Cogito Ergo Sum

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Rabu, 15 Oktober 2014

QANUN DAN SYAR’I


SISTEM PERADILAN DAN PENERAPAN SYARIAH DALAM BENTUK PERUNDANG-UNDANGAN DI IRAN
(Studi Analisis Wilayatuh al-Faqih, Konstitusi dan Undang-Undang Keluarga Iran)
Oleh : Supriyatin, M.Ag
Dosen STIT SIFA Bogor

A.  Latar Belakang
Secara filosifis, Qanun merupakan bagian dari legitimsi kebijakan politik hukum pemerintah dalam penyerapan nilai-nilai syari’ah pada suatu Negara guna terciptanya tatanan masyarakat yang selalu berada dalam keamanan, kedamaian dan kesejahtraan serta mampu menjawab problematika yang berkembang dalam suatu Negara tersebut. Sementara Syariah merupakan aturan-aturan ilahi dalam bentuk larangan atau perintahan guna mengetahui hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah.
Selanjutnya, Republik Islam Iran (RII) merupakan Negara yang mengadopsi sistem politik hukum modern dan sistem politik Islam sekaligus. Hanya saja, yang membuat unik dan khas bahkan asing, baik bagi sistem pemerintahan modern maupun pemerintahan Islam, adalah konsep kepemimpinan ahli agama (ulama) dalam tata politik Republik Islam Iran, yang disebut dengan konsep wilayah al-faqih. Ini menunjukan bahwa, konsep republik yang diterapkan dalam Republik Islam Iran, telah dimodifikasi dengan konsep Wilayah al-Faqih, atau pemerintahan para ulama. Yang mana salah satu pungsi dari lembaga wilayah al-Faqih adalah melegitimasi Undang-Undang yang akan diberlakukan dan dijalankan oleh pemerintah.
Disamping itu, berbicara konsep Qanun dan syari’ah pada tatanan penerapan syari’ah dalam bentuk perundang-undangan di Republik Islam Iran, menurut hemat penulis, tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yaitu Sistem Pemerintahan, Sitem Peradilan, Wilayah al-Faqih, dan konsep salah satu mazhab Islam yaitu mazhab syi’ah baik pada konsep yurisprudensi politik maupun hukum.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu kiranya dalam kesempatan ini diadakan suatu pembahasan mengenai QANUN DAN SYAR’I : Studi Analisis Wilayatul Fakih dan Undang-Undang di Iran. disamping itu, agar kajian makalah ini lebih terarah, maka studi makalah ini penulis pokuskan pada rumusan masalah: Bagaimana pengaruh Eksistensi Wilayah al-Faqih terhadap Undang-Undang Republik Islam Iran? Bagaimana sistem peradilan Republik Islam Iran ? Dan bagaimana penerapan syari’ah dalam bentuk Konstitusi dan Undang-Undang Keluarga Republik Islam Iran Republik Islam Iran ?


B.  Kerangka Pemikiran
Terintegrasinya Hukum Islam kedalam hukum Negara (nasional) yang bertumpu pada interaksi sosial yang mempola setelah mengalami pergumulan dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat Negara tersebut merupakan penafsiran terhadap istilah Qanun.[1]
Disamping itu, Tiap-tiap karya yurisprudensi (fikih) berlimpah ruah dengan kutipan-kutipan dari al-Quran dan sunnah Nabi saw, maupun epaluasi kritis pendapat-pendapat para faqih dalam merumuskan hukum tertentu terlebih dalam penyerapan hukum-hukum syara kedalam suatu undang-undang Negara (Qanun). Untuk dapat merekonstruksi suatu kasus kongkrit dari bukti yang diberikan dalam sebuah keputusan faqih, maka harus ditelaah yurisprudensi normatif (yang merupakan sifat Qanun) sebagai sebuah sumber untuk melakukan studi terhadap situasi-situasi kongkrit dalam pemerintahan sebagai penunjang terimplementasinya syari’ah.[2]
Secara histori, dalam jenis-jenis produk hukum Islam, setidaknya terdapat empat jenis produk pemikiran hukum Islam. yaitu fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama, Peraturan Perundang undangan di negri muslim dan fatwa-fatwa ulama.[3] Masing-masing produk pemikiran hukum Islam itu memiliki ciri khasnya sendiri,[4] seperti fatwa ulama; bersifat kausalistik karena merupakan respon atau jawaban atas pertanyaan yang di ajukan  oleh peminta fatwa.
Namun, berbeda hal-nya dengan di Iran, bahwa ketika para ahli yurisprudensi (fikih) Iran di posiskan dalam suatu lembaga Negara (wilayah al-faqih) yang memiliki otoritas khusus, fatwa-fatwa mereka tidak hanya bersifat kausalistik bahkan mengikat dan berdaya sangsi, dikarenakan fatwa-fatwa wali fikih di implementasikan oleh Negara dalam bentuk Konstitusi sebagai ideologi bangsa serta perundang-undangan, baik pidana maupun perdata.
Secara filosofis konsep wilayah al-faqih tersebut tidak dapat dilepaskan dari ideologi mazhab Islam yang selama ini berkembang di Negara Iran, yaitu mazhab syi’ah. Salah satu dari pandangan syi’ah ialah selama belum munculnya pemimpin yang ditunggu-tunggu (imam al-munthazhar- imam mahdi) otoritas hukum beralih kepada seorang ahli hukum yang memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi.


C.  Tinjauan Pustaka
1.    Teori Syari’ah, Qanun dan Negara
a.    Teori Syari’ah dan Qanun (Teori Al-Sabat Wa Al-Syumul)
Teori Al-Sabat Wa Al-Syumul pada dasarnya merupakan teori yang dibangun atas dasar keyakinan ‘Ulama bahwa syariat Islam terdiri atas nilai-nilai universal yang bermanfaat bagi manusia, kegunaan atau manfaat disebut maslahat. Abdullah al-Salam menjelaskan bahwa semua ketetapan dalam syari’at mengandung manfaat. Ibn Qayyim al-Jawziyyat (w. 751 H) menjelaskan bahwa asas dan dasar syari’ah adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kebenaran Syari’ah menurut Ibn Qayyim adalah keadilan, rahmat, manfaat, dan hikmah. Oleh karena itu perpindahan dari adil ke penyimpanagan, dari rahmat ke siksa, dari manfaat ke mafsadat, dan dari hikmah ke sia-sia.[5]
a.)    Makna Teori Al-Sabat
            Ulama menjelaskan bahwa makna al-Sabat ialah sifat abadi dan langgeng yang tidak berubah dan tidak dapat digantikan dia akan senan tiasa ada hingga hari kiamat. Disamping itu ‘Ulama pun menetapkan syari’ah memiliki sifat langgeng dengan tiga alasan.
            Pertama, dalam surat al-An’am ayat 115 yang artinya : ”telah sempurna kalimat tuhanmu (sebagai kalimat yang benar dan adil, tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya, dan dia maha mendengar dan mengetahui”.
            Kedua, argument logika dengan menggunakan kerangka berfikir silogisme, yaitu kerangka berfikir yang menggunakan premis mayor dan premis minor, dan pada akhirnya mencapai kesimpulan (an-natijah). Premis mayor adalah syariat Islam ditetapkan Allah untuk menegakan kemaslahatan hamba. Premis minornya adalah didalam syariat terdapat aturan-aturan hidup bagi manusia dalam hal ini maka al-shabat memiliki tempat. Kesimpulannya adalah syariat akan bersifat abadi karena bersumber dari Allah yang bersifat abadi yang mengatur manusia demi kemaslahatannya.
            Ketiga, keyakinan para ‘Ulama bahwa sumber-sumber ajaran Islam terperihara dan terjaga dengan baik, oleh karena itu syari’at pun terpelihara dengan baik pula.
            Dengan tiga dalil tersebut ulama berkeyakinan bahwa syari’at bersifat al-sabat karena ia terpelihara dari kerusakan dan penggantian. Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa syari’at Islam bersifat “abadi” dan “universal” dan diyakini akan berlaku dalam berbagai tempat dan zaman. Kaidahnya adalah
الشريعة صالح لكل زمان ومكان
            “Syari’at mengandung maslahat pada setiap waktu dan tepat”[6]
b). Makna Teori Al-Syumul
            Al-Sufyani menjelaskan, bahwa Syumul adalah keumuman syari’at Islam bagi setiap manusia yang membutuhkannya secara mutlak, suatu peristiwa baru yang terjadi tidak akan kosong ketentuan hukumnya dalam syari’at Islam pada setiap waktu, tempat dan keadaan. Makna syumul yang dimaksud adalah bahwa dalam syari’at tercakup hukum seluruh peristiwa dan terus meluas hingga hari kiamat.
            Para pakar hukum Islam menyatakan bahwa makna syumul bagi syari’ah adalah : pertama, Qur’an adalah kitab yang sempurna yang memerintahkan umat Islam agar mengikutu Sunnah; Kedua, Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan merinci al-Qur’an; dan Ketiga, Ijma dan Qiyas adalah metode dan cara untuk mengetahui dan mengaflikasikan kandungan Syari’ah yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.
            Secara sederhana syari’ah dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1.      Syaria’at yang diabadikan dalam al-Qur’an dan sunnah yang diyakini kesempurnaanya dan ia sebagai penetap hukum, baik persoalan yang sudah terjadi maupun belum terjadi, oleh karena itu syaria’at diyakini akan selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
2.      Ketetapan hukum yang berupa hasil Ijtihad melalui istinbat tertentu, sifat hasil Ijtihad adalah relative dan dapat berubah karena perubahan zaman. Dalam hal ini, ‘Ulama menetapkan suatu kaidah
تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال والنيات والعوائد
            “Perubahan fatwa karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat kebiasaan”
لا ينكر تغير الاحكام بتغير الازمان
“Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan zaman”
            Dengan demikian, teori al-sabat wa al-syumul pada dasarnya menggambarkan dua sisi hukum Islam: sisi yang statis (stabil) dan sisi yang dinamis (berubah). Biasanya sisi yang statis dalam Islam disebut syari’ah, sedangkan sisi dinamis hukum Islam disebut Fikih yang dihasilkan melalui Ijtihad.[7]
b.    Teori Pelaksanaan Negara
Para pemikir Negara sepakat bahwa, pemerintahan adalah sesuatu yang niscaya demi memungkinkan manusia bekerjasama untuk meraih tujuan hidupnya yang sejati, yakni suatu kehidupan yang baik berdasarkan syariah yang pada akhirnya akan menghasilkan bagi mereka tempat yang baik dikehidupan akhirat. Oleh karena itu, kerjasama manusia dalam bentuk Negara ini bersipat niscaya yang karena kedua hal; pertama, sebagai mahluk sosial manusia perlu bekerjasama untuk saling mendukung dalam menjalankan kehidupan yang baik berdasarkan syariah. Kedua, banyak diantara aturan-aturan syariah, seperti zakat, jihad dan sebagainya, dalam pelaksanaannya memang melibatkat kegiatan yang bersifat kolektif (dalam bentuk Qanun yang dibuat dan dilaksanakan oleh Negara).[8]
Disamping itu, terdapat konsep pendirian Negara dalam teori mazhab syi’ah. Sepanjang sejarah sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecendrungan untuk diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktip di bidang politik. Sikap tersebut didukung oleh konsep taqiyyah (menyamarkan ke-syi’ah-an). Namun, hingga kemudian, tibalah peristiwa penting dalam sejarah syi’ah ketika pada revolusi di sebuah Negara yang mayoritas bermazhab syi’ah yaitu Negara Iran yang disebut sebagai revolusi Iran.
Paham quietisme yang selama ini mengakar dikalangan syi’ah, pada masa itulah di dobrak oleh pemikir politik syi’ah pra-revolusi, dengan ungkapan “kaum syi’ah harus bersikap aktif dalam mempersiapkan “panggung” bagi kemunculan kembali imam mahdi. Revolusi doktrin inilah yang mengtranspormasikan quietisme syi’ah menjadi aktivisme-revolusioner dan bersikap akomodatif terhadap kekuasaan de fakto”.
Imam Khomaeni berkata; Negara adalah instrument bagi pelaksanaan Undang-Undang Tuhan dimuka bumi. Tidak seperti dalam Negara demokrasi (murni), pada dasarnya tidak ada hak Negara – yakni lembaga legislatif – untuk membuat undang-undang. Otoritas undang-undang ada ditangan Allah.
2.    Sistem Pemerintahan, Wilayah al-Faqih, dan Ideologi Hukum Iran
a.    Sistem Pemerintahan dan Wilayah al-Faqih
Sistem pemerintahan Iran adalah Republik Islam yang telah disetujui oleh rakyat Iran, berdasarkan keyakinan tradisional mereka dalam kaidah Tuhan dan keadilan Qur’an dan mengikuti kemenangan revolusi mereka di bawah pimpinan marja’I taqlid agung Ayatullah Imam Khomaini. Secara konstitusional Iran adalah Negara yang berbentuk Republik Islam. Republik mengindikasikan sistem pemerintahan, sedangkan Islam menjelaskan isi sistem tersebut.[9] Berdasarkan hal itu, Republik Islam adalah sistem pemerintahan yang seluruh warga negaranya mempunyai hak untuk memilih kepala Negara mereka untuk masa jabatan tertentu, dan ajaran-ajaran serta prinsip-prinsip Islam menjadi inti dan dasarnya.[10]
Dengan demikian Republik Islam Iran (RII) merupakan Negara yang mengadaptasi sistem politik modern dan sistem politik Islam sekaligus. Hanya saja, yang membuat unik dan khas bahkan asing, baik bagi sistem pemerintahan modern maupun pemerintahan Islam, adalah konsep kepemimpinan ahli agama (ulama) dalam tata politik Republik Islam Iran, yang disebut dengan konsep wilayah al-faqih. Ini menunjukan bahwa, konsep republik yang diterapkan dalam Republik Islam Iran, telah dimodifikasi dengan konsep Wilayah al-Faqih, atau pemerintahan para ulama.
Modifikasi ini menyentuh tiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi yang biasa disebut sebagai Trias Politika. Hal ini dirasa perlu, mengingat pada sistem ini konsep kepemimpinan Islam – apakah itu namanya wilayah atau Imamah – tidak cukup terwakili di dalamnya. Ada batas-batas, sebagaimana diatur menurut konsep Trias Politika, yang di dalamnya kekuasaan eksekutif sepenuhnya ditundukkan terhadap kekuasaan legislatif. Demikian pula, kekuasaan yudikatif mempunyai batas-batasnya sendiri yang membuat mereka tidak leluasa menerapkan hukum Islam (Qanun al-Syariah).[11]
Mengenai dasar-dasar dan landasan pemerintahan Iran dijelaskan secara detail dalam Undang-Undang dasar Iran, terutama pasal 2 Konstitusi 1979 menyatakan : “Republik Islan Iran sebagai suatu sistem pemerintahan berdasarkan atas keyakinan pada:[1] Tauhid, La ilaha illa Allah. [2] Wahyu ilahi dan peranan fundamentalnya dalam interpretasi hukum; [3] Hari kebangkitan kembali dan peranan konstruktifnya dalam penyempurnaan manusia terhadap Tuhan; [4] Keadilan Tuhan dalam menciptakan dan menegakkan hukum agama; [5] Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam; [6] Kemuliaan dan nilai agung manusia serta pertanggungjawabanya dihadapan Tuhan yang menjamin persamaan, keadilan dan kemerdekaan politik, ekonomi, dan kebudayaan maupun persatuan dan solidaritas nasional.” (UUD RII, Bab I Pasal 2).[12]
b.    Ideologi Hukum
Menurut hemat penulis, melihat dari sistem pemerintahan dan pasal sebagaimana uraian diatas, sangat terlihat pengaruh doktrin syiah dalam landasan konstitusional Negara Iran. Jika dicermati dasar pertama sampai kelima yang disebutkan di atas adalah merupakan lima dasar agama (ushuluddin)  dari mazhab syiah yaitu, ketuhanan (tauhid), kenabian sebagai penerima wahyu (an-Nubuwah), Kepemimpinan (Imamah), keadilan (al-Adl), dan Hari Akhir (al-maad). Pasal tersebut di atas juga memberikan indikasi pada kepemimpinan ulama yang memenuhi syarat yang dalam tradisi fiqih syiah disebut marja’I taqlid, seorang mujtahid yang telah mencapai gelar ayatullah, sedangkan dalam terminologi politik disebut wali faqih atau wali al-amr muslimin.

D.  SISTEM PERADILAN DAN PENERAPAN SYARIAH DALAM BENTUK PERUNDANG-UNDANGAN DI IRAN : Analisis Wilayah al-Faqih, Konstitusi dan Undang-Undang Keluarga Iran

1.    Internalisasi Wilayah Al-Faqih Dalam Konstitusi Iran
Republik Islam Iran merupakan negara yang mengakui dan menerapkan sistem wilayah al-faqih dalam bentuk praktisnya. Untuk itu, melihat secara dekat pemikiran dan penerapan konsep wilayah al-faqih di Iran dengan dinamika dan dialektikanya menjadi salah satu rujukan penting bagi pengkajian Qanun di Negara tersebut.
Wali Faqih merupakan jabatan pemimpin tertinggi revolusi Islam Iran yang membawahi semua institusi pemerintahan Islam Iran termasuk presiden (eksekutif), parlemen (legislatif), pengadilan (yudikatif), pasukan elit pengawal revolusi (IRGC), angkatan bersenjata, dan pasukan relawan (basiij). Sejak meninggalnya Imam Khumaini pada tahun 1989 hingga saat ini, jabatan ini diduduki oleh Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Khamenei, setelah dipilih oleh Dewan Ahli Rahbari (Majlise Khubregane Rahbari) yang terdiri atas sejumlah ulama senior yang memahami masalah kepemimpinan dalam Islam.
Wali faqih ini diangkat oleh sebuah majelis ulama yang disebut Dewan Ahli (Majlis Khubregan; The Assembly of Experts). Dewan ahli itu sendiri di angkat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Hal ini ditunjukkan oleh konstitusi Iran, di mana Pasal 107 menyebutkan, bahwa ahli-ahli yang dipilih rakyat akan menunjuk salah seorang faqih yang memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin guna mengemban jabatan. Jika tidak ada seseorang yang memenuhi persyaratan, Dewan Ahli yang sama akan menunjuk tiga atau lima marja’’ yang memiliki persyaratan yang diperlukan untuk membentuk Dewan Faqih. Dewan Ahli (Majlis-i Khubregan) yang disebut-sebut dalam pasal ini beranggotakan 72 ahli hukum Islam yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang khusus dipersiapkan untuk tujuan ini.[13]
Mengenai kepemimpinan wilayat al-faqih, secara jelas disebutkan dalam Pasal 5 Konstitusi Iran yang menyatakan : “selama gaibnya Hazrat Wali al-Asr (Shahib al-Zaman – yaitu Imam Mahdi)– semoga Allah memeprcepat kedatangannya, wilayah dan kepemimpinan umat berada di tangan faqih yang adil dan saleh, berakhlak mulia, memahami benar keadan zamannya, berani, bijaksana, dan mampu memerintah; serta diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas rakyat. Jika tidak terdapat ahli-ahli agama atau ahli-ahli hokum agama yang memenangkan mayoritas suara rakyat tersebut, pemimpin atau Dewan Pimpinan yang terdiri dari ahli-ahli agama Islam dan ahli-ahli hokum agama Islam yang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas, akan diserahi tugas untuk memerintah atau memimpin sebagaimana tercantum dalam pasal 107 Undang-Undang ini”.
Disamping itu, seperti telah penulis singgung diatas Wali faqih diberi kekuasaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 110, sebagai komando kekuatan angkatan bersenjata tertinggi, yang dilaksanakan dengan tindakan berikut ini: menunjuk dan memecat Kepala dari seluruh staf, menunjuk dan memecat Komandan Staf Korps Pengawal Revolusi Islam, membentuk sebuah Dewan Pertahanan Nasional Tertinggi, menunjuk Komandan Tertinggi dari cabang-cabang Angkatan bersenjata dan mengumumkan perang dan damai.[14]
Supremasi faqih muncul pula dalam kekuasaannya menyangkut pengangkatan dan pemecatan presiden. Ia memberhentikan Presiden Republik demi kepentingan negara, setelah pengumuman suatu penilaian/evaluasi oleh Mahkamah Agung yang membuktikan bahwa sang presiden gagal memenuhi tugas-tugas legalnya, atau sebuah pemungutan suara dalam Majelis Pertimbangan Nasional mengakui ketidakcakapan politis sang presiden.[15]
Demikian juga, pemimpin mempunyai kekuasaan untuk menunjuk dewan ulama yang mensahkan keputusan-keputusan dasar hukum Islam, menujuk Mahkamah Agung, memberi pengampunan, menghukum atau mengurangi hukuman, tetapi hanya setelah menerima rekomendasi dari Mahkamah Agung.
2.    Sistem Peradilan, Konstitusi dan Undang-Undang Keluarga Iran
a.    Sistem Peradilan Iran
Salah satu cirri Negara demokrasi adalah sistem peradilan yang independen. Perlunya pengadilan dilandaskan pada tiga hal, yaitu: (1). Manusia merupakan makhluk sosial, (2). Banyaknya terjadi konflik dan perbedaan (3). Perlunya menetapkan aturan umum untuk mengurai perbedaan.[16]Dalam negara demokratis, lembaga peradilan harus idependen sehingga dapat melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan antar sesamanya atau antar rakyat dengan pemerintah. Untuk menjamin independensi pengadilan, lembaga peradilan (yudikatif) dipisahkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif sehingga eksekutif tidak dapat mengintervensi pengadilan. Selain itu jaminan konstitusi atas hal tersebut merupakan sesuatu yang niscaya. Undang-undang harus dengan tegas memberi jaminan terhadap rasa adil masyarakat.
Konsep Wilayah al-Faqih dalam Republik Islam Iran telah memberikan sistem peradilan yang independen. Lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya mengacu pada konstitusi yang bertugas mengusahakan terciptanya keadilan untuk setiap orang. Bab III Pasal 34  Konstitusi Iran Menyebutkan:
“Mengusahakan terlaksananya keadilan adalah hak setiap orang yang tidak dapat diperdebatkan lagi, dan untuk tujuan ini, semua orang berhak untuk mengajukan perkaranya kepada pengadilan yang berwenang. Pengadilan tersebut harus terbuka bagi semua orang dan tak seorang pun akan dilarang untuk menempuh jalan lain untuk mengambil tindakan yang sah sesuai dengan haknya menurut undang-undang.
Dalam menjalani proses peradilan, dimana pihak yang berperkara tidak sanggup menyewa pengacara, konstitusi menjamin haknya dengan menyediakan biaya yang dibutuhkan. Pasal 35 menyebutkan :
“Di dalam semua pengadilan, kedua belah pihak yang bersengketa berhak untuk mengangkat seorang pengacara dan jika mereka tidak mampu membiayai, mereka akan diberi sarana untuk mengangkat dan membayar seorang pengacara.” (UUD RII Pasal 35)
Konstitusi juga menjamin keselamatan seseorang dalam menjalani proses peradilan. Penyiksaan dan pemaksaan merupakan sesuatu yang terlarang :
“Setiap penyiksaan untuk membuat orang mengaku atau  untuk memperoleh keterangan adalah dilarang. Memaksa seseorang untuk menjadi saksi, mengakui atau bersumpah tidak akan diizinkan dan kesaksian pengakuan serta sumpah semacam itu adalah tidak sah. Pihak yang melanggar pasal ini akan dihukum menurut undang-undang.” (UUD RII Pasal 38)
Azas praduga tak bersalah pun menjadi salah satu sifat peradilan di Iran. Hal ini ditunjukkan oleh undang-undang dengan menyatakan bahwa semua orang dianggap tidak bersalah di mata hukum sampai kesalahannya dibuktikan oleh pengadilan yang berwenang.[17] Bahkan, seseorang yang ditahan sekalipun mesti tetap dihormati dengan sepantasnya dan dilarang dihina atau dikucilkan dari pergaulan, karenanya tindakan tersebut tidak dibenarkan dan yang melakukannya akan dapat ditindak secara hukum, Bab III Pasal 39 menyatakan:
“Menjelek-jelekkan kehormatan dan nama baik seseorang yang ditahan, dipenjara atau diasingkan menurut hukum tidak diperkenankan sama sekali dan dapat dikenakan hukuman.” (UUD RII, Bab III, Pasal 39)
Kemudian untuk pelaksanaan hukum tersebut, dibentuklah sebuah dewan yang disebut Dewan Kehakiman Agung, yang terdiri dari tiga unsur yaitu : Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Penuntut Umum Negara, dan Tiga Hakim adil yang berpengalaman dalam ilmu agama dan hukum agama yang diangkat oleh pengadilan Negara. Anggota-anggota dewan dipilih untuk masa jabatan lima tahun dan boleh dipilih kembali jika memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang.[18]
Selain ketiganya, ada pula Kementrian Kehakiman yang menjadi penguasa resmi Negara untuk mengusut pengadilan dan pengaduan-pengaduan. Menteri Kehakiman diangkat dari calon-calon yang diusulkan oleh Dewan Kehakiman Agung kepada Perdana Menteri, yang mana ia bertanggung jawab atas semua persoalan mengenai hubungan kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Dewan Kehakiman Agung yang merupakan kekuasaan kehakiman tertinggi, bertanggung jawab untuk menjaga terimplementasinya keadilan dan jaminan penerapan hukum di masyarakat. Dewan Kehakiman Agung ini, mendapat amanah konstitusi dengan tiga tugas penting :
  1. Membentuk organisasi-organisasi kehakiman
  2. Menyiapkan rancangan undang-undang kehakiman sesuai dengan asas-asas Republik Islam
  3. Merekrut hakim-hakim yang cakap dan adil, mengatur pengangkatan dan pemberhentiannya, pennjukkannya dalam jabatan-jabatan kehakiman dan kenaikan pangkat serta urusan administrasi dengan cara yang sah menurut hukum.[19]
 Adapun secara lebih detail, Undang-undang Republik Islam Iran, memberikan kekuasaan hukum yang akan melakukan kegiatan berikut :
  1. Pengusut acara pengadilan, ketidakadilan dan pengaduan serta dikeluarkannya keputusan hakim; penyelesaian sengketa dan pembuatan keputusan terhadap persoalan yang tidak dapat dipertengkarkan untuk ditentukan oleh hukum.
  2. Pemulihan hak-hak publik dan peningkatan keadilan dan kebebasan-kebebasan yang legal.
  3. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan hukum.
  4. Pengusutan pelanggaran, penuntutan hukuman kepada penjahat dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh hukum pidana Islam.
  5. Mengambil tindakan-tindakan secukupnya untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki pelaku kejahatan.
Seperti di Negara-negara lainnya juga, di Republik Islam Iran, juga ada beberapa jenis peradilan seperti Peradilan Umum, Mahkamah Militer, dan Mahkamah Administratif. Hal ini, disebutkan dengan jelas dalam pasal-pasal berikut :
“Untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan tugas-tugas militer atau keamanan yang dialkukan oleh personalia angkatan perang, gendarmerie, polisi dan korp pengawal revolusi, Mahkamah Militer akan diadakan sesuai dengan undang-undang. Bagi pelanggaran biasa yang dilakukan oleh personalia militer, pelanggaran-pelanggaran tersebut akan diusut di pengadilan umum. Mahkamah Militer berada dalam Jurisdiksi kekuasaan kehakiman dan merupakan bagian integral dari system kehakiman Negara.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 172)
“Untuk mengusut proses pengadilan, pengaduan dan protes public terhadap pejabat, unit atau peraturan pemerintah dan untuk melaksanakan keadilan dalam perkaranya, suatu mahkamah yang disebut ‘Mahkamah Administratif’ akan dibentuk di bawah pengawasan Dewan Kehakiman Agung. Jurisdiksi dan prosedur untuk melaksanakan mahkamah ini akan ditentukan oleh undang-undang.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 173)
“Berdasarkan atas hak kekuasaan kehakiman untuk mengontrol arus peristiwa yang memuaskan dan pelaksanaan undang-undang yang sehat dalam unit-unit pemerintahan, suatu organisasi yang disebut ‘Inspektorat Negara’ akan dibentuk di bawah pengawasan Dewan Kehakiman Agung.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 174)
b.    Konstitusi Iran
Setiap Negara pasti memiliki suatu landasan yang dijadikan ideologi sebagai acuan dalam arah kebijakan politik hukum dalam Negara tersebut, begitu pula Republik Islam Iran (RII), ada beberapa ketetapan yang menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Islam Iran (UUD RII), diantaranya ialah sebagai berikut :
Bab I Asas Umum
Pasal 1
Bentuk pemerintahan Iran adalah sebuah Republik Islam, disahkan oleh rakyat Iran berdasarkan keyakinan mereka yang telah lama mengenai kedaulatan kebenaran dan keadilan Al-Qur’an.
Pasal 2
Republik Islam adalah suatu sistem yang berlandaskan keyakinan pada:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa (sebagai mana kalimat “tiada tuhan selain Allah”. Kedaulatan hak-mengatur-Nya yang ekslusif, serta keniscayaan untuk patuh kepada perintah-Nya.
2.      Wahyu Allah dan peran pokoknya menjadi sumber hukum
3.      Kembali kepada Allah dialam di Alam Baka
4.      Keadilan Allah dalam menciptakan dan menegakkan hukum agama (Undang-Undang)
5.      Kepemimpinan (Imamah) dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam
6.      Kemuliaan dan nilai agung manusia serta pertanggungjawabanya dihadapan Tuhan yang menjamin persamaan, keadilan dan kemerdekaan politik, ekonomi, dan kebudayaan maupun persatuan dan solidaritas nasional melalui:
a). Pelaksanaan lannggeng hukum agama oleh ahli-ahli hukum agama yang memenuhi persyaratan atas dasar kitab suci al-Quran dan hadits-hadits dari empat belas manusia suci, semoga Tuhan memberkati mereka.
b). Mengambil manfaat dari pengetahuan dan pengalaman manusia yang sudah maju dan mengusahakan untuk lebih memajukannya lagi
c). Menolak untuk menindas atau ditindas; mendominasi atau didominasi.
Pasal 3
Agar mencapai sasaran yang ditetapkan dalam pasal 2, pemerintah Republik Islam Iran memiliki kewajiban untuk mengarahkan semua sumber daya ke tujuan berikut :
1.      Penciptaan suatu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan kebijakan moral berdasarkan keyakinan dan kesalehan.
2.      Keikut sertaan seluruh rakyat dalam menentukan nasib politis, ekonomis, sosial dan budaya mereka;
3.      Perluasan dan penguatan persaudaraan keislaman dan kerjasama masyarakat diantara seluruh rakyat
4.      Pembersihan total imperialism dan pencegahan pengaruh asing
Pasal 4
Semua Peraturan dan Hukum Perdata, keuangan, ekonomi, administratif, budaya, militer, politis dan sebagainya harus berlandaskan criteria Islam. prinsip ini belaku sepenuhnya dan meliputi semua pasal konstitusi sebagai mana juga kesemua orang dan peraturan lain, dan dalam hal ini fuqaha Dewan Ahli adalah pewenang tertinggi.
Pasal 5
Selama gaibnya Wali al-Asr (Shahib al-Zaman – yaitu Imam Mahdi)– semoga Allah memeprcepat kedatangannya, wilayah dan kepemimpinan umat berada di tangan faqih yang adil dan saleh, berakhlak mulia, memahami benar keadan zamannya, berani, bijaksana, dan mampu memerintah.
Pasal 6
Di Republik Islam Iran, urusan harus diatur berdasarkan pendapat umum yang di ungkapkan melalui pemilihan umum termasuk pemilihan presiden, anggota parlemen dan anggota-anggota dewan lainnya atau melalui referenda untuk hal-hal khusus dalam pasal lain konstitusi ini
Pasal 7
Sesuai dengan perintah al-Qur’an yang dikandung dalam ayat “…..sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka” (QS al-Syura [43]: 38) badan konsultatif seperti dewan permusyawaratan Islam (parlemen), Dewan Propinsi dan Kota, Daerah, Distrik dan Dewan Desa adalah para pembuat keputusan dan aparat administrative negara. Sifat dasar masing-masing bersama tata cara pembentukannya, yuridiksinya dan lingkungan kewajiban dan fungsinya ditetapkan oleh konstitusi dan hukum yang berasal dari konstitusi.
Pasal 8
Di Republik Islam Iran, amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban umum dan timbale baliknya yang harus dipenuhi oleh rakyat dengan menghormati sesama, oleh perintah dengan menghormati rakyat, dan oleh rakyat dengan menghormati pemerintah. Keadaan, batasan dan sifat dasar kewajiban ini akan diperinci oleh hukum. Ini sesuai dengan ayat al-Qur’an, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar” (QS Al-Fajr [89] : 71).[20]
c.    Undang-Undang Keluarga Iran
Dalam bagian ini, penuis hanya menguraikan beberapa dari Undang-undang keluarga Iran diantaranya ialah :
Pencatatan Perkawinan
Sebagaimana telah diatur dalam undang-undang hukum perkawinan tahun1931 pasal I bahwa setiap perkawinan sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang, pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dihukum penjara selama satu hingga 6 Bulan.
Perkawinan di bawah Umur
Usia minimum yang diatur dalam hukum Perdata Iran pasal 1031 adalah 18 untuk pria dan 15 untuk wanita. Bagi seseorang yang mengawinkan di bawah usia tersebut maka akan dipenjara antara 6 bulan hingga 2 tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah umur 13 tahun maka yang mengawinkan dikenakan penjara 2 hingga 3 tahun, selain juga masih harus membayar denda 2-20 Riyal, ini diatur dalam hukum kelarga Iran tahun 1931-1937 pasal 3.
Perjanjian Kawin
Dalam hukum perkawinan Iran pasal 4 dijelaskan pasangan yang berniat untuk melangsungkan perkawinan boleh membuat perjanjian dalam akad perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan. Perjanjian tersebut dilaksanakan di bawah perlindungan pengadilan.
Poligami
Suami yang akan menikah lagi harus memberitahukan kepada calon istri tentang statusnya, pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi hukum perlindungan keluarga tahun 1967. Selain itu juga harus mendapat ijin dari istri, jika ketentuan ini dilanggar, istri dapat mengajukan permohonan cerai ke pengadilan. Suami juga harus mendapat ijin dari pengadilan yang sebelumnya akan memeriksa apakah suami dapat menafkahi lebih dari seorang istri dan apakah dia mampu berbuat adil. Pelanggaran ketentuan ini akan dikenakan hukuman kurungan selama 6 bulan hingga 2 tahun.
Nafkah Keluarga
Dalam hukum perlindungan keluarga tahun 1967 pasal 10 disebutkan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah pada istrinya. Nafkah ini meliputi sandang, pangan, tempat tinggal dan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang layak. Jika suami tidak melaksanakannya maka istri berhak mengadukan pada pengadilan, dan pengadilan akan member peringatan kepada suaminya, ketika tetap tiada perubahan istri boleh menuntut perceraian pada pengadilan.
Perceraian
Masalah perceraian telah terjadi reformasi administrative dan substantive dengan lahirnya Hukum perlindungan keluarga tahun 1967 yang menghapus wewenang suami mengiklarkan talak secara sepihak. Menurut pasal 8 UU tersebut setiap perceraian, apapun bentuknya harus didahului dengan permohonan kepada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “tidak dapat rukun kembali”. Sedangkan pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Salah satu pasangan Gila permanen atau berulang-ulang.
2.      Suami menderita impotensi, atau dikebiri atau alat fitalnya diamputasi.
3.      Suami atau istri dipenjara 5 tahun.
4.      Suami atau istri memiliki kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus berlangsung  dalam kehidupan rumah tangga.
5.      Seorang pria tanpa persetujuan istri, kawin dengan wanita lain.
6.      Salah satu pihak menghianati pihak lain.
7.      Kesepakatan suami dan istri untuk bercerai.
8.      Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri dalam kondisi tertentu.
9.      Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum yang tetap karena melakukan perbuatan yang dapat dipandang mencoreng kehormatan keluarga.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Juru Damai (arbitrator)
Dalam pasal 6 hukum perlindungan keluarga disebutkan bahwa pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan dan perceraian yang berbelit-belit, ditangani sendiri oleh pengadilan.

3.    Analisis Wilayah al-Faqih, Konstitusi dan Undang-Undang Keluarga Iran
a.    Wilayah al-Alfaqih
Sesuai dengan prinsip wilayah al-faqih, kepemimpinan tertinggi di Republik Islam Iran berada di tangan seorang ulama yang disebut rahbar dan juga wali fakih.[21] Akan tetapi, dalam Wilayah al-faqih bukanlah berarti bahwa yang berada di puncak pimpinan adalah seorang faqih dan secara langsung menjalankan pemerintahan. Peran seorang faqih dalam Negara Islam yang rakyatnya mengakui Islam sebagai prinsip dan ideologinya adalah peran seorang ideolog dan bukan penguasa. Kewajiban seorang ideolog adalah melakukan pengawasan terhadap sejauh mana ideologi itu telah dilaksanakan secara benar.[22]
Sepanjang revolusi konstitusi, rakyat Iran tidak pernah memahami wilayat al-faqih sebagai penyerahan kekuasaan dan pengaturan Negara nagara kepada para faqih. Sebab, selama ini mereka memahami bahwa seorang faqih harus (bertugas) menentukan tepat atau tidaknya seorang penguasa untuk dipilih, dan sejauh mana pula kapasitasnya dalam melaksanakan undang-undang kenegaraan yang islami, karena masyarakatnya adalah masyarakat Islam dan warga negaranya melaksanakan ajaran Islam.[23] Sebagai pemegang mandat tertinggi sebagai pemimpin religius dan politis, wali faqih memiliki peranan dan wewenang besar dalam menjaga stabilitas politik dalam dan luar negeri Republik Islam Iran, terutama kebijakan politik hukum dalam menentukan Ideologi Konstitusi atau undang-undang Republik Islam Iran.
Selanjutnya, secara filosofis, menurut pemahaman syi’ah akan al-Qur’an, masalah pemimpin yang dipandu oleh Allah – yang memiliki wilayat (fakultas yang memampukan seseorang mengemban otoritas dan menuntut ketaatan) – sangat penting dalam mencapai tujuan menciptakan tatanan sosial yang adil, sebab hanya pemimpin yang dipandu oleh Allahlah dapat diciptakan suatu masyarakat yang ideal. Namun, selama gaibnya Imam, ketika shahib al-wilayat (pemilik otoritas) sedang gaib, maka otoritas itu dipegang oleh wali faqih.
Disamping itu, pemahaman kaum syia’ah akan pelembagaan niyabah al-imam (perwakilan Imam) selama gaibnya Imam, dipandang secara metafisis berkaitan dengan sumber otoritas Ilahi (al-wilayah al-ilahiyyah), yaitu Imam, dimana individu-individu (wali faqih) ini mewakilinya ditengah-tengah para pengikutnya. Dengan demikian, perwakilan Imam selalu dipandang sebagai bukan saja perpanjangan logis dari otoritas keagamaan Imam yang gaib, namun juga sebagai otoritas yang memiliki keabsahan yang diperlukan melalui dokumentasi yang sepenuhnya andal.[24]
Dengan melihat konteks tersebut, menurut hemat penulis, peran wilayah al-faqih sangat besar pengaruhnya terhadap kebijakan-kebijakan politik hukum Iran dalam mengeluarkan suatu peraturan atau perundang-undangan Negara Republik Islam Iran (RII).
b.    Konstitusi Iran
Dengan melihat dari materi-materi Konstitusi Republik Islam Iran (RII) di atas sangat terlihat bahwa perundang-undangan sebagai dasar bagi perturan-peraturan untuk mengelola masyarakat akan mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah, oleh karena itu, pelaksanaan pengawasan yang cermat dan sungguh-sungguh oleh para fuqaha muslim yang adil, berilmu dan sungguh-sungguh. Prinsip tersebut telihat dalam Asas Umum Pasal 1 Pasal 2 dan Pasal 4.
Tujuan pemerintahan adalah membantu perkembangan manusia dalam suatu cara sehingga dia bertambah baik dalam menegakkan perintah Allah. Disamping itu, dalam Asas Umum Pasal 3, Pasal 5, 6 dan pasal 8 bermuara pada; Konstitusi menjamin penolakan semua bentuk tirani intelektual dan sosial serta monopoli ekonomi dan mempercayakan nasib rakyat kepada rakyat sendiri, serta berdasarkan pandangan ideologis, berbagai infrastruktur dan institusi politis sebagai dasar pengembangan masyarakat, orang yang pantaslah yang akan memikul tanggung jawab memerintah dan mengelola negri.
Sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan (wilayah al-‘amr) dan kebutuhan abadi akan kepemimpinan (imamah) sebagai mana tercantum dalam Pasal 5 konstitusi memperlengkap kekuasaan kepemimpinan dengan seorang faqih (wali faqih) yang memiliki persyaratan dan diakui sebagai pemimpin oleh rakyat yang sesuai dengan hadis, “Pimpinan urusan (umum) ada ditangan mereka yang paham mengenai Allah dan dapat dipercaya dalam berbagai hal mengenai apa-apa yang diizinkan dan dilarang olehnya”.
c.    Undang- Undang Keluarga
Penelitian masalah hukum keluarga di dunia muslim sangat menarik untuk dikaji sebagai bahan pertimbangan, referensi dan bahan diskusi untuk mewujudkan bentuk hukum yang lebih komprehensif dalam kesesuaiannya dengan perkembangan zaman yang membutuhkan pembaharuan dalam setiap konsep hukum yang akan dijadikan landasan dalam negara muslim. Begitu pula dengan hukum keluarga Iran.
Disamping itu, perlu diketahui analisis ini merupakan hipotesis penulis terhadap kajian hukum keluarga Iran yang perlu dikembangkan oleh berbagai pihak terutama para pengkaji makalah ini.
Ada beberapa dari Undang-Undang keluarga Iran yang hanya bersifat administrative saja karena pelanggarnya hanya dikenakan hukuman fisik saja sedangkan perkawinannya tetap sah seperti ; pasal I tentang Pencatatan perkawinan (orang yang melanggar akan di kenakan hukuman 6 bulan penjara) dan tentang Poligami sebagai sangsi perlindungan keluarga bagi orang yang tidak menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan pemerintah (orang yang melanggar akan dikenakan hukuman 6 bulan sampai 2 tahun penjara). Dan satuhal yang perlu diketahui bahwa Peraturan perundang undangan keluarga berkenaan dengan pencatatan pertikahan dan poligami ini tidak dijumpai dalam pemikiran hukum klasik terutama dalam mazhab syi’ah.
            Disamping itu, ada dari beberapa peraturan perundang-undangan keluarga Iran yang dianggap sebagai pembaharuan karena sangat berbeda dengan pendapat madzhab yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Iran, seperti Undang-undang Perkawinan di bawah Umur; mazhab syi’ah memberikan batasanusia perkawinan 15 untuk pria dan 9 tahun untuk wanita.[25]
            Dan adapula dari beberapa undang-undang perkawinan Iran yang memang secara tekstual meruju kepada mazhab yang menjadi rujukan, seperti undang-undang perkawinan Pasal 10 tentang Nafakah Keluarga yang menyatakan suami berkewajiban memberikan nafkah pada istrinya. Nafkah ini meliputi sandang, pangan, tempat tinggal dan barang-barang kebutuhan rumah tangga yang layak. Jika suami tidak melaksanakannya maka istri berhak mengadukan pada pengadilan, dan pengadilan akan member peringatan kepada suaminya, ketika tetap tiada perubahan istri boleh menuntut perceraian pada pengadilan. Aturan ini sejalan dengan madzhab syi’ah.[26]

E.  Kesimpulan
            Berdasarkan berbagai uraian yang telah penulis kemukakan diatas, ditinjau dari pengaruh Eksistensi Wilayah al-Faqih terhadap Undang-Undang Republik Islam Iran, sistem peradilan Republik Islam Iran dan penerapan syari’ah dalam bentuk Konstitusi dan Undang-Undang Keluarga Republik Islam Iran Republik Islam Iran dapat ditarik kesimpualan bahwa :
1.    Pengaruh Eksistensi Wilayah al-Faqih terhadap Undang-Undang Republik Islam Iran sangat terlihat ketika melihat Wali Faqih merupakan jabatan pemimpin tertinggi revolusi Islam Iran yang membawahi semua institusi pemerintahan Islam Iran termasuk presiden (eksekutif), parlemen (legislatif), pengadilan (yudikatif), pasukan elit pengawal revolusi (IRGC), angkatan bersenjata, dan pasukan relawan (basiij), sebab secara filosofis sebagai pemegang mandat tertinggi sebagai pemimpin religius dan politis, wali faqih memiliki peranan dan wewenang besar dalam menjaga stabilitas politik dan kebijakan hukum Iran (Konstitusi dan Undang-undang).
Disamping itu, peran seorang faqih dalam Negara Islam Iran yang rakyatnya mengakui Islam sebagai prinsip dan ideologinya adalah peran seorang ideolog dan bukan sekedar penguasa. Kewajiban seorang ideolog adalah melakukan pengawasan terhadap sejauh mana ideologi itu telah dilaksanakan secara benar oleh Negara.
2.    Konsep Wilayah al-Faqih dalam Republik Islam Iran telah memberikan sistem peradilan yang independen. Lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya mengacu pada konstitusi yang bertugas mengusahakan terciptanya keadilan untuk setiap orang hal ini terlihat dalm Bab III Pasal 34. dalam menjalani proses peradilan, dimana pihak yang berperkara tidak sanggup menyewa pengacara, konstitusi menjamin haknya dengan menyediakan biaya yang dibutuhkan sebagai mana dinyatakan pada Pasal 35  serta Konstitusi juga menjamin keselamatan seseorang dalam menjalani proses peradilan. Penyiksaan dan pemaksaan merupakan sesuatu yang terlarang : (UUD RII Pasal 38)
3.    Konstitusi Republik Islam Iran (RII) sebagai dasar bagi perturan-peraturan dan perundang-undangan dalam mengelola masyarakat mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah, dan pelaksanaan pengawasannya dilaksanakan oleh para fuqaha (Wali Faqih) muslim yang adil, berilmu dan sungguh-sunguh sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan (wilayah al-‘amr) dan kebutuhan abadi akan kepemimpinan (imamah) yang menjadi salah satu ideologi mazhab syi’ah.
Disamping itu, Undang-Undang perdata Iran telah banyak mengatur permasalahan-permasalahan dalam hukum keluarga seperti pencatatan perkawinan, perkawinan di bawah umur, perjanjian perkawinan, poligami, nafkah keluarga, perceraian hingga penyelesaian perselisihan melalui juru damai (Arbitrator) yang banyak mengadopsi dari mazhab fikih yang mereka yakini yaitu mazhab syi’ah. Namun, di sisi lain, dalam Undang-undang Keluaraga Iran-pun terdapat beberapa dari Undang-Undang yang hanya bersifat administratif saja karena pelanggarnya hanya dikenakan hukuman fisik saja sedangkan perkawinannya tetap sah seperti ; pasal I tentang Pencatatan perkawinan dan tentang Poligami. sementara peraturan perundang undangan keluarga yang berkenaan dengan pencatatan pertikahan dan poligami ini tidak dijumpai dalam pemikiran hukum klasik terutama dalam mazhab syi’ah.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Kepemimpinan Dalam Islam perspektif syi’ah, Mizan, Bandung 1991
Ayatullah Jawadi Amuli. Sistem Pengadilan Islam dalam al-Quran.
dalam Jurnal al-Huda Vol. III, No. 9, 2003
Chibli Mallat. Menyegarkan Islam. Mizan, Bandung: 2001
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, Tsabita; Bandung 2006
Jaih Mubarok, Hukum Islam (Konsep, pembaruan dan teori Penegakan),
Benang Merah Pers, Bandung: 2006
Murtadha Muthahhari. Kebebasan Berpikir dan Berpendapat dalam Islam.
Jakarta: Risalah Masa, 1990
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab,
Alih Bahasa Masykur, cet IV (Jakarta: Lentera, 1999)
Yamani, Filsafat Politik Islam (antara al-farabi dan khomaini), Mizan; Bandung 2003
 


[1] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, Tsabita; Bandung 2006, hal. 296-297
[2] Abdul Aziz, Kepemimpinan Dalam Islam perspektif syi’ah, Mizan, Bandung 1991, hal. 25
[3] Jaih Mubarok, Hukum Islam (Konsep, pembaruan dan teori Penegakan), Benang Merah Pers, Bandung: 2006, hlm. 108
[4] Fikih; bersifat menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum Islam. Keputusan Pengadilan agama; cendrung dinamis, karena merupakan respon terhadap perkara-perkara yang dihadapi masyarakat. Undang-Undang; bersifat mengikat, bahkan daya ikatnya lebih kuat di masyarakat. Fatwa ulama; bersifat kausalistik karena merupakan respon atau jawaban atas pertanyaan yang di ajukan  oleh peminta fatwa. Lihat Jaih Mubarok, Hukum Islam, hlm. 108-109
[5] Ibid, hlm. 83-84
[6] Ibid. hlm 84-87
[7] Ibid. hlm 87-93
[8] Yamani, Filsafat Politik Islam (antara al-farabi dan khomaini), Mizan; Bandung 2003, hal. 98
[9] Artinya, sebagai republik, Iran berarti memakai sistem demokrasi yang warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpinnya sejalan dengan konstitusi yang berlaku. Dan dengan Islam, pemerintah mesti ditegakkan atas dasar ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip islami dan digerakkan pada poros yang islami pula.
[10] Murtadha Muthahhari. Kebebasan Berpikir dan Berpendapat dalam Islam. (Jakarta: Risalah Masa, 1990), h. 79-80
[11] Yamani, Filsafat Politik Islam (antara al-farabi dan khomaini), hal. 126-123
[12] Ibid, hal. 160-164
[13] Ibid,  hal. 128
[14] Chibli Mallat. Menyegarkan Islam. Mizan, Bandung: 2001, hal.133 
[15] Ibid, hal. 133
[16] Ayatullah Jawadi Amuli. Sistem Pengadilan Islam dalam al-Quran. dalam Jurnal al-Huda Vol. III, No. 9, 2003, h. 5-9
[17]  Lihat UUD RII, Bab III, Pasal 37.
[18] UUD RII, Bab XI, Pasal 158,159 dan 160.
[19] Lihat UUD RII, Bab XI, Pasal 157.
[20] Yamani. Filsafat Politik Islam,  hal. 160-164
[21] Memang, ada perbedaan antara posisi rahbar dan wali faqih. Rahbar merupakan jabatan tertinggi yang diberikan oleh Negara Iran, yang mana keputusan-keputusan rahbar mengikat seluruh warga Negara Iran apapun kelompok, suku, dan agamanya. Sedangkan wali fakih merupakan jabatan ilahiah sebagai pengganti Imam Maksum yang sedang gaib, dan wewenangnya meliputi semua kaum muslimin (mazhab syiah) dimanapun berada, sehingga disebut juga wali al-amr muslimin.
[22] Murtadha Muthahhari. Kebebasan Berpikir dan Berpendapat dalam Islam, hal. 85-86
[23] Ibid, hal. 86
[24] Abdul Aziz, Kepemimpinan Dalam Islam perspektif syi’ah, hal. 199-200
[25] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Alih Bahasa Masykur, cet IV (Jakarta: Lentera, 1999), hlm.,316-318
[26] Ibid, hal. 492-493