Cogito Ergo Sum

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Kamis, 10 Februari 2011

MEMBUKA PINTU IJTIHAD (Pemikiran Fazlur Rahman)



KONSEP-KONSEP SUNNAH, IJTIHAD DAN IJMA’ PADA AWAL SEJARAH ISLAM

Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Selanjutnya sunnah ini tidak tertuju kepada sebuah aksi sebagaimana adanya tetapi selama aksi ini secara actual berulang atau mungkin sekali dapat berulang kembali. Dengan perkataan lain sebuah Sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulangkali. Dan karena sesungguhnya tingkah laku yang kita maksudkan di sini adalah tingkah laku dari pelaku-pelaku yang sadar, pelaku-pelaku yang dapat “memiliki” aksi-aksi mereka, maka sebuah sunnah tidak hanya merupakan sebuah hokum tingkah laku (seperti hokum-hukum dari benda-benda alam) tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif: “keharusan” moral adalah sebuah unsur yang tak dapat dipisahkan dari pengertian konsep Sunnah. Menurut pendapat-pendapat yang dominan dikalangan sarjana Barat di masa-masa terakhir ini Sunnah adalah praktek actual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi “Sunnah”.
 Dari konsep tingkah laku normatif atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Jika saya memandang bahwa tingkah laku seseorang patut dijadikan teladan dan jika saya berhasil mengikuti teladan tersebut, maka tingkah laku akan mendekati standar atau mendekati kebenaran. Oleh karena itu, menurut Fazlur Rahaman, secara garisbesarnya sunnah nabi lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah konsep pengayoman daripada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersipat mutak.
Instrument yang diperguanakan oleh generasi-generasi awal muslim dimasa lampau, sehingga teladan nabi dapat berkembang menjadi pelaturan-pelaturan yang tegas dan khusus bagi tingkah laku manusia, adalah aktivitas pemikiran bebas secara pribadi dan beratanggungjawab. Pemikiran rasional yang disebut Ra’yu atau “ pemikiran yang dipertimbangkan sendiri” ini menghasilkan banyak sekali ide-ide dibidang hukum, religius dan moral seitar abad pertama hijriah. Tetapi disamping kelimpahan ide-ide tersebut. Produk dari aktivitas ini aga kacau, yaitu sunnah dari daerah-daerah yang berbeda – Hijaz, Irak, mesir dan lain sebagainya – menjadi berbeda didalam hampir semua detail-detailnya. Karena menghadapi konflik pemikiran bebas yang tak berkesudahan ini ibn al-Muqaffa’ (w 140 H) mendeklarasikan bahwa sunnah nabi yang disepakati secara bersama tidak ada, dan menyarankan agar khalifah harus melaksanakan ijtihadnya sendiri. Tetapi tokoh-tokoh intelektual dan Umat Muslim memiliki pendapat yang berbeda. Pemiiran bebas secara individu (ra’yu) telah memungkinkan pemukiran yang lebih sistematis terhadapa al-Qur’an dan terhadap sunnah yang sudah ada. Pemikiran sistematis ini kemudian disebut Qiyas. Sebaliknya, sunnah yang sudah ada – hasil dari pemikiran bebas sebelumnya – secara perlahan-lahan mencapai titik dimana Ummat dengan cara yang seragam mengakuinya – setidaknya umat-uamat religional – misalnya Hijaz, Irak dan lain sebagainya. Itulah sebabnya mengapa malik mempergunakan istilah sunnah dan Ijma’ untuk keseragaman ini, keseragaman yang hampir secara ekuivalen terdapat di Madinah. Tetapi walaupun kedua istilah itu dekenakan kedalam materi ini, ada perbedaan yang sangat penting didalam pengertiannya. “sunnah” bermula dari “sunnah ideal” Nabi dan secara progresif telah di interfrestasikan oleh Ra’yu dan Qiyas sedang Ijma adalah interfrestasi sunnah dan sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang telah disepakati secara bersama begitu ia diterima secara perlahan-lahan oleh Ummah. Oleh karena itu diantara al-Quran dan “Sunnah ideal” disatu pihak dengan Ijma atau sunnah dalam pengertian dengan praktek yang disepakati bersama, dipikhak lain tidak dapat tidak terdapat aktivitas Qiyas dan Ijtihad. Jadi dapatlah kita saksikan bahwa secara literal sunnah dan Ijma saling berpadu dan secara aktual dan material adalah identik.
Fenomena Sunnah-Ijma’, yaitu bahwa Ijma-informal tidak menghilangkan perbedaan-perbedaan pendapat. Ijma tidak hanya bersifat regional – misalnya sunah-ijma yang dimadinah berbeda dengan sunnah-ijma di Irak. Bahkan disuatu daerah-daerah tertentu perbedaan-perbedaan pendapat senan tiasa terjadi walaupun ada sebuah opini generalis. Hal ini menjelaskan proses pencapayan Ijma’, yaitu melalui perbedaan-perbedaan didalam penggunaan lokal dan melalui penafsiran-penafsiran yang berbeda timbullah sebuah pendapat umum.
Gerakan hadis secara besar-besaran menjelang akhir abad pertama dan memperoleh kamajuan yang sangat pesat pada abad kedua yang mengatas namakan demi keseragaman pandangan tentang kewenangn Nabi Muhammad. Dalam bidang yurisprudensi gerakan ini dipelopori oleh al-Syafi’I yany karena interprestasinya yang desisif dan berhasil didalam aliran-aliran pemikiran Islam yang bebas, telah menghasilkan pormulasi pokok mengenai prinsif-prinsif yurisprudesi Islam seperti yang diketahui dan diterima pada abad-abad berikutnya.
Konsep ijma’ al-Syafi’i, menurut Fazlur Rahman sangat bertentangan dengan mazhab-mazhab lainnya, konsepnya mengenai ijma adalah kesepakatan yang bersifat pormal dan total; ia menghendaki sekali tidak ada pertentangan pendapat lagi. Tidak perlu diragukan lagi kalau ia memang menganggapi urgensi-urgensi pada masa itu dan ia adalah pemuka terpenting dari suatu kecendrungan yang sejak dahulu sudah ada dan yang menghendaki ekuiliberium dan keseragaman. Tetapi konsep ijma yang telah diketemukan oleh mazhab-mazhab sebelumnya sangat berbeda. Menurut mazhab-mazhab ini ijma’ bukan sebuah fakta statis yang ditetapkan atau diciptakan, tetapi sebuah proses demikratis yang terus menerus; ijma’ tidak bersifat formal tetapi informal, ia tumbuh secara wajar dan didalam tahapan pertumbuhannya ia mentolelir, bahkan menghendaki adanya pemikiran yang segar dan baru sehingga ia tidak hanya harus hidup bersama-sama dengan tetapi juga diatas perbedaan-perbedaan pendapat. Mazhab-mazhab tersebut menyatakan bahwa kita harus melakukan ijtihad sehingga bidang yang disepakati sangat luas, sedangkan hal-hal yang masih diperselisihkan harus dihadapi dengan ijtihad dan qias yang baru sehingga tercapailah ijma yang baru pula. Tetapi dengan keberhasilan perumusan al-Syafi’i sesungguhnya hubungan yang hidup dan organis diantara ijtihad dengan ijma’ itulah yang menjadi rusak. Peranan Sunnah-Ijtihad-Ijma’ diberiakannya kepada sunnah nabi sedangkan menurut dia sunah nabi bukanlah suatu petunjuk yang bersifat umum tetapi bersifat tegas dan harus ditafsirkan secara literal dan penyiaran sunnah nabi ini hanya dapat di lakukan dengan penyiaran hadits. Peranan selanjurnya diberikan kepada sunnah dari para sahabat terutama sekali dari khalifah keempat yang pertama.  Peran yang ketiga diberikannya kepada ijma’ dan yang terakhir sekali diberikannya kepad ijtihad. Jadi dengan mengembalikan urutan ijtihad-ijma’ yang wajar menjadi ijma’-ijtihad, hubungan organis diantara ijma dan ijtihad menjadi rusak. Ijma tidak lagi menjadi sebuah proses yang menghadap kemasa depan – sebagai produk dari ijtihad secara bebas. Ijma menjadi statis dan menghadap kemasa lampau. Dengan demikian segala sesuatu yang harus dilaksanakan pada saat ini seolah-olah telah terlaksana dimasa lampau.kegeniusan al-Syafi’I memang berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kesetabilan kepada struktur sosial-relegius kaum muslim pada zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan original mereka memang tak dapat disangkal pada masa-masa sesudah al-Syafi’I Islam masih dapat menyerap aliran-aliran baru dari kehidupan spiritual dan intelektual – karena suatu masyarakat yang hidup tidak dapat benar-benar berdiam diri – tetapi Islam yang seperti ini tidak merupakan sebuah kekuatan yang aktif, dan menguasai dirinya sendiri, ia meruoakan sebuah etensitas pasif yang diombang ambingkan oleh aliran-aliran kehidupan ini. Sebuah contoh yang penting adalah Sufisme.    
  
SUNNAH DAN HADITS

1.    Pembahasan Lebih Lanjut Mengenai Sunnah
Sunnah Nabi adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi Muslim pada zaman lampau, dengan menafsirkan teladan-teladan Nabi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka peroleh, dan penafsiran yang kontinu dan progresif, walaupun berebada bagi daerah-daerah yang berbeda, disebut pula sebagai Sunnah.
Fazlur Rahman menyatakan bahwa "sunnah adalah sebuah konsep perilaku baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Dengan perkataan lain Sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulangkali. Menurut Fazlur Rahman sebuah Sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif: "Keharusan" moral adalah sebuah unsur yang tak dapat dipisahkan dari pengertian konsep Sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek aktual tetapi juga sebagai "praktek yang normatif" dari masyarakat tersebut. Fazlur Rahman menyatakan bahwa konsep "tingkah laku normatif" atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Maka menurutnya unsur yang ada dalam pengertian yang melengkapi "sunnah" tersebut termasuk unsur "kelurusan" dan "kebenaran".
Menurut Fazlur Rahman, pada dasarnya sunnah berarti tingkah laku yang merupakan teladan dan bahwa kepatuhan yang aktual kepada teladan tersebut bukanlah bagian integral dari dari pada arti sunnah, walaupun untuk menyempurnakan sunnah tersebut perlu dipatuhi. Tetapi bahwa sunnah sesungguhnya berarti memberikan sebuah teladan agar teladan tersebut akan atau harus diikuti oleh orang-orang lain. Al-Qur'an juga berbicara mengenai amal perbuatan Nabi yang patut dijadikan teladan, walaupun kadang-kadang mengecam tindakan-tindakan Nabi dalam hal-hal tertentu, tetapi al-Qur'an menjelaskan perilaku Nabi Muhammad dengan memiliki watak yang mulia dan patut dijadikan teladan
Analisis historis Farlur Rahman terhadap al-Awza'i yang dalam suatu kasus tidak sependapat dengan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa "seorang yang menjadi Muslim di negeri non-Muslim meninggalkan kampung halamannya untuk bergabung dengan Muslim-muslim lainnya sedang negerinya kemudian jatuh ke tangan kaum Muslimin, maka harta kekayaan yang berada di negerinya tidak dikembalikan kepadanya tetapi dimasukkan ke dalam mal al-ghanimah. Al-Awza'i menentang pendapat Abu Hanifah dengan mengemukakan bahwa ketika kota Mekkah jatuh ke kaum Muslimin Nabi telah mengembalikan harta kekayaan orang-orang yang telah meninggalkan kota untuk bergabung dengan kaum Muslimin di Madinah. Menurut Abu Yususf, al-Awza'i berkata : "Manusia yang pantas untuk diukuti dan yang Sunnahnya paling patut untuk diikuti adalah Nabi" Abu Yusuf dalam membela pendapat Abu Hanifah mengatakan bahwa praktek kaum Muslimin adalah sesuai dengan pendapat Abu Hanifah sedang perlakuan Nabi Muhammah di Mekkah merupakan kekecualian : "Demikianlah Sunnah dan praktek Islam (walaupun) Nabi Nabi sendiri tidak melakukannya (ketika di Mekkah)". Kemudian Abu Yusuf mengemukakan Sunnah Nabi dengan suku Hawazin yang berebeda. Suku Hawazin setelah mengalami kekalahan, Banu Hawazin menghadap Nabi, memohon ampun serta kebebasan bagi orang-orang mereka yang ditawan serta mengembalikan harta kekayaan mereka. Nabi memenuhi harapan mereka dengan menyerahkan harta rampasan yang merupakan bagian mereka dan perbuatan itu diikuti, kecuali suku-suku tertentu diantara mereka. Oleh karena Nabi terpaksa memberi ganti rugi kepada suku-suku tersebut, dengan demikian harta kekayaan dan budak-dudak milik Banu Hawazin dapat dikembalikan semuanya.
Dengan analisis ini Fazlur Rahman menyatakan bahwa hal yang pertama sekali harus kita perhatikan di dalam kasus di atas adalah pernyataan Awza'i bahwa "Manusia yang Sunnahnya paling patut untuk di diikuti adalah Nabi". Pernyataan ini menurut Fazlur Rahman mengandung pengertian bahwa, Sunnah atau preseden yang otoritatif dapat bersumber dari setiap yang kompoten, dan Sunnah Nabi jauh lebih tinggi daripada preseden-presedn lainnya dan memiliki prioritas di atas preseden-preseden tersebut. Hal kedua adalah penggunaan istilah Sunnah oleh Abu Yusuf dengan membedakan sunnah sebagai praktik yang diterima oleh kaum Muslimin dan sunnah sebagai tindakan Nabi Muhammad. Abu Yusuf memandang tindakan Nabi Muhammad pada saat merebut kota Mekkah sebagai sebuah kekecualian dan tidak dianggapnya sebagai sunnah. Sementara al-Awza'i memandang tindakan Nabi tersebut merupakan sebuah sunnah. Menurut Fazlur Rahman dari dua pendapat ini terlihat perbedaan penafsiran terhadap suatu kasus yang dilakukan oleh Nabi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dengan kasus yang dimukakan di atas, Fazlur Rahman menyimpulkan ; pertama, walaupun jelas sunnah secara ideal bersumber dari teladan Nabi, tetapi konsep sunnah yang dipergunakan oleh umat Islam di masa lampau, secara aktual mencakup praktik yang dilakukan Ummat, kedua, bahwa sunnah yang hidup merupakan sebuah proses yang sedang berjalan, karena disertai ijtihad dan ijma'.

2.    Perkembangan Hadits Dimasa Lampau
secara historis bahwa Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Semasa hidup Nabi Muhammad adalah wajar sekali jika kaum Muslimin membicarakan apakah yang dilakukan dan yang dikatakan Nabi, terutama sekali yang berkenaan dengan masyarakat. Suatu fenome yang diyakini oleh Fazlur Rahman adalah karakter orang-orang Arab yang suka menghafal dan menyampaikan syair, yang menurut Fazlur Rahman bahwa mereka sudah tentu tidak lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan dan ucapan dari seseorang yang mereka akui sebagai Rasul Allah. Maka menurut Fazlur Rahman apabila kita menolak fenomena yang wajar ini berarti kita sangat tidak bersikap rasional dan telah melakukan kesalahan terhadap sejarah.
Analisis historis Fazlur Rahman, bahwa semasa hidup Nabi hadits-hadits Nabi umumnya hanya dipergunakan di dalam "kasus-kasus informal" karena satu-satunya peranan hadits adalah memberikan bimbingan di dalam praktek aktual kaum Muslimin dan kebutuhan ini telah terpenuhi oleh Nabi sendiri. Tetapi setelah Nabi wafat tampaknya hadits mengalamai perkembangan sehingga hadits memiliki status yang "semi-formal", karena adalah wajar sekali jika generasi awal sedang bangkit tersebut mempelajari kehidupan Nabi. Sunnah Nabi diinterpretasi untuk tujuan praktis, yaitu sebagai sesuatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi praktek kaum Muslimin. Karena itu hadits-hadits secara bebas ditafsirkan oleh ummat Islam sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi, dan dinamakan sebagai "Sunnah yang hidup". Maka, pada pase ketiga dan keempat dari abad pertama melalui proses penafsiran secara bebas demi praktik yang aktual, "sunnah yang hidup" berkembang dengan pesat di kalangan ummat Muslimin dan karena perbedaan di dalam praktik "sunnah yang hidup", maka hidits pun berkembang menjadi sebuah disiplin yang formal.
Pada awal sejarah Islam, sebagian besar hadits-hadits yang ada tidak ber sumber dasi Nabi, hal ini bukan disebabkan karena Hadits Nabi jumlahnya sedikit tetapi karena disebabkan oleh ulah generasi-generasi kemudian. Pada abad kedua Hijriah, hampir semua hadits-hadits hukum bahkan hadits-hadits moral tidak bersumber dari Nabi, tetapi kalau ditelusuri hadits-hadits tersebut bersumber dari para sahabat, para "penerus", dan generasi Muslim yang ketiga. Setelah muncul gerekan pemurnian hadits untuk mengembalikan hadits kepada sumber yang paling wajar, yaitu pribadi Nabi Muhammad, maka mazhab-mazhab hukum masa lampau lebih menggunakan dan bersandar kepada "sunnah yang hidup" dan berkembang dari pada sekumpulan pernyataan-pernyataan yang dikatakan bersumber dari Nabi. Karena konsep Sunnah yang dipergunakan oleh ahli-ahli hukum di masa lampau, secara aktual mencakup praktek yang dilakukan Ummat. Walaupun konsep Sunnah yang hidup tersebut masih merupakan sebuah proses yang sedang berjalan - karena disertai ijtihad dan ijma'.
Menurut Fazlur Rahman, sesungguhnya sebagian besar kandungan dari keseluruhan hadits adalah tidak lain dari Sunnah-ijtihad dari generasi pertama kaum Muslimin. Ijtihad ini bersumber dari ide individu, dengan perkataan lain Sunnah yang hidup di masa lampau terlihat di dalam cermin hadits yang disertai dengan rantai perawi. Namun di antara Sunnah dengan Hadits ada perbedaan di antaranya; yaitu apabila secara garis besar Sunnah merupakan sebuah fenomena praktis yang ditujukan kepada norma-norma behavioral, sedangkan Hadits tidak hanya menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga keyakinan-keyakinan dan prinsip relegius.

3.    Gerakan Hadits
Dalam analisis Historis Fazlur Rahman, Gerakan Hadis merupakan gerakan baru di dalam struktur religius Islamsebagai sebuah disiplin dengan sebagian aktivitas al-Syafi’i (hadis hukum misalnya) pada hakikatnya menghendaki bahwa hadits harus berkambang, dan hadits-hadits harus selalu diciptakan dalam situasi-situasi yang beru untuk menghadapi problema-problema yang baru – dibidang sosial, moral, religius dan sebgagainya.  Ahli-ahli hadits klasik sendiri mengetahui bahwa pribahasa-pribahasa moral,pernyataan-perbyataan yang merangsang perbaikan dapat dinyatakan dari nabi, tidak peduli dapat dibuktikan secara historis atau tidak. Hal ini menurut Fazlur Rahman merupakan hadits yang legal dan dogmatis, yakni berkenan dengan keyakian dan praktek yang secara “tepatnya” dimiliki Nabi.
Disamping itu, Sebagian besar kandungan dari seluruh hadits adalah tidak lain dari pada Sunnah-Ijtihad dari generasi peratama kaum muslimin. Ijtihad ini bersumber dari ide individu tetapi setelah beberapa lama dan setelah perjuangan serta konflik-konflik yang seru menentang bid’ah-bid’ah dan ide-ide yang sangat picik dibenarkan oleh Ijma, atau ditaati oleh mayoritas kaum muslimin. Dengan perkataan lain sunnah yang hidup dimasa lampau tersebut terlihat didalam cermin Hadits yang disertai dengan rantai Rawi. Namun diantara sunah dan Hadits ada sebuah perbedaan yang sangat penting; apabila secara garis besarnya Sunnah merupakan sebuah phenomena praktis, maka hadits tidak hanya menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga keyakinan-keyakinan dan prinsip-prinsip religius.    

4.    Hadits dan Kaum Ortodoksi
Menurut pandangan Fazlur Rahman sebuah cirri terpenting dari sejarah Islam, cirri yang jika dilupakan atau disepelekan akan menyebabkan suatu salah paham total terhadap sejarah Islam, adalah kenyataan bahwa begitu perbedaan-perbedaan pendapat dibidang politik, teologi dan hukum mengancam integritas kaum muslimin timbulah ide untuk mempertahankan kaum muslimin. Dokrin yang menyatakan bahwa persatuan ini adalah semacam sintesa atau via media (al-sunnah) adalah sebuah akibat yang wajar dan perlu. Dengan demikian istilah “as-sunnah wal jama’ah”, sebagai sebuah ungkapan tidak tepat tetapi dianggap saling berhubungan. Sesungguhnya sejak tercetus nya ide persatuan diatas pungsi yang utama dari kaum ortodoks muslim bukan untuk mendiktekan atau menegaskan tetapi untuk mengkonsulidasikan dan mempormulasikan kebenaran religius; bukan untuk menjadikan penengah diantara Allah dengan manusia atau untuk menjadi kelompok pemerang diantara kelompok-kelompok lainnya. Didalam drama bersar penciptaan struktur ortodeks ini secara tepatnya yang merupakan plopor-plopor adalah Ahl al-Hadits.
Peperangan-peperangan politik beserta pertentangan-pertentangan teologis dan dogmatis yang usul menyusul telah menimbulkan hadits-hadits yang sangangat bersifat prediktif, dan dikenal sebagai “Hadits mengenai perang saudara” (Hadits al-Fitan). Jelas memberikan jalan tengah terutama sekali diantara golongan-golongan Khaeiji dan Syi’ah yang secara teologis dan politis memiliki pandangan-pandangan ekstrim. Untuk membenarkan hadits-hadits mengenai perang saudara ini, diedarkanlah hadits yang sangat jitu. Misalya hadis-hadis mengenai “kemerdekaan Manusia, Keadilan Tuhan, dan mendefinisikan hubungan Islam dengan Iman”.
Menurut Fazlur Rahman, walaupun pada awal mulanya konsep “mayoritas yang berada ditengah-tengah’ ini timbul karena kebutuhan politik namun akhirnya dipergunakan pula dibidang theology dan hukum karena masing-masing golongan politik cendrung kepada suatu landasan theology-moral-hukum untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya pertentangan-pertentang ini adalah yang palinag berbahaya, tidak hanya karena merupakan pertentangan-pertentangan moral theologies yang pertama sekali terjadi dalam sejarah Islam, tetapi juga karena sifatnya yang sangat mengancam struktur masyarakat Muslim dalam perkembangan selanjutnya.         
5.    Sunnah dan Hadits
Menurut Fazlur Rahman, ada suatu permasalahan yang sangat urgen dalam pembahasan Sunnah dan Hadits adalah “apakah hubungan yang sesunguhnya diantara sunnah dan Hadits?”, menurut Fazlur Rahman tidak ada kalangan klasik Islam – baik kalangan Khawarij maupun Mu’tazilah – yang pernah menyangkal validitas Sunnah, dan bahwa yang mereka tentang hanyalah formulasi sunnah didalam bentuk Hadits. Selanjutnya Fazlur Rahman memandang, sangat ironis dan menyedihkan bahwa sering kali argumentasi anti-hadits (yang dianggap pula bersifat anti-sunnah) berdasrkan kajian terhadap hadits-hadits tertentu yang dipilih secara subjektif dan naïf, menyatakan bahwa Nabi Muhammad, Umar atau salah satu diantara tokoh-tokoh diawal sejarah Islam telah melarang atau mencegah penyiaran hadits nabi. Disamping pandangan ini tidak masuk akal, hadits-hadits yang bersikap anti hadis ini jika secara historis kita tinjau dengan cermat ternyata merupakan produk langsung dari gerakan hadits. Apabila semua hadits tidak kita percayai maka yang tertinggal hanyalah kehampaan jurang empatbelas abad yang memisahkan kita dari Nabi Muhammad. Dan dalam kehampaan jrang ini tidak hanya al-Qur’an yang terlepas dari pegangan kita karena tingkah-tingkah subjektif kita – karena yang mengokohkan al-Qur’an adalah tindakan lain dari aktivitas Nabi – tetapi juga eksitensi serta integritas al-Qur’an, sedang eksitensi Nabi sendiri menjadi sebuah mitos yang tak berdasar.
Walaupun secara garis besarnya hadits-hadits teknis, tidak historis yang berbeda dari hadits-hadits historis dan biografis, tetapi tetap harus dipandang bersipat nirmatif didalam suatu pengertian dasar. Oleh karana itu penulis akan mengeungkapkan pandangan pandangan Fazlur Rahman secara mendetai dalam pembahasan selanjutnya.
Evolusi historis dari sunnah Nabi menjadi hadits digambarkan Fazlur Rahman sebagai berikut. Adalah suatu kenyataan bahwa Sunnah Nabi telah melewati proses yang panjang sebalum ia dibukukan (tadwin) menjadi riwayat-riwayat hadits. Pada saat itu, yakni ketika hadits belum dibukukan (tadwin), para sahabat dan tabi'in, khususnya mereka yang berprofesi sebagai hakim, ahlu hukum, teoritisi, politikus dan lain-lain, berusaha menjabarkan dan menafsirkan sunnah Nabi demi kepentingan kaum Muslimin saat itu. Hasil penjabaran dan pemahaman tersebut juga dianggap sebagai sunnah, dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati bersama atau sunnah yang hidup. Sedangkan evolusi konsep sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup terjadi melalui interaksi ijtihad, yakni suatu upaya penjabaran dan penafsiran sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup. Dengan demikian terdapat dua substansi yang bersatu dalam sunnah yang hidup, yaitu (1) sunnah atau teladan Nabi, dan (2) penafisran para sahabat terhadap sunnah Nabi tersebut. Analisis proses evolusi sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan kemudian diformulasikan menjadi hadits adalah bahwa sebagian besar dari hadits tidak lain merupakan sunnah hasil ijtihad generasi pertama kaum Muslimin. Ijtihad tersebut berasal dari ide individu, tetapi setelah lama berinteraksi akhirnya menjadi praktik yang disepakai di kalangan mereka, atau menjadi ijma'. Dengan perkataan lain sunnah yang hidup di masa awal tersebut terlihat sebagai hadits dengan disertakan rangkaian perawi.
Untuk mendukung eksistensi sunnah yang hidup, Fazlur Rahman menunjukkan beberapa bukti sejarah, seperti kebiasaan berargumentasi di bidang hukum pada saat itu adalah "demikianlah praktek kaum Muslimin atau pemimpin Muslim; upaya Imam Malik mengumpulkan riwayat-riwayat untuk mempertahankan sunnah kaum Muslimin Madinah, bahkan oleh Imam Malik sunnah ahli Madinah dipegang lebih kuat daripada riwayat hadits ahad. Itulah sebabnya mengapa istilah Sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersama, yaitu praktek yang aktual, oleh Malik dipergunakan sebagai ekuivalen dari istilah al-amar al-mujtama' 'alayhi atau dari istilah ijma'.
Selanjutnya Fazlur Rahman, menunjukkan Hadits-hadits teknis, tidak historis, yang berbeda dari hadits-hadits historis dan biografis, tetapi tetap harus dipandang bersifat normatif di dalam suatu pengertian dasar. Untuk menjawab pengertian dasar, Fazlur Rahman mengemukan beberapa hal sebagai berikut (1) Bahwa hadits-hadits teknis secara garis besarnya tidak bersifat historis di dalam formulasi-formulasinya yang aktual. Contoh pertama, adalah hadits-hadits fundamental, yaitu hadits-hadits yang berkepentingan dengan metodologi Islam itu sendiri. Jika Hadits-hadits mengenai prinsip-prinsip fundamental dari ijma' dan Hadits terbukti tidak historis, maka bukti-bukti yang terlihat sekilas (prima facie) bagi historis dari hampir semua Hadits-hadits yang lain menjadi gugur. Kedua, urutan perawi yang merupakan jaminan terhadap validitas Hadits. Menurut Fazlur Rahman, Isnad juga telah meminimalkan usaha-usaha pemalsuan terhadap Hadits. Karena menurutnya sudah banyak sekali Hadits-hadits palsu yang telah dihilangkan karena aktivitas yang tak henti-hentinya dari ahli-ahli hadits kita berdasarkan Isnad. Tetapi walaupun Isnad ini penting di dalam meminimalkan pemalsuan Hadits, tetapi menurutnya Isnad tidak dapat dijadikan sebuah argumentasi yang bersifat positif dan final. Isnad, sebagai argumentasi positif dan final adalah karena Isnad itu berkembang di belakang hari yaitu menjelang akhir abad pertama hijriah. Tetapi menurut Fazlur Rahman Hadits-hadits yang dinyatakan bersifat predektif mengenai gejolak-gejolak politik di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim mempunyai Isnad-isnad yang mengagumkan, namun jika kita benar-benar jujur kepada sejarah Hadits-hadits ini tidak dapat diterima. (2) Tesa Fazlur Rahman mengenai non-historitas Hadits-hadits. Keberatan fundamental Fazlur Rahman yang menurutnya tidak bersifat ilmiah, tetapi regius, yaitu misalnya hadits-hadits yang merupakan usaha penghianatan.
Tetapi yang sesungguhnya menjadi masalah adalah apakah Ahlul Hadits memandang aktivitas mereka benar-benar berdasarkan landasan historis. (3) Menurut Fazlur Rahman, walaupun tidak benar-benar bersifat historis namun jelas sekali bahwa Hadits tidak terpisah dari Sunnah Nabi. Menurutnya, sesungguhnya ada sebuah hubungan erat yang tak dapat dilepaskan di antara Hadits dengan Sunnah Nabi. (4) Landasan yang utama adalah teladan Nabi. Hadits merupakan hasil karya dari generasi-generasi Muslim di masa lampau berdasarkan teladan tersebut. Sesungguhnya Hadits adalah keseluruhan aphorisme yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi, oleh kaum Muslimin sendiri; walaupun secara historis tidak terlepas dari Nabi. Tetapi menurutnya, sifat yang aphoristik menunjukkan bahwa Hadits tersebut tidak bersifat historis. Secara lebih tepat dapat dikatakab Hadits tersebut adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh Ummat Muslim di masa lampau. Dalam pembahasan selanjutnya, Fazlur Rahman melakukan kritik terhadap landasan-landasan berpikir bagi perkembangan studi-studi Islam di Barat dan Fazlur Rahman mencoba menerangkan kekeliruan konsepsional sarjana-sarjana (orientalis) mengenai Sunnah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa hal yang menyebabkan sarjana-sarjana Barat tersebut menolak konsep Sunnah Nabi adalah karena mereka menemukan (1) sebagian dari kandungan Sunnah merupakan kontinuasi langsung dari kebiasaan dan adat istiadat Arab dari masa sebelum Islam, (2) sebagian besardari kandungan Sunnah adalah hasil pemikiran ahli-ahli hukum Islam yang dengan Ijtihad pribadi mereka telah menarik kesimpulan-kesimpulan dari Sunnah atau praktek yang ada - yang terpenting di antara semuanya - telah mamasukkan unsur-unsur luar, terutama sumber-sunber Yahudi dan praktek-praktek pemerintahan Bizantium dan Parsi, (3) Hadits berkembang menjadi sebuah gerakan yang besar dan berubah menjadi fenomena massal pada akhir abad kedua, dan pada akhir abad ketiga Hijriah, seluruh kandungan Sunnah pada masa itu dikatakan bersumber dari Nabi Muhammad sendiri di bawah perlindungan konsep "Sunnah Nabi".
Fazlur Rahman, menyatakan bahwa kisah perkembangan Sunnah di atas pada dasarnya benar sehubungan dengan kandungannya, tetapi menurutnya tidak sehubungan dengan konsepnya yang menyatakan bahwa "Sunnah Nabi" tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam hingga masa kini, kandungan Sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan untuk bersifat spesifik secara mutlak, konsep Sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup Sunnah dari Nabi tetapi juga penafsiran-penafsiran terhadap Sunnah dari Nabi, Sunnah dalam pengertian terakhir ini sama luasnya dengan ijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus, gerekan pemurnian Hadits yang besar-besaran hubungan organis di antara Sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi rusak.
Menurut Fazlur Rahman, sepanjang mengenai evolusi dan perkembangan muatan Sunnah yang berkembang dari waktu ke waktu, tidak bersikeras menyangkal tesa-tesa yang dikemukan oleh orientalis, tetapi menurut Fazlur Rahman, kesalahan para sarjana-sarjan orientalis disebabkan oleh pandangan mereka yang mencampuradukan antara pengertian sunnah sebagai sebuah praktik yang hidup dan sebagai praktek yang bersifat normatif. Kesalahan memahami pengertian ini mengantarkan para sarjana orientalis menyimpulkan konseptualisasi temuan hidtoris, bahwa Nabi tidak meninggalkan sunnah (praktik normatif), karena data-data historis yang mereka kumpulkan menunjukkan adanya perubahan dan perkembangan praktik aktual dari generasi awal setelah Nabi sampai dengan generasi akhir menjelang perumusan konsep hadits (sekitar abad ke-2H/8M.).
Berdasarkan analisis-analisis diatas, Fazlur Rahman mengetengahkan suatu konsep solusi bahwa, kita harus melakuakan revaluasi terhadap anake ragam unsure-unsur didalam hadits dan reinterpretasi yang sempurna terhadap unsure-unsur tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi moral sosial yang sudah berubah pada masa kini hal ini hanya dapat dilakukan melalui studi-studi historis terhadap hadits dengan mengubahnya menjadi “sunnah yang hidup”, dan dengan secara tegas mebedakan nilai secara ril yang dikandungnya dari latar belakng situasionalnya. Dengan demikian kita akan mendapatkan bahwa beberapa halpokok yang dikemukakan oleh kaum ortodok tradisional kita harus dimodifikasikan dan ditegaskan kembali (sebagai conto, masalah determinisme dan kemerdekaan berkehendak). Disamping masalah tersebut, prinsip permasalahan situasional kita harus membangkitkan kembali nilai moral yang ril dari latar belakang situasionala yang bersangkutan, kita harus menangani hadits Hukum.
Berdasarkan peninjauan kembali separti ini kita dapat mengembalikan Hadits menjadi Sunnah – yaitu sumbernya yang mulia- dan dengan penafsiran situasional kita dapat menghidupkan kembali norma-norma yang dapat kita terapkan untuk situasi masa kini.  Disamping itu fazlur Rahman menegaskan Sunnah yang hidup bukanlah pemalsuan, tetapi penafsiran dan formulasi yang progresif terhadap Sunnah Nabi. Yang harus kita lakukan pada masa sekarang ini adalah merenungkan Hadits kedalam Sunnah yang hidup berdasrkan penafsiran historis sehingga hita dapat menyimpulkan norma-norma untuk diri kita sendiri melalui suatu teori etika yang memadai dan menujukan hukum-hukum yang baru dari teori ini.

PERKEMBANGAN-PERKEMBANGA POST PORMATIF
DIDALAM ISLAM

            Gerakan Ahli-Sunnah adalah perjuangan untuk menciptakan sintesa dari pandangan-pandangan yang ekstrim, menciptakan stabilisasi dan tetap berada di atas jalan tengah. Tak dapat diragukan lagi aktifitas Ahli-Sunnah inilah telah menyelamatkan kehidupan umat Muslim. Dan karena konsolidasi yang dilakukannya serta kemajuan yang dicapainya, dorongan tasanun ini penting sekali untuk dipertahankan. Ketika Islam Sunni (sikap religio-politik dari mayoritas Ummah yang berada di tengah jalan) menerima sebuah kandungan yang difromulasikan secara eksplisit dan sebuah “ortodoksi”, atau dengan pengertian yang lebih sempurna, telah lahir melalui perumusan dan perluasan yang progresif terhadap hadits-hadits dan sistem hukum (keduanya berlakan seiring), maka terciptalah ekuilibrium dan kohesi social yang mengagumkan. Setelah penyempurnaan terhadap sistem  theologies, hukum, politis dan sosial yang rumit , ekuilibrium dan konsolidasi yang diakibatkannya menciptakan semarak  yang sangat mengagumkan di bidang-bidang intelektual, spiritual, ilmiah dan umumnya di semua  bidang kultural.
            Kandungan aktual dari penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang mana menurut Fazlur Rahman, pada awal mula Islam telah di ekspresikan sebagai “Sunnah yang hidup” tidak lagi menjadi Sunnah yang hidup atau suatu proses yang berkesinambbungan, tetapi dipandang sebagai perwujudan yang unik dari kehendak Allah. Dokrin-doktrin yang bersumber dari sunnah yang hidup sebagai produk sejarah Islam yang bertitik tolak dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan perantara Hadits Nabi berubah menjadi “rukun-rukun iman yang tidak dapat berubah”.  Kini dengan cara yang agak lebih detail kita akan mempelajari bagai manakah sebenarnya kandungan doktrin yang telah berubah tersebut apakah epeknya terhadap kaum muslimin, bahkan bagai mana aktivias kaum muslimin dibidang-bidang yang akan dipaparkan ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kandungan doktrin yang dipormulasikan melalui Hadits tersebut.

1.    Tata Politik
Kelahiran dan aktifitas politik dari sekte khariji dan Syi’ah, terutama sekali sekte  khariji, telah memberikan kandungan politis kepada Sunnisme. Pada mulanya orang-orang sunni berada di tengah-tengah di antara dua golongan yang ekstrim ini, setidaknya pada level doktrinalnya. Berlawanan dengan klaim-klaim legitimis Syi’ah, sesungguhnya  orang-orang Sunni inilah yang berhasil mengetengahkan Ijma’. Tetapi didalam menghadapi pemberontakan khariji dan terutama dalam menghadapi perang-perang saudara, orang-orang sunni menandaskan konsep laissez fair (konsep yang berprinsip membiarkan masyarakat membiarkan apa yang mereka sukai) dan tidak mencampuri urusan politik bahkan mereka menekankan doktrin-doktrin mengenai mengenai kepatuhan kepatuhan kepada otoritas de fakto. (doktrin “memiliki hukum yang bagaimanapun juga bentuknya adalah lebih baik daripada sama sekali tidak memiliki hukum”) tetapi sayangnya menurut Fazlur Rahman begitu doktrin telah diterima solah-olah kebenarannya telah dijamin oleh Nabi, bahkan ia berubah sebuah bagian yang permanen dari keyakinan sunni. Orang-orang sunni hampir semua menjadi pendukung setiap pemimpin negara.
Disamping itu, Ahli-Sunnah wal Jama’ah  yang kelahirannya berdasarkan dalil untuk mengambil sikap moderat, jalan tengah dan menciptakan sintesa – yang merupakan sebuah proses yang berkelanjutan – benar-benar telah berfungsi demikian pada fase-fase awal perkebangannya, tetpi akhirnya, setelah kandungan sistemnya berkembang dengan sempurna, sifatnya berubah menjadi otoriter, kaku dan tak mengenal toleransi. Ahli-Sunnah wal Jama’ah yang seharusnya terus berfungsi sebagai “kekuatan yang menyerap dan menciptakan sintesa” berubah menjadi golongan diantara golongan-golongan lainnya dengan sikap-sikapnya yang menolak dan eksklusif.
Terlepas dari penomena sunni, golongan Syi’ah, yang setelah fase awalnya sebagai sebuah legitimisme politik yang murni, berpungsi sebagai sebuah gerakan protes dan repormasi sosial-kultur didalam Islam pada abad kedua dan ketiga bergerak dibawah tanah dan mendapatkan tekanan dari luar, menggunakan taktik-taktik subversif. Ketika orang-orang Syi’ah tampil kembali kepanggung kekuasaan (dalam bentuk gerakan Isma’ili) yang secara politis berhasil, merekapun berubah karena struktur teologisnya yang terpusat kepada doktrin Imamalogi (menggantiakan Ijma’ dengan pimpinan teoritis dari imam yang maha sempurna) – yang jelas sekali merupakan pengaruh dari ide-ide Gostik Kristen – dan terkenal karena doktrin isolasionis taqiyah-nya.
            Menyikapi kenyataan diatas, Fazlur Rahman tidak bermaksud untuk mengkaim bahwa ketidak stabilan politik diatas tanpa disadari, walaupun secara tidak langsung didukung oleh sikap-sikap religius yang ditanamkan oleh kalangan ortodoks, merupakan satu-satunya penyebab kehancuran kebudayaan Islam. Tetapi ia mengatakan bahwa kwtidak stabilan politik tersebut sekalipun merupakan sebuah faktor yang sangat penting dan sebuah gejala yang paling menonjol dari kehancuran kebudayaan Islam.

     
2.    Prinsip-prinsip Moral
Masalah pokok dibidang moral mengenai kemerdekaan dan pertanggungjawaban manusia,  masalah yang harus kita perhatikan adalah al-Qur’an dan amal perbuatan Nabi merupakan sebuah kerangka yang lengkap untuk menjamin energi kreatif  yang maksimal dari ummat manusia, dan untuk menjaga kretifitas ummat manusia ini tetap berada pada saluran moral yang benar. Dengan  jelas dan tandas al-Qur’an telah menerangkan hal-hal yang diperlukan untuk tujuan-tujuan ini. Al-qur’an dengan jelas memperingatkan kita terhadap kecenderungan-kecenderungan nihilis yang menyebabkan manusia memandang dirinya sebagai hukum bagi dirinya sendiri, kecenderungan-kecenderungan yang dapat dikatakan bersifat Takabbur, dan menyerukan  agar manusia mentaati hukum-moral. Selain dari pada itu kitab ini semaksimal mungkin telah membangkitkan sikap optimism yang benar, mengutuk sikap keputusasaan sebegai dosa yang paling berat, memberikan potensi-potensi yang tidak terhingga kepada manusia, dan membuat manusia bertanggung jawab untuk melaksnakan “amanah” ini. Al-Qur’an tidak ingin membahas masalah kemerdekaan, berkehendak manusia ataupun determinisme, tetapi berdasarkan apresiasi yang terhadap sifat hakiki manusia ia ingin semaksimal mungkin membebaskan enersi moral yang kreatif di dalam diri manusia.

3.    Kehidupan Sprtual Sufisme
Menurut Fazlur Rahman,  pada masa permulaannya Sufisme adalah sikap protes moral-spritual terhadap perkembangan-perkembangan tertentu yang bersifat doktrinal dan politisi didalam ummat Islam. Disamping itu Sufisme-pun sebuah gerakan moral yang menandaskan kembali betapa pentingnya usaha-usaha interiorisasi, pendalaman dan pensucian terhadap motif moral dan memperingatkan kepada manusia mengenai tanggung jawab maha berat yang di bebankan hidup ini keatas pundak mereka.
 Namun, sangat disayangkan bawa gerakan ini akhirnya menunjukan gejala-gejala yang merupakan reaksi yang ekstrim. Gerakan ini memperkembangkan Zuhud, suatu penyangkalan yang keterlaluan terhadap dunia, suatu spritualitas yang integral, dan akhirnya suatu gimastik moral yang bersifat pormal. dan dari abad ke 6 dan ke 7 Hijriah Sufisme berubah menjadi gerakan agama populer, menyatakan dirinya beserta etosnya yang khas tidak hanya sebagai sebuah agama didalam agama tetapi juga sebagai sebuah agama yang lebih tinggi  dari agama. Disamping itu sufisme menegakkan sebuah hirarki yang tak terlihat. Hirarki ini terdiri dari manusia-manusia suci “yang berpaling dari dunia” dengan sebuah “Qutu” diatas pundaknya. Ia mengatakan tanpa ada hirarkhi yang senantiasa ini, alam semesta tentu telah binasa. (kita tidak mengetahui apakah fahan Syi’ah yang mempengaruhinya atau sebaliknya, tetapi yang jelas bahwa pada waktu yang bersamaan konsep siah mengenal “Imam yang gaib”)
Menggapi penomena diatas, Menurut Fazlur Rahman, Islam telah menyaksikan sebuah usaha yang sangat besar untuk melakukan reformasi dan integrasi terhadap unsur-unsur spritual dan formal dalam kehidupan kaum Muslimin. Al-Ghazali misalnya; menyerukan kepada para ‘Ulama bahwa, “jika diberikan penafsiran yang baru maka teologi dan hukum mereka – walaupun harus ditaati – adalah hampa”. Kepada para sufi ia menegaskan bahwa “pengalaman-pengalaman spritual mereka jangan sampai ngawur, dan bahwa pengalaman – pengalaman itu harus dapat diuji oleh hal-hal lain yang bukan pengalaman itu sendiri, yaitu nilai-nilai Islam. Tetapi baru satu abad setelah al-Ghazali ketika sufisme berubah menjadi fenomena masal, Ibnu Arabi dan sesudah itu pengikut-pengikutnya memperkembangkan sebuah doktrin yang benar-benar bersifat penteistik dengan nama “intuisi mistik”  sufisme teosofis ini adalah tidak lebih dan tidak kurang daripada filsafat murni yang menggunakan nama Sufisme suatu gerakan yang telah dimulai untuk meningkatkan moral kenyataannya setelah diserang al-Ghazali, kegiatan filsafat bergerak secara diam-diam dan tampil kembali dengan nama “intuisi teosofis”. Dalam menanggapi hal tersebut menurut Fazlur Rahman, seharusnya yang perlu Sufisme buat adalah sebuah kerangka yang akan merehabilisasi “intuisi” Sufi kedalam akal pikiran, dengan menjelaskan sifat haqiqi yang perseptif dan pormulatif dari akal pikiran.  

4.    Gerakan Filosofis
Gerakan filosofis di dalam Islam yang membuahkan salah satu warisan terkaya di dalam kultur Islam dan yang pengaruhnya terhadap jalan pemikiran orang-orang Barat sedemikian dalam, yang Nampak jelas dan dapat bertahann hingga saat ini, adalah kelanjutan dari pengalaman pemikiran yang rasioanlitis dari orang-orang Mu’tazilah pada abad ke-2, ke-3, ke-4. Filosof besar Islam yang pertama, al-Kindi (meninggal kira-kira pada tahun 260/873) jelas sekali mempunyai latar belakang Mu’tazilah. Walaupun demikian, rasionalisme Mu’tazilah  tidak dapat kita katakan benar-benar bersifat folisofis, karena secara  garis besarnya terbatas kepada masalah-masalah theologies. Misalnya mereka sangat tertarik kepada masalah kebebasan-berkehendak manusia, tetapi secara filosofis ataupun secara mutlak titik gravitasi pemikiran mereka bukanlah masalah ini. Umumnya mereka menceburi masalah ini selama ada kaitannya dengan konsep Tuhan, yaitu apakah kebebasan-berkehendak manusia itu sesuai atau tidak dengan konsep mengenai Allah Yang Maha Adil.
Mengenai pemikiran-pemikiran filosofis muslim yang sangat penting dalam duinia Islam adalah pemikiran relijius dari para filosofis muslim seperti Ibn Sina yang doktrin-doktrinnya secara historis paling penting adalah bahwa “didalam setiapmasalah dimana agama dan pemikiran rasional bertemu keduanya tidak menemukan hasil-hasil yang sama sekali berbeda ataupun identik tetapi yang tampaknya pararel”. Ibn Rusy dalam Fashl Maqal mengemukakan pendapat yang sama, yaitu dua buah kebenaran “kebenaran religius dan kebenaran rasional”.  Oleh karena itu dalam hal ini kita mengetahui adanya paralelisme agama-filsafat yang merupakan hasil dari pendekatan yang secara sadar dilakukan oleh para filosof terhadaf agama. Namun dalam hal ini menurut al-Gahazali ketika menyikapi dari sebagian pendapat-pendapat para filosof diantaranya mengenai, ke-qadiman alam, kebangkitan jiwa. Al-Gahzali dalam “Tahafut al-Falsafah menyatakan “apakah fararelisme mengenai agama filsafat menyebabkan keyakinan para filosof itu berkenaan dengan hubungan timbal balik diantara agama dengan filsafat, khususnya kesalahan paling besar yang dilakukan ibn sina dan al-farabi adalah mengasimilasikan kebenaran religius atau moral kedalam kebenaran intelektual atau “natural”. 
 Namun, menurut Fazlur Rahman, berkaitan dengan pararelisma agama-filsafat, para filosof membuat saltus mortalis dan menyimpulkan bahwa; (1) Filsaafat dan agama pada dasarnya menangani masalah yang sama. (2) Nabi pada dasarnya seorang Filosof (3) karena yang diserukan nabi seluruhnya bukan kalang intelektual maka wahyu yang disampaikan sudah sewajarnya disesuaikan dengan kata-kata yang dapat dipahami oleh khalayak umum.
5.    Sifat Pendidikan
Sikap kalangan ortodoks terhadap filsafat khususnya dan terhadap “sains-sains rasional” umumnya secara langsung membawa kita kepada peninjauan secara singkat mengenai awal mula, perkembangan dan sifat dari pendidikan Islam beserta kandungan-kandungannya. Al-Qur’an sering mengemukakan perkataan ‘ilm, kata-kata jadiannya yang umum, dan pengertiannya sebagai “pengetahuan” melalui belajar, berfikir, pengalaman dan lain-lain sebagainya. Dengan pengertian yang seperti  inilah  perkataan ‘ilm dipergunakan pada zaman Nabi. Tetapi setelah generasi para sahabat, Islam mulai berkembang sebagai sebuah Tradisi. Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa perkembangan penting di dalam kebangkitan dan evolusi metodologi Islam, atau kerangka prinsip-prinsip dimana pemikiran Islam terjadi. Prinsip-prinsip ini (sudah tentu selain disamping yang dikemukakan oleh Al-Qur’an) adalah sunnah, Ijtihad, dan Ijma’. Kita telah mengetahui bahwa di awal sejarah Islam konsep-konsep Ijtihad dan Ijma’ tidak hanya saling berhubungan satu sama lainnya, tetapi masing-masing diantara keduanya behubungan satu sama lainnya, tetapi masing-masing diantara keduanya berhubungan pula dengan konsep Sunnah. Sunnah ini bermula dari sunnah Nabi dan berubah menjadi proses penafsiran dan penyempurnaan yang berkelanjutan terus-menerus dan didukung oleh Ijma’. Proses kretifitas ini terhenti ketika Sunnah yang hidup ditempa ke dalam bentuk Hadits-hadits dan dinyatakan bersumber dari Nabi. Di dalam proses ini  perbedaan-perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin mengenai hukum, moral dan politik yang memegang peranan yang menentukan. Proses ini yang mungkin bermula pada peralihan abad pertama dan kedua, mempunyai momentum yang dahsyat pada abad ke dua dan membuahkan hasil pada abad ketiga.
Dalam sejarah islam abad awal, kaum muslimin tidak memperkembangkan pendidikan tinggi secara sistematis. Sekolah-sekolah yang didirikan hanya mengajarkan tingkatan dasar, kepada anak-anak hanya diberikan pengetahuan baca tulis al-Quran, dan kadang dasar menghitung. Pendidikan tinggi hanya pada pribadi-pribadi tertentu, buakan pada sekolah-sekaolah. Murid-murid berpindah-pindah dari satu syekh ke Syekh lain. Akibatnya tidak ada penyaluran yang sisteatis dari pendidikan dasar ketingkat yang lebih tinggi. Tempat pelajar yang terpnting dan pertama sekali dibangun oleh pemerintahan pusat atas perintah al-Ma’mun adalah Baitul Hikmah atau rumah kebijaksanaan yang termashur dibagdad. Yang dikuasai rasionalis-rasionalis Mu’tazilah. Disamping itu Syi’ah melakukan usaha-usaha dalam menyebarkan pandangannya dengan cara mendirkan sekolah-sekolah, yang paling termasyhur adalah Al-Azhar yang dibangun olel orang-orang Fatimiah dan kemudian hari jatuh kekalangan ortodok  begitu orang-orang fatimiah direbut oleh orang-orang  Ayubiah. Dari pengalaman-pengalaman ini dan sebagai tangtangan bagi kaum ortodok mengorganisir serta mempormulasikan pendidikan, yang pertamakali dan yang terpenting sekolah tinggi ortodok dibangun oleh Wajir Saljuq, Nidzhamul Muluk, pada abad ke 11 masehi, dimana al-Ghazali yang termashur sebagai guru besarnya.
Menuntut Ilmu “Thalaul ‘Ilm” menurut pandangan ortodok adalah proses perjalanan yang lama dan sukar dari suatu temat ketempat lain tempat duduk tazim menerima materi daris eorang guru dan menerima tradisi dari sang guru. Kaum klasik alam perkembangannya, dalam memaknai “pengetahuan” sebagai mana yang dikatakan al-Syafi’I diklasifikasikan kedalam dua bagian yaitu; pengetahuan mengenai agama dan pengetahuan mengenai manusia (kedokteran).
Mengenai istilah fikih dalam  keunculanya digunakan deianga “pemahaman, pemikiran” yaitu sebagai suatu proses, tetapi dikemudian hari ketika hukum itu berkembang, istialah itu dikenakan kepada hukum, bukan sebuah proses mengenai masalah-masalah hukum tetapi sebagai sekumpulan pengetahuan hukum, hasil konkrit dari pemikiran mengenai hukum. Selanjutnya beberapa abad setelah itu (kira-kira abad keempat) istilah fiqih tidak lagi ada kaitanya dengan kosep pemahaman yang ada pada masa awal Islam bahkan dilarang. Inilah yang menurut Fazlur Rahman yang harus di formulasikan kembali, sehingga hukum Islam yang lahir dari suatu pemahaman jangan dijadikan sesuatu hukum yang telah final (dogma yang tidak dapat direfisi kembali), melainkan harus dijadikan sebagai proses “sunah yang hidup”, sehingga kaum muslimin yang hidup pada kemudian hari dapat melakukan penafsiran-penafsiran yang progresif terhadap “sunnah yang hidup” tersebut.




IJTIHAD PADA ABAD-ABAD YANG KEMUDIAN

            Di dalam dunia Islam dan dunia ilmu pengetahuan Islam pada masa kini, kita telah bisa mandengar pernyataan bahwa “pintu ijtihad (pemikiran baru) di dalam Islam sudah tertutup”. Tidak seorangpun yang benar-benar mengetahui kapankah “pintu ijtihad” tersebut ditutup dan siapakah sesunggunya yang telah menutupnya.bahkan mengenai penutupan “pintu ijtihad” itu sendiri, walaupun kita dapat menemukan penilaian-penilaian dari para penulis di kemudian hari bahwa “pintu ijtihad telah tertutup”. Penilaian-penilaian tersebut dikenakan pula kepada keadaan-keadaan di masa lampau dan, sejauh yang dapat kita saksikan tidak tertuju kepada pernyataan tertentu mengenai penutupan pintu ijtihad. Dengan demikian, menurut Fazlur Rahman, walaupun secara formal pintuu ijtihad tidak pernah tertutup oleh siapapun juga, atau oleh siapapun juga yang memiliki otoritas yang besar di dalam Islam, namun suatu Keadaan secara lambat laun serta pasti melanda dunia Islam dimana seluruh kegiatan berfikir secara umumnya terhenti.
Selanjutnya menurut Fazlur Rahman, ciri pertama yang mengesankan seseorang dalam mempelajari literatur yuristik Islam padazaman pertengahan adalah pormulasinya, formulasi ini terutama sekali diakibatkan oleh cara perkembangan kerangka atau methodelogi ini. Selain itu kandungan aktual yang telah berkembang dalam kandungan methodologis diabadikan menjadi dogma Islam dengan mempergunakan otoritas Nabi. Sesungguhnya konsekuensi dari berbagai dogma dan sikap yang dikemukakan dan diterima oleh ortodok beraksi diatas landasan-landasan hukum. seperti; “peran Akal (apakah akal dapat menentukan baik atau buruk) dan kebebasan berkehendak manusia” misalnya karena ortodok telah menolak andangan mu’tazilahmengenai peran akal, maka pandangan teologis mereka yang anti rasional ini juga mempengaruhi sikap terhadap pemikiran hukum.
Seorang pemuka yang paling rasional dan liberal dari kalangan ortodoksi sendiri, Al-Amidi (wafat pada tahun 631 Hijriyah) di dalam karyanya yang termashur mengenai yurisprudensi menyatakan:  “Kalian harus mengetahui bahwa tidak ada hakim (atau penengah) kecuali Allah dan tidak ada hukuman selain hukuman-Nya. Sebuah akibat yang perlu dari (preposisi) ini bahwa akal tidak akan menyatakan apakah segala sesuatu itu baik atau buruk dan bahwa akal tidak dapat mengharuskan sikap kesyukuran kepdada yang melimpahkan rahmat. Sesunggunya tidak ada peraturan (atau hukum) sebelum Syari’ah diwahyukan”.    Inilah prinsip terpenting yang dimasukkan oleh theology dogmatis beserta formulasi-formulasinya ke dalam Yurisprudensi. Tetapi ada pula doktrin-doktrin lain, misalnya yang mengatakan bahwa sesungguhnya manusia tidak memiliki kemerdekaan-berkehendak, yang telah berbuat serupa. Dalam hal ini as-Syatibi berkata : ada kebenaran yang dapat serta perlu diketahui manusia. Ada kebenaran-kebenaran yang tidak dapat serta tidak perlu diketahui manusia. Adapula kebenaran-kebenaran tergantung yang mungkin saja diketahui atau tidak oleh manusia.
Berkeaan dengan ijtihad, ada beberapa istilah mengenai tingkatan ijtihad tersebut menurut kaum klasik “mujtahid mutlak (ijtihad yang bersipat global) dan mujtahid muntaqil (ijtihad bersifat parsial, hanya dalam persoalan-persoalan tertentu)”. Dasamping itu ada bebrapa kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang mujtahid. Menurut al-Ghazali dan Fahkrudin al-Razi, pertama kali dan yang terpenting bahkan sebelum ilmu pengetahian islam adalah kesanggupan intelektual untuk menarik deduksideduksi. Al Ghazali mengatakan “argumen-argumen yang memiliki paliditas dalam hukum ada tiga macam: pertama; argumen-argumen rasional yang memiliki bukti. Kedua; argumen-argumen syariah yang memiliki validitas dalam hukum karena Syari’ah telah menggariskan demikian. Ketiga; argumen-argumen konvensional dimana yang kita maksudkan adalah penggunaan-penggunaan linguistik” 
Mengenai hal ini, as-Syawkani berkomentar; ijtihad secara eksklusif berdasarkan argumentasi-argumentasi Syari’ah, bukan berdasarkan argumentasi rasional, dan kareana akal tidak merupakan sumber legislasi maka untuk menjadi seorang mujtahid kita tidak perlu menjadi ahli dalam sain-sain rasional. Hal serupa yang dikatakan al-Amidi mujtahid tidak perlu menjadi ahli dalam sain-sain filosofis. Inilah syarat-syarat yang diperlukan mujtahid mutlak.  Adapun bagi seorang mujtahid parsial, ia tidak perlu memiliki pangtahuan diatas, tetapi cukup mengetahui permasalahan yang sedang dan akan dibahahas ddalam bidang tertentu.
Hal lain yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah mengetahui berbagai disiplin ilmu syariah diantaranya adalah Ilmu Tafsir, Hadis, tata bahasa, riwayat hadis, rijalul hadis dan masalah-masalah dimana ijma dilakukan. Namun, perlu diketahui, para mujtahid pada awal Islam disiplin-disiplin tersebut tidak ada. Sedikit sekali yang mereka pelajari, bahkan materimateri ini adalah sebagai ciptaan mereka dalam perkembangannya. Begitu sejarah berllanjut dan perkembangan kaum muslimin semakin jauh dalam ilmu-ilmu yang berkembang, maka persaratan bagi seorang mujtahid semakin berat, karena disamping harus memiliki intelektual yang esensial, materi-materi historis yang mereka alami pun semakin berkemabang pula. Sesungguhnya hal seperti ini adalah wajar. Oleh karena itu ketiaka Iqbal berkata  kemungkinan teoritis dari ijtihad ini (ijtihad mutlak) diakui oleh orang-orang sunni, tetapi dalam prakteknya ditolak sejak berdirinya mazhab-mazhab, karena kepada ide ijtihad ini diberikan syarat-syarat yang mungkin tidak dapat direalisasikan dalam diri seseorang”. Maka yang dimaksudkannya bukanlah syarat-syarat yang ditetapkan oleh ahli-ahli hukum, tetapi keengganan mereka untuk melakukan ijtihad atau untuk memungkinkan ijtihad tersebut dilakukan.

PERUBAHAN SOSIAL DAN SUNNAH DIMASA LAMPAU

            Apabila kekuatan-kekuatan baru yang maha dahsyat, yaitu dibidang sosial-ekonomi, kultural moral ataupun politik, terjadi di dalam, atau menimpa sebuah masyarakat, maka tidak perlu diragukan lagi kalau nasib masyarakat tersebut akan tergantung kepada: sampai berapa jauhkah ia sanggup menghadapi tantangan-tantangan baru itu secara kreatif. Jiak masyarakat mampu menghadapi dua sikap yang ekstrim (pertama; merasa panik, kecut dan mencari perlindunagan yang khayali kemasa lampanya. Kedua; mengobarkan atau mengkompromikan ide-idealnya) dan setelah itu dengan keyakinan terhadap dirinya sendiri melakukan reaksi terhadap kekuatan-kekuatan baru itu dengan membentuk dengan kreatipitas positif, maka ia memperbandingkan sebuah dimensi baru untuk aspirasi-aspirasi spritualnya, sebuah makna dan ruang untuk idealnya. Tapi seandainya masyarakat memilih sikap ekstri yang kedua pasti ia akan mengalami metamorposis. Kehidupannya tidak lagi seperti sedia kala bahkan ia dapat tertelan dalam proses transpormasi itu, dan ditelan oleh organisme sosio kultur asing.        
Secara garis besarnya mennurut Fazlur Rahman, masyarakat muslim sedang mengalami kemandegan intelektual, dan sebagai konsekuensinya untuk tujuan-tujuan praktis umat muslim telah mengambil kedua buah sikap ekstrim diatas. Pertama; sikap lessez-pair terhadap kekuatan-kekuatan baru tersebut yang membuat kita hanyut. Kedua; sikap melarikan diri kemasa lampau yang secara emosional mungkin tampak memuaskan, namun sebenarnya tampak lebih berbahaya dari yang pertama.
Tetapi untunglah uamat muslim memiliki garis kebijakan yang kuat dan yang bersumber dari sejarah masa lampau ummah muslim yaitu Al-Qur’an dan sunnah, yang pada akhirnya di sempurnakan dan ditafsirkan secara kreatip menjadi “Sunnah yang hidup”. Sunnah yang hidup itu menurut Fazlurrahman telah digambarkan dan direpleksikan oleh generasi awal muslim (tepatnya pada masa Sahabat dan tabi’in, banyak sekali kebijakan-kebijan Umar ibn Khattab yang berbeda dengan Nabi, namun hal tersebut dalam ragka menjalanka nili-nilai Islam dalam konteks pada masa Umar “penafsiran yang progresif”). sehingga sunnah yang hidup ini menjadi suatu pegangan serta dikembangan secara terus menerus dari masa kemasa oleh kaum muslim.

PENUTUP
Demikian makalah ini penulis sajikan, dan dengan segala keterbatasan pemahamana penulis dalam mengkaji/ merangkum Buku Fazlur Rahman ini, penulis mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak, wabil khusus kepada dosen matakuliah Ilmu Hadis Konsentrasi Hukum Islam.





1 komentar:

  1. fazlurahman orang mana?? anak siapa?? tinggal dmn??? boleh mnta no hap'nya gak???

    BalasHapus