Cogito Ergo Sum

Aku Berfikir Maka Aku Ada

Rabu, 02 Maret 2011

Filsafat Hukum Islam



‘Ilat al-Ahkam
‘llah menurut bahasa berarti “”penyakit” dalam ilmu bahasa (nahu sharaf) di jumpai istilah ‘illah, yakni huruf ‘illah (penyakit). Dalam  istilah filsafat, ‘illah berarti causa atau sebab, yaitu sesuatu yang dapat merubah sesuatu yang lain yang dapat ditempatinya, ‘illah diartikan sebagai sesuatu yang menjadikan yang lain bbergantung kepadanya atau yang menyebabkan adanya sesuatu yang lain. ‘illah dalam pengertian filosofis ini ada yang disebut ‘illah al-mahiyyah, yaitu sesuatu yang dapat menyebabkan adanya esensi sesuatu yang lain. Ada pula yang disebut ‘illah al-wujud, yaitu sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang lain bereksistensi, dan teriri dari sifat-sifat esensial sesuatu itu.
Dalam bidang filsafat hukum islam, trem ‘illat kadangkala dipakai untuk sinonim sebab (al-sabab). Al-sabab sesuatu yang menyampaikan kepada hukum, akan tetapi tidak menetapkan adanya hukum. Sedangkan ‘illat yang menetapkan adanya hukum.  Mayoritas pakar hukum islam dan filosof Islam, seperti al-Parabi, al-Kindi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, lebih mengutamakan penggunaan trem ‘illah daripada sebab. Namun demikian, sebagian lainnya seperti al-Ghazali, dan ‘Ulama Kalam sering kali menggunakan term sabab untuk menunjukan makna ‘illat.
Pembicaraan ‘illat dari segi kefilsafatan kiranya layak jika sekilas kita menoleh pandangan Aristoteles mengenai ‘illah. Aristoteles membagi ‘illat kedalam empat acam, yaitu :
1.      Al-‘Illah al-Ma’diyyah yaitu kausa material, materi yang menyebabkan sesuatu bereksistensi. Umpamanya; kayu atau besi adalah materi yang menyebabkan adanya wujud ranjang atau kursi.
2.      Al-‘Illah al-Su’riyyah, yakni kausa formal, yaitu bentuk yang menyebabkan suatu materi menjadi suatu wujud atau bentuk tertentu. Umpamanya; ranjang atau kursi akan berwujud atau bereksistensi jika benda materialnya kayu atau besi- disusun dengan bentuk ranjang atau kursi.
3.      Al-‘Illah al-Fa’illah, yakni kausa efesiensi. kausa efesiensi ialah sesuatu yang menyebabkan sesuatu lain menjadi bentuk yang bereksistensi. Umpamanya; tukang kayu adalah penyebab atau yang menyebabkan benda material kayu dan atu besi berbentuk ranjang atau kursi.
4.      Al-‘Illah al-Gha’iyyah, yaitu kausa final. Kausa final ialah sesuatu yang menyebabkan tercapainya tujuan eksistensi sesuatu yang lain. Umpamanya; wujud ranjang mencapai tujuan keberadaannya, yakni untuk menjadikan tempat tidur. Wujud kursi mencapai tujuan keberadaannya, yaitu tepat duduk.
Para filosof Islam dan filosof abad tengah Eropa mengambil pandangan Aristoteles ini. Pengaruh Aristoteles ini terasa jika kita mengkaji tulisan para pakar kukum Islam (…………mantik) umpamanya dibidang Jinayah (Hukum Pidana) Islam sebagai mana yang dijumpai oleh Abdul Qhadil al-Audah , al-Tasrhi, al-jinaiyy, ketika memasuki pembahasan al-Qatl, pembunuhan. Dalam bab ini Audah mengklasifikasikan pembunuhan atas; Pembunuhan disengaja, semi sengaja, dan penbynuhan karena kesalahan, dan pembunuhan setengah atau semi kesalahan. Klasifikasi pembunuhan ini jelas dikarenakan latar belakang terdirinya peristiwa pembunuhan. Pelaku pembunuhan semi sengaja (shib al’amd) tidak dapat dijatuhkan hukuman sesuai dengan hukuman yang dikenakan kepada pelaku peristiwa yang pelaku pembunuhan sengaja. Hal ini disesbabkan karena perbedaan ‘illah (sebab) terjadinya pembunuhan. Yaitu, pembunuhan itu sebenarnya bukanlah sebab yang menjadi  tujuan atau kausa final.
Peristiwa dimasa Umar Ibn Khattab yang dikenal dengan kausa masa paceklik (‘am al-Maja’ah), yaitu ketika seseorang yang kelaparan melakukan pencurian tetapi ia tidak dijatuhi hukuan potong tangan dengan alasan bahwa tindakan pencurian tersebut dilakukan secara terpaksa karena musim paceklik. Tindakan Umar ini kiranya sisebabkan karena adanya ‘Ilat hukum yang sebenarnya bukan kausal final. Pencurian dilakukan bukan sebagai tujuan perbuatan, melainkan sekedar memenuhi kebutuhan primer manusia, yakni kehidupan. Perbedaan pada klasifikasi ‘Illat pada gilirannya menombulkan peredaan dalam bidaang hukum dan aspek-aspeknya.
Dalam filsafat al-Ghazali dijumpai term al’Illat al’Ula ma’ la ‘illata laha’ (prima kausa), yaitu sebab yang tidak ada yang menyebabkannya, atau sebab dari segala yang wujud sebab yang hakiki dari segala wujud, yaitu Allah. Dalam filsafat skolastik dikenal trem al-‘Illah al-Dhatiyyah (Causa Sui) yaitu suatu yang ada tanpa tergambarkan ketiadaannya, yakni Allah. Ibn Sina menyebutkan bahwa Allah adalah Wa’jib al-Wuju’d bi al-Nafsih, yaitu yang wajib ada dengan sendirinya.


Para filosof Hukum Islam menjelaskan beberapa ‘Illat
1.      Al-“illat al-Asasiyyah yaitu kausa prinsipil. Kausa prinsifil ialah ‘illah yang dapat menyebabkan adanya sesuatu yang selainnya dengan sendirinya.
2.      Al-‘illah al-Adah, yaitu kausa instrumental. Kausa instrumental ialah ‘Illah yang menyebabkan adanya wujud sesuatu.
3.      ‘Illah al-Muba’syarah, yaitu ‘Illah yang menyebabkan sesuatu yang lain berbeda tanpa melalui perantara. ‘Illah ini dapat disebut kausa direksi, kebalikan dari kausa instrumental.
4.      ‘Illah Gair al-Muba’syarah, ayaitu ‘Illat yang menyebabkan keberadaannya sesuatu yang lain disebabkan ada perantaranya.
5.      Al-Illah al-Ta’mmah atau Mustaqillah yaitu ‘Illah yang independen yang menyebabkan mahiyyah, dan wujud sesuatu tergantung kepadanya.
6.      Al-‘Illaty al-Muaddah yaitu sesuatu yang menyebabkan adanya yang disebabkan tanpa keharusan ada penyebabnya.

Bentuk-bentuk ‘Illah ini dapat dan pada umumnya digunakan oleh pakar Hukum Islam dibidang jinayah (Hukum Pidana), terutama ketika menentukan saksi Hukum atas tindakan pidana. Namun demikian, dibidang keperdataanpun, pembagian ‘illah ini pun tetap penting dalam rangka menetapkan hukum setiap peristiwa hukum yang terdapat ketentuannya secara tekstual didalam nash.
Pembagian ‘Illat seperti dijelaskan diatas dapat dijelaskan alat pengujian ‘Illat hukum dalam prosedur penetapan hukum dalam metode qiyas. ‘illah, dalam proses penentuan hukum melalui metode qiyas, biasanya didefinisikan sebagai berikut.

العلة الوصف الظاهر المنضبط المناسب للحكم
“’Illat adalah kualitas yang jelas dan dapat diterapkan dalam setiap individu (peristiwa), dan bersesuaian (dengan ruang dan waktu) bagi hukum”.

‘Illat sering kali diartikan sesuatu yang mengharuskan adanya sesuatu yang lain; adanya hukum sesuatu mengharuskan adanya hukum yang sama pada kasus yang sama lainnya. Akan tetapi, bagaiman bentuk macam ‘Illat itu, diperlukan penelitian dan pengujian; apakah ‘Illat tammah, dan sebagainya.
Ada sebagian Ulama yang mendefinisikan ‘Illlah itu berbeda bengan definisi yang dikemukakan pada ulama lain pada umumnya. Mereka ialah sebagaian hanafiyyah, malikiah, termasuk Ibn Taimiah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Menurut mereka ‘Illah ialah :
العلة الوصف المناسب
“kausalitas yang bersesuaian (dengan ruang dan waktu)”
Mereka tidak menambahkan al-Mundhabit yang berarti ketetapan ‘Illah (kausalitas) itu pada setiap individu. Ini berarti kausalitas yang ada pada setiap individu. Ini berarti, kualitas yang pada umumnya bersesuaian dengan, dan bertepatan dengan ruang dan waktu. Berdasarkan atas definisi ‘Illat seperti inilah dibentuk kaidah hukum yang berbunya.
تُغيير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والنيات والفوائد
“perubahan hukum itu terjadi karena perubahan waktu dan ruang, niat dan ma’rifat”.

Iillah dalam pengertian terakhir diatas berarti hikmah, yakni ketetapan hukum berdasarkan nash. Kualitas yang bersesuaian/ al-wasf al-muanasib ialah al-hikmah yang berarti manfaat yang nyata atau menolak kerusakan yang menjadi tujuan Pembuat Hukum (baca : Allah) ketika ia memrintahkan mansia melakukan sesuatu perbuatan. ‘Illat dalam pengertian hikmah itu ialah kualitas yang jelas yang dapat diaplikasikan terhadap kebanyakan keadaan, tiadak dan bukan pada setiap keadaan keadaan.
Untuk menguji ‘Illah hukum tersebut ditetapakan beberapa persyaratan suatu ‘Illat serta langkah-langkah untuk mengetahui dan mengujinya yang disebut Masalik al-‘Illah.
Pada umumnya untuk mengetahui suatu ‘Illah hukum ada dua. Pertama, melalui dalil naqli yang kemudian disebut al-‘Illah al-manqullah. ‘Illat ini dapat diketahui berdasarkan informasi dari Qur’an dan Sunnah, namun demikian, untuk mengetahuinya diperlukan ilmu bantu seperti Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadits. Kedua, al-‘Illah al-Mustanbhathah, yaitu ‘illah yang diketahui melalui ijtihad. Bentuk ‘Illah ini jelas harus jelas harus diketahui melalui penelitian secara mendalam. Oleh karena itu cara mengetahuinya tidak hanya diperlukan pengetahuan logika, tetapi juga diperlukan ‘Illmu-ilmu lainnya, baik ilmu kealaman maupun Ilmu Sosial. Dapat dinyatakan bahwa peranan metode ilmiah dalam upaya mengetahui dan menguji keberadaan suatu ‘Illat hukum sangat penting, bahkan menentukan kualitas kebenaran ada dan tidak adanya sesuatu ‘illat.