannya dengan non muslim yang berada di wilayah atau negara yang sama; dan dengan negara atau wilayah yang berdampingan dengannya;
2.      Sebagai upaya untuk menerapkan hukum Islam, baik bagi umat Islam sendiri maupun non-muslim yang berada di wilayah yang berdampingan dengannya;
3.      Sebagai usaha ahli fiqh untuk merespon dan menata hukum Islam, terutama dalam bidang mu’amalat dan munakahat, serta menetapkan hukum hubungan antara negara Islam dengan negara non-Islam dalam berbagai lapangan kehidupan.[16]
Perbedaan antara darul Islam dan darul harbi bukan hanya terletak pada sisi hukum yang berlaku di masing-masing negara tersebut, melainkan juga karena perbedaan penguasaan/pemimpin negara tersebut. Oleh sebab itu, dalam darul Islam dan darul harbi juga terdapat perbedaan kategori. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, maka suatu darul harbi dapat dibagi ke dalam tiga kategori:[17]
1.      Wilayah atau negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok sebagai darul Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
2.      Wilayah atau negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok untuk disebut sebagai darul Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai oleh non-muslim dan hukum yang berlaku pun bukan hukum Islam. Namun, umat Islam yang menetap di negara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam, sehingga dapat disebut darul Islam (menurut Abu Hanifah). Negara dalam bentuk ini dapat berupa.
  1. Darul harbi yang dipimpin dan dikuasai non-muslim, namun umat Islam di negara ini diizinkan melaksanakan kewajiban agamanya dan sebagian syiar Islam, seperti shalat, zakat, haji, pernikahan dan kewarisan. Kondisi inilah yang dijadikan alasan oleh al-Mawardi (w. 450 H) untuk mengelompokkannya ke dalam darul Islam.[18] Muhammad Rasyid Ridha memperkuat pendapat ini. Berdasarkan pengamatannya terhadap negara-negara Eropa dan Amerika, ia melihat umat Islam di wilayah ini dapat dengan aman menjalankan kewajiban agamanya.
  2. Wilayah atau negara yang pada mulanya dikuasai umat Islam, tetapi kemudian diambil alih oleh orang-orang non-muslim (kafir), sehingga umat Islam setempa terpaksa tunduk pada mereka, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang mereka hadapi. Mereka tetap berjuang untuk memperoleh hak-hak mereka dari orang-orang kafir tersebut. Termasuk dalam kategori ini adalah negara-negara di Asia Tengah yang pernah dicaplok oleh Uni Soviet. Setelah negara Beruang Merah ini bubar pada akhir 1980-an, negara-negara muslim tersebut, seperti Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Azerbaijan bangkit kembali menunjukkn identitas keislamannya.
  3. Wilayah atau negara yang dipimpin oleh orang-orang ahli bid’ah yang menyatakan secara langsung dan tidak langsung keluar dari barisan umat Islam yang berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah. Dalam bentuk lain, wilayah ini dipimpin oleh orang-orang fasik. Mereka masih mengaku sebagai muslim, tetapi tidak menjadikan hukum Islam dalam pemerintahannya. Mereka menempatkan hukum ciptaan manusia sebagai aturan yang berlaku. Pemerintahan darul harbi ketiga ini membiarkan orang-orang Islam menjalankan hukum Islam yang berhubungan dengan masalah ahwal al-syakhsiyah (pernikahan, perceraian, dan kewarisan). Ibn Taimiyah (w. 729 H) mengidentikkan negara ini dengan dar al-fasiq, karena dipimpin dan didiami oleh orang-orang fasik.[19]
  1. Wilayah atau negara yang dikategorikan sebagai darul harbi. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan yang non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Darul harbi dalam bentuk ini terbagi dua: (1) Darul harbi yang menjadi tempat harbiyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam. (2) Dar al-muwada’ah atau dar al-muhadarah, yaitu negara yang dikuasai oleh non-muslim dan mempunyai ikatan kerja sama atau hubungan diplomatik dengan negara Islam. Mereka tidak tunduk ke dalam kekuasaan Islam dan berdaulat penuh terhadap negaranya, namun telah mengadakan perjanjian damai. Perjanjian ini bisa saja terjadi sejak semula, atau sebagai alternatif bagi mereka untuk menghindarkan terjadinya peperangan antara mereka dengan umat Islam. Kategori negara ini disebut juga dengan dar al-shulh atau darul aman.
2.    Siyasah Dauliyah
Siyasah dauliyah  mengatur hubungan antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.[20] Dalam hubungan Internasional asas damai merupakan asas hubungan international, alasanya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kezaliman, menghilang fitnah, dalam rangka mempertahankan diri. Konsekuensi dari asas damai sebagai hukum asal dalam hubungan internasional adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan. Maka:
1.      Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
2.      Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
3.      Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada damai.
4.      Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
Subjek hukum dalam siyasah dauliyah adalah Negara, setiap Negara mempunyai kewajiban. Kewajiban terpenting adalah menghormati hak-hak Negara lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat. Semua Negara yang ada di dunia ini adalah bertetangga, karena itu dalam hubungan antar Negara diterapkan kewajiban menghormati Negara sebagai tetangga Negara kita.
Sedangkan  mengenai perjanjian antar Negara yang diistilahkan dengan al-ittifak (kesepakatan) terdapat syarat-syarat tertentu yang mengikat suatu perjanjian.
1.      Yang mengadakan perjanjian memiliki kewenangan.
2.      Karelaan dari kedua belah pihak.
3.      Isi perjanjian dan objeknya  tidak dilarang oleh syariat islam.
4.      Penulisan perjanjian.
5.      Menaati perjanjian.[21]
Hubungan internasional dalam peperangan juga diatur dalam siyasah dauliyah ini, dalam kondisi perang keadaan darurat  itu sangat nyata pilihanya hanya dua membunuh dan dibunuh. Itulah hokum perang yang nyata hanya saja kaum muslimin yang berjihad fisabilillah tahu persis sesuai dengan pandangan hidupnya, untuk agama dia berperang, dan apa makna syahid di medan perang, karena itu sangat penting untuk diketahui kenapa perang harus terjadi:
a.       Perang dalam islam untuk mempertahankan diri.
b.      Perang dalam rangka dakwah.
c.       Perang untuk melindungi hak Negara yang sah yang dilanggar oleh suatu Negara lainnya tanpa sebab yang dapat diterima.
Perang yang tidak sah menurut Ali Mansur adalah suatu peperangan yang bermaksud untuk memperluas wilayah, perluasan pengaruh, dan keinginan untuk menduduki dan menguasai Negara lain.[22] Peperangan dalam siyasah dauliyah disertai dengan aturan aturan yang dibenarkan dalam Islam, diantaranya yaitu: (a) Adanya pengumuman perang yang memungkinkan sampainya berita itu kepada musuh. (b) Adanya etika dan aturan dalam peperangan seperti dilarang membunuh anak-anak, dilarang membunuh wanita-wanita yang tidak ikut berperang juga dilarang memperkosa. (c) Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila orang-orang tua itu tidak ikut berperang. (d) Tidak merusak pohon, sawah, dan lading (e) Tidak merusak binatang ternak (f) Tidak menghancurkan rumah-rumah peribadatan (g) Dilarang mencincang mayat musuh (h) Dilarang membunuh pemuka agama (i) Tidak melampaui batas.[23]
Peperangan bisa dihentikan dengan upaya-upaya untuk segera memberhentikan peperangan. Perhentian peperangna bisa terjadi dengan berbagai kemungkinan antara lain:
a.       Peperangan bisa dihentikan karena tercapainya tujuan perang.
b.      Peperangan dihentikan dengan adanya perjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan apabila musuh menghianati janji yang telah dibuat dan disetujui.
3.    Siyasah Maliyah
Pengaturan dalam siyasah maliyah di orientasikan untuk mengatur kemashlahatan masyarakat. Di dalam siyasah maliyah diantaranya mengatur hubungan dengan masyarakat yang menyangkut harta. Konsep tentang sumber-sumber pemasukan dan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangan Negara ini merupakan salah satu butir pemikiran fuqaha' yang cukup penting.
Dalam buku Al-Siyasah, Ibnu Taimiyah banyak menyoroti tentang perekonomian negara yang secara gamblang membahas tentang sumber pemasukan dan pendistribusian keuangan negara. Menurutnya, sumber keuangan negara terdiri dari zakat, ghanimah, dan fai'. Sumber-sumber lainnya yang tidak termasuk kategori zakat dan ghanimah, dimasukkan dalam istilah fai'. Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangan negara berpijak pada skala prioritas menurut tingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagi rakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentuk gaji, subsidi, pembangunan, dan lain-lain.[24]
Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah diatas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detail dan operasional. Bagi al-Mawardi, sumber-sumber pemasukan keuangan negara sangat beragam, baik yang bersifat normatif seperti zakat, ghanimah, dan fai', maupun yang ijtihadi, seperti jizyah, kharaj, 'usyr dan lain-lain.[25] Pemaparan yang operasional terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukan dan pembelanjaan keuangan Negara dilakukan dengan sistem pengadministrasian (diwan) yang ketat dalam hubungannya dengan kedudukan bait al-mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri dari empat bagian, yaitu bagian yang mengurusi data diri tentara dan besaran gajinya, bagian pencatatan wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan negara Islam, bagian pencatatan pegawai negara dan bagian pencatatan bait al'mal.[26]
            Pengaturan harta dalam Siyasah Maliyah mengacu pada prinsip-prinsip yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
a.       Prinsip tauhid dan isti'mar, yaitu pandangan bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta dan disediakan untuk manusia.
b.      Prinsip distribusi rizki, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan adalah rizki dari Allah.
c.       prinsip mendahulukan kemaslatratan umum, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan itu hakikatnya milik Allah.[27]
4.    Prinsip-Prinsip Hukum Islam dalam Negara
Keberhasilan dalam masa kepemimpinan khulaufarasyidin dan masa-masa setelahnya dalam kepemimpinan umat. Mereka menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam dalam pemerintahan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:[28]
1.      Prinsip al-Huriyyah (Kebebasan), ialah kebebasan atau kemerdekaan secara umum baik kebebasan individual maupun komunal. Dalam hal ini, konstitusi Islam menggariskan kebebasan yang meliputi kebebasan individu, kebebasan beragama, kebebasan berpolitik dan kebebasan berserikat.
2.      Prinsip al-Syu’ra’(Musyawarah), Esensi musyawarah pada zaman Nabi adalah pertukaran pikiran dan pendapat dalam menyelesaikan masalah.
3.      Prinsip al-Musa’wah (Persamaan), prinsip ini menjelasakan bahwa Islam tidak mengenal perbedaan dalam lapisan masyarakat, baik yang berkaitan dengan golongan atau kasta dan  hak sebagai manusia. Melalui prinsip ini Islam mengajarkan solidaritas social antar lapisan masyarakat dan antar golongan.
4.      Prinsip al-‘Adl (Keadilan atau Keseimbangan),
5.      Prinsip Mu’aradlah, mu’aradlah berarti pengawasan masyarakat atau kebijaksanaan pemerintah sebagai kelanjutan dari prinsip kebebasan. Prinsip ini adalah manifestasi dari prinsip umum hukum Islam.
6.      Prinsip al-Naqd al-Dha’tiyy atau Muha’sabat al-Nafs, prinsip ini berarti membuka berbagai kelemahan atau kekurangan diri sendiri, mengetahui sebab-sebabnya dan cara memperbaikinya.
Kesimpulan
Pemerintahan Islam atau yang biasa disebut dengan siyasah sudah terbentuk sejak kepemimpinan zaman Nabi SAW. Di awali dengan pembentukan Negara di Madinah. Dalam hal ini Rasulullah berkedudukan sebagai pemimpin baik dalam uurusan agama maupun Negara.
Siyasah menurut bahasa berarti mengatur atau memimpin. Sedangkan menurut istilah siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT. Tidak menentukannya.
Siyasah berkenaan dengan pola hubungan antar manusia dibagi menjadi tiga, yaitu: siyasah dusturiyyah, siyasah dawliyyah dan siyasah maliyyah. Sedangkan Hasbi Ash Shiddieqy membaginya menjadi delapan bidang, yaitu: Siyasah Dusturiyyah, Siyasah Tasyri’iyyah, Siyasah Qadha’iyyah, Siyasah Maliyah, Siyasah Idariyyah, Siyasah Kharijiyyah atau Siyasah Dawliyyah, Siyasah Tanfiziyyah, Siyasah Harbiyyah.
Prinsip-prinsip hukum Islam dalam pemerintahan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: al-Huriyyah (Kebebasan), al-Syu’ra’(Musyawarah), al-Musa’wah (Persamaan), al-‘Adl (Keadilan atau Keseimbangan), Mu’aradlah,al-Naqd al-Dha’tiyy atau Muha’sabat al-Nafs. Kemudian Muhammad Tahir Azhary menambahkan prinsip Negara berdasarkan al-Quran dan Sunnah, di antaranya yaitu: Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah, Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia, Prinsip Perdamaian, Prinsip Kesejahteraan, Prinsip Ketaatan  Rakyat.
Manfaat mempelajari siyasah adalah dapat mengarahkan kehidupan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah yang umum atau dalil dalil syar’i. manfaat bagi faqih adalah mampu hidup sesuai dengan kehendak syari’ah.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dalan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid. 1, Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995.
Abdul Qadir al-Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami: Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, Mesir: Dar al-Urubah. 1963
Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah wa al-Syari’ah, Kairo: Dar Anshar. 1977
A.  Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media. 2003
A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian, Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2002
Ahmad Bin Hambal, al-Maktab al-Islamiyah, Beirut: 1978
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Musnad an-Nasa’i al-Kubra, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, juz 3. 1991
Ahmad ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 7, Riyad: Muhammmad ibn Su’ud al-Islamiyah, t.tp.
Al-Mawardi, al-Ahkam Ashulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi. t.t
Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-Asas Hukum Tata Negara Menurut Syari’at Islam, Jakarta: Matahari Masa. 1976
Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu kenegaraan dalam fiqh islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1971
Ibnu Taimiyyah, Al-Siyasah Al-Syari'iyyah Fi Ishlah Al-Rai wa Al-Ra'iyyah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-llmiyyah. 1988.
Ibn Taimiyah, Al-Fatawa al-Kubra, Jilid 18, Kairo: Dar al-Ma’rifah, t.tp.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi in ‘an Rabb al-Alamin Beirut: Dar al-Jayl. t,t
Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press. 2009
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Jakarta : PT Rineka Cipta. 1994
Kuntowijono, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: PT Mizan. 1997.
Moh. Yusuf Musa, Nidham al-Hukmi fi al-Islam, Kairo: Darul Kitabil al-Araby. 1963
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta: Kencana. 2007
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001


[1] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hal. 1
[2] Ibid, hal. 44
[3] Ibid, hal. 48
[4] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi in ‘an Rabb al-Alamin (Beirut: Dar al-Jayl. t,t), hal. 16
[5] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hal. 47
[6] Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 3 dalam www.al-islam.com.
[7] Ahmad Bin Hambal, al-Maktab al-Islamiyah (Beirut: 1978), hal. 128-183
[8] Juhaya S, Praja, Filsakanfat Hukum Islam (Bandung: Lathifah Press. 2009), hal. 89
[9] Moh. Yusuf Musa, Nidham al-Hukmi fi al-Islam (Kairo: Darul Kitabil al-Araby. 1963) hal.133
[10] Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu kenegaraan dalam fiqh islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1971), hal. 37
[11] Al-Mawardi, al-Ahkam Ashulthaniyah wal Wilayatuldiniyah (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi. t.t), hal.17
[12] Ibid, hal. 5
[13] Redaksinya hadis sebagai berikut:
الأئمة من قريش إن لهم عليكم حقا ولكم عليهم حقا أما إن استرحموا رحموا وإن عاهدوا وفوا وإن حكموا عدلوا فمن لم يفعل ذلك منهم فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين
[14] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 98-100 dalam program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[15] Ali al-Hasan Ali b. Muhammad b. Habib Al-Bashri, al-Bagdadi al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, (Beirut: Dar al- Fikr, Cet. I, 1380 H/ 1960 M), hlm. 5.
[16] Abdul Aziz Dalan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995), Jilid. 1, h. 255.
[17] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001), h. 225.
[18] Ahmad ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari, (Riyad: Muhammmad ibn Su’ud al-Islamiyah, t.tp.), Jilid 7, h. 229.
[19] Ibn Taimiyah, Al-Fatawa al-Kubra, (Kairo: Dar al-Ma’rifah, t.tp), Jilid 18, h. 382.
[20] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hal. 31
[21] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hal. 137-139
[22] Ali Mansur, al-Syariah al-islamiyah wa al-Qanun al-duwali al-‘am (al-Qahirah: Majlis al-‘Ala li Asyuun al-Islamiyah. 1971), hal. 371
[23] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hal. 149-150
[24] Ibnu Taimiyyah, Al-Siyasah Al-Syari'iyyah Fi Ishlah Al-Rai wa Al-Ra'iyyah (Beirut:Dar Al-Kutub Al-llmiyyah. 1988), hal. 256
[25] Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Asulthaniyah Wal Wilayatuldiniyah (Mesir: Mustafa al-Babi al-Haladi. t.t), hal. 248-300
[26] Ibid, hal. 389
[27] A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian (Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2002), hal. 287-288
[28] Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah Press. 2009), hal. 85-87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar